Mengenal Keluarga Al Saud: Garis Keturunan, Peran Politik, dan Tokoh Terkenal
Keluarga Al Saud bukan hanya simbol monarki Arab Saudi, tapi juga kekuatan politik, ekonomi, dan keagamaan yang telah membentuk wajah Timur Tengah selama hampir satu abad. Dalam artikel ini, kita akan menyelami struktur kekuasaan keluarga kerajaan, mengupas garis keturunan Dinasti Al Saud, mengenali tokoh-tokoh kunci, serta menelusuri peran mereka dalam geopolitik global dan domestik.
Asal Usul dan Garis Keturunan Dinasti Al Saud
Sejarah Awal: Dari Diriyah ke Unifikasi Arab
Garis keturunan Al Saud bermula dari Muhammad bin Saud, yang memimpin wilayah Diriyah pada abad ke-18. Ia kemudian menjalin aliansi strategis dengan ulama Muhammad ibn Abd al-Wahhab, pencetus aliran Wahabisme, yang menjadi fondasi ideologis negara.

Sejarah Arab Saudi modern berakar dari peristiwa besar pada tahun 1744, ketika Muhammad bin Saud, penguasa Diriyah, menjalin persekutuan dengan Muhammad ibn Abd al-Wahhab, seorang ulama reformis dari Najd. Perjanjian ini menyatukan kepentingan politik dan keagamaan—Muhammad bin Saud mendapat legitimasi religius untuk memperluas wilayahnya, sementara Ibn Abd al-Wahhab mendapat pelindung untuk menyebarkan ajaran puritan Islam yang kelak dikenal sebagai Wahabisme. Aliansi ini melahirkan negara Saudi pertama, yang sempat menguasai sebagian besar wilayah Semenanjung Arab sebelum dihancurkan oleh Kekaisaran Ottoman dan Mesir pada 1818.
Setelah dua kali mengalami kejatuhan, dinasti Al Saud kembali bangkit pada awal abad ke-20 di bawah kepemimpinan Abdulaziz Ibn Saud. Ia menaklukkan Riyadh pada 1902, kemudian menyatukan wilayah Hijaz, Najd, dan wilayah sekitarnya hingga mendirikan Kerajaan Arab Saudi modern pada 1932. Sepanjang proses ini, Wahabisme tetap menjadi fondasi ideologis negara—menjadi dasar hukum, pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat Saudi. Peran ulama Wahabi dilembagakan melalui Dewan Ulama Senior yang memiliki otoritas keagamaan tertinggi dalam pemerintahan, menunjukkan bagaimana agama dan politik terjalin erat dalam sistem kerajaan.

Namun, pasca-2000, peran Wahabisme mulai mengalami penyesuaian. Serangan 9/11, yang sebagian besar pelakunya berkebangsaan Saudi, memicu tekanan internasional terhadap kerajaan untuk meninjau kembali ajaran-ajaran konservatif yang tersebar melalui kurikulum dan dakwah global. Di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Arab Saudi meluncurkan reformasi sosial-budaya yang signifikan lewat program Visi 2030—membatasi otoritas polisi moral, membuka bioskop, dan mengizinkan konser publik. Meski Wahabisme tidak sepenuhnya dihapus, peran dominannya mulai digeser demi membangun citra Islam moderat yang lebih cocok dengan arah modernisasi negara.
Dinasti ini sempat jatuh dan bangkit kembali tiga kali, hingga akhirnya Raja Abdulaziz bin Abdul Rahman Al Saud (Ibn Saud) mendirikan Kerajaan Arab Saudi modern pada 1932.
Baca juga : Antara Iman dan Sains: Etika Perawatan Hidup Pasien Koma Menurut Islam
Struktur Keturunan dan Pewarisan Kekuasaan
Model pewarisan di Arab Saudi bersifat agnatik lateral, di mana kekuasaan diwariskan di antara saudara laki-laki sebelum turun ke generasi berikutnya. Namun, transisi ke generasi cucu telah dimulai sejak pengangkatan Mohammed bin Salman (MbS) sebagai Putra Mahkota.
Peran Politik Keluarga Al Saud dalam Pemerintahan Arab Saudi
Monarki Absolut dan Konsentrasi Kekuasaan
Arab Saudi menganut sistem monarki absolut di mana kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif berada di tangan Raja. Namun, ratusan pangeran dari keluarga Al Saud mengisi posisi strategis seperti:
- Menteri Pertahanan
- Menteri Dalam Negeri
- Gubernur provinsi
- Kepala lembaga investasi dan energi
Struktur pemerintahan Arab Saudi berbentuk monarki absolut, di mana Raja memegang otoritas tertinggi dalam legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Raja sekaligus menjabat sebagai Kepala Negara, Perdana Menteri, dan pemimpin tertinggi militer. Tidak ada parlemen terpilih secara demokratis, dan keputusan-keputusan penting ditentukan oleh Raja serta Dewan Menteri yang didominasi oleh anggota keluarga Al Saud. Meskipun terdapat Majlis ash-Shura (Dewan Konsultatif) yang terdiri dari 150 anggota yang ditunjuk oleh Raja, lembaga ini hanya bersifat memberikan nasihat dan tidak memiliki kekuatan legislasi yang mengikat.
Kekuasaan dijalankan melalui tiga cabang utama: eksekutif, yudikatif, dan keagamaan, yang semuanya mengacu pada prinsip Syariah Islam versi mazhab Hanbali dengan pengaruh kuat dari Wahabisme. Cabang eksekutif dikelola oleh kementerian dan gubernur provinsi, sebagian besar dipimpin oleh pangeran atau tokoh yang setia pada keluarga kerajaan. Cabang yudikatif dikuasai oleh Dewan Ulama Senior yang berwenang menetapkan fatwa dan mengawasi sistem peradilan agama. Sementara itu, ulama juga memainkan peran strategis dalam memelihara legitimasi kerajaan, menjadikan struktur pemerintahan Saudi unik karena menyatukan kekuasaan negara dan agama secara terpusat dalam tangan monarki.

Peran Dewan Kesetiaan (Allegiance Council)
Dewan ini berfungsi untuk menyetujui atau menolak penunjukan Putra Mahkota, sebagai bagian dari proses modernisasi politik internal keluarga.
Tokoh-Tokoh Terkenal dalam Dinasti Al Saud
1. Raja Abdulaziz (Ibn Saud): Pendiri Kerajaan Arab Saudi Modern
Abdulaziz bin Abdul Rahman Al Saud, lebih dikenal sebagai Ibn Saud, adalah tokoh pendiri Kerajaan Arab Saudi modern. Ia lahir pada tahun 1875 di Riyadh, dan pada usia 26 tahun melakukan ekspedisi militer yang sukses merebut kembali kota Riyadh dari suku rival Al Rashid pada tahun 1902. Sejak saat itu, Ibn Saud melancarkan kampanye militer dan diplomatik selama puluhan tahun untuk menyatukan berbagai suku di Semenanjung Arab, termasuk Najd, Hijaz (yang mencakup Mekkah dan Madinah), dan wilayah timur yang kaya minyak.
Dengan bantuan Ikhwan, pasukan militan Wahabi, dan aliansi strategis dengan Inggris pasca-Perang Dunia I, Ibn Saud mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada 23 September 1932. Ia menggabungkan kekuatan militer, pengaruh agama Wahabi, serta keterampilan diplomatik untuk membentuk negara berbasis monarki absolut yang hingga kini tetap dipimpin oleh keturunannya. Warisan Ibn Saud adalah fondasi politik dan ideologis negara: otoritas kerajaan berpadu dengan legitimasi keagamaan konservatif.
2. Raja Fahd bin Abdulaziz (1982–2005): Arsitek Konstitusi dan Hubungan Strategis
Raja Fahd, yang naik takhta pada 1982, dikenal sebagai raja pertama yang menggunakan gelar resmi “Penjaga Dua Masjid Suci” (Khadim al-Haramayn al-Sharifayn), menandakan peran religius Arab Saudi secara global. Pada tahun 1992, ia memperkenalkan “Basic Law of Governance”, sebuah dokumen yang berfungsi layaknya konstitusi meski tetap menegaskan bahwa negara dipimpin oleh syariah dan otoritas raja.
Era Raja Fahd juga ditandai oleh kedekatan yang kuat dengan Amerika Serikat, terutama selama dan setelah Perang Teluk 1991, saat ia mengizinkan pasukan AS berpangkalan di wilayah Saudi untuk mengusir Irak dari Kuwait. Keputusan ini menuai protes keras dari kalangan Islamis konservatif di dalam negeri, dan menjadi salah satu pemicu munculnya gelombang ekstremisme seperti Al-Qaeda. Meski begitu, Raja Fahd berperan penting dalam membangun infrastruktur modern, seperti universitas, jalan tol, dan sistem telekomunikasi di Saudi.

3. Raja Abdullah bin Abdulaziz (2005–2015): Reformis Berhati-Hati
Setelah wafatnya Raja Fahd, Raja Abdullah melanjutkan takhta dan dikenal sebagai figur yang mencoba melakukan reformasi secara hati-hati. Ia memperluas akses pendidikan dan mendirikan King Abdullah University of Science and Technology (KAUST)—universitas pertama di Saudi yang tidak memisahkan mahasiswa laki-laki dan perempuan. Salah satu kebijakan paling menonjol adalah memberikan hak suara dan hak mencalonkan diri bagi perempuan dalam pemilu dewan lokal tahun 2011, yang berlaku penuh pada pemilu 2015.
Di tengah ketegangan akibat Arab Spring, Raja Abdullah juga meluncurkan paket bantuan sosial besar-besaran untuk menenangkan masyarakat dan menjaga stabilitas internal. Meskipun tidak banyak mengubah struktur politik otoriter, ia membuka ruang diskusi terbatas tentang dialog antaragama dan hak-hak minoritas. Di bidang luar negeri, ia menjaga hubungan erat dengan AS namun juga mulai membangun jejaring dengan negara-negara Asia dan Afrika.
4. Raja Salman bin Abdulaziz (2015–sekarang): Konsolidasi Kekuasaan dan Transisi Dinasti
Raja Salman mengambil alih kepemimpinan pada usia lanjut, namun pemerintahannya dikenal sebagai era konsolidasi kekuasaan. Ia memecahkan tradisi suksesi lateral (ke sesama saudara) dengan mengangkat putranya, Mohammed bin Salman (MbS), sebagai Putra Mahkota pada tahun 2017, menggeser calon-calon senior lainnya. Langkah ini menandai transisi kekuasaan ke generasi baru Al Saud.
Raja Salman juga memfokuskan kebijakan luar negeri pada politik regional yang lebih agresif, termasuk intervensi militer di Yaman dan embargo terhadap Qatar. Di dalam negeri, ia mendukung kebijakan modernisasi dan reformasi ekonomi yang dipimpin MbS, meskipun tetap mempertahankan kontrol ketat atas oposisi politik dan ruang sipil. Pemerintahannya menunjukkan perubahan taktis: terbuka pada perubahan ekonomi dan sosial, namun tetap otoriter dalam aspek politik.

5. Mohammed bin Salman (MbS): Arsitek Visi 2030 dan Figur Kontroversial
Mohammed bin Salman atau MbS adalah figur paling dominan di Arab Saudi saat ini. Sebagai Putra Mahkota dan Menteri Pertahanan, ia mencetuskan program ambisius Visi 2030 yang bertujuan mendiversifikasi ekonomi Saudi dari ketergantungan pada minyak. Reformasinya meliputi pembukaan sektor pariwisata, pengembangan mega-proyek futuristik seperti NEOM, pemberdayaan perempuan, dan liberalisasi budaya seperti konser dan bioskop.
Namun, reputasinya di dunia internasional sangat kontroversial. Pada 2018, dunia dikejutkan oleh pembunuhan brutal jurnalis Jamal Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul, yang menurut laporan CIA dilakukan atas perintah MbS. Meski membantah, tekanan internasional meningkat. Terlepas dari itu, MbS tetap melaju dengan modernisasi internal sambil mempertahankan kendali represif terhadap aktivis, ulama kritis, dan lawan politiknya. Ia mewakili wajah baru Arab Saudi: muda, ambisius, nasionalistik, modern secara ekonomi—namun tetap otoriter secara politik.
Baca juga : Pangeran Arab Saudi Al-Waleed bin Khaled bin Talal Al Saud Meninggal Dunia Setelah 20 Tahun Koma
Kekayaan, Pengaruh Global, dan Relasi Internasional
Kekayaan Keluarga Kerajaan
Diperkirakan memiliki kekayaan lebih dari $1.4 triliun USD (Forbes, 2022). Sumbernya berasal dari:
- Investasi energi melalui Saudi Aramco
- Sovereign wealth fund (PIF – Public Investment Fund)
- Investasi properti dan startup global
Hubungan Internasional
Arab Saudi merupakan mitra utama:
- Amerika Serikat (dalam hal minyak dan militer)
- Cina (dalam sektor energi dan teknologi)
- UEA, Mesir, dan negara Teluk lainnya
Hubungan Amerika Serikat dan Arab Saudi pasca-2020 mengalami dinamika yang kompleks—ditandai oleh campuran antara kepentingan strategis dan ketegangan nilai. Di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, hubungan kedua negara tidak sehangat era Donald Trump yang secara terbuka mendukung Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS). Isu-isu seperti pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi, pelanggaran HAM, dan perang di Yaman membuat Biden menegaskan bahwa Arab Saudi akan “dibuat membayar” dan statusnya sebagai “pariah state” sempat digaungkan di awal masa pemerintahannya. Meskipun demikian, realitas geopolitik membatasi jarak yang bisa ditempuh AS dalam menekan Riyadh.
Kepentingan energi dan keamanan tetap menjadi fondasi hubungan. Krisis global akibat invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan AS kembali membuka jalur diplomasi energi dengan Arab Saudi, termasuk upaya menstabilkan harga minyak global melalui OPEC+. Di sisi lain, Arab Saudi juga menunjukkan sikap lebih mandiri dengan mempererat hubungan dengan Cina dan Rusia, serta memperluas kebijakan luar negeri yang tidak lagi bergantung penuh pada Washington. Ini mencerminkan pola baru hubungan bilateral: bukan lagi hubungan patron-klien, tetapi lebih mirip hubungan transaksional yang pragmatis, di mana Arab Saudi memainkan peran sebagai kekuatan regional yang sedang mengkalibrasi ulang mitranya.
Kritik dan Kontroversi seputar Dinasti Al Saud
Rezim Otoriter dan Represi Politik
Berbagai laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International menyebutkan:
- Penahanan aktivis hak perempuan
- Eksekusi massal terhadap tahanan politik
- Kurangnya kebebasan pers dan berkumpul
Kasus Khashoggi dan Sorotan Global
Pada tahun 2018, pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di Konsulat Saudi di Istanbul menyebabkan kecaman global terhadap Mohammed bin Salman dan memicu krisis diplomatik.

Studi Ilmiah dan Jurnal Pendukung
Berikut adalah beberapa publikasi akademik dan jurnal ilmiah yang dapat dijadikan rujukan:
- Hertog, S. (2010). "Princes, Brokers, and Bureaucrats: Oil and the State in Saudi Arabia."
(Cornell University Press)
→ Menjelaskan bagaimana patronase dalam keluarga kerajaan membentuk birokrasi. - Al-Rasheed, M. (2010). "A History of Saudi Arabia."
(Cambridge University Press)
→ Buku komprehensif mengenai asal-usul keluarga Al Saud dan dinamika politiknya. - Gause, F. G. III (2015). "Saudi Arabia in the New Middle East."
(Council on Foreign Relations)
→ Fokus pada perubahan kekuasaan pasca-Arab Spring dan strategi geopolitik. - Amnesty International Reports (2018–2024)
→ Dokumentasi pelanggaran HAM dan kasus penahanan politik.
Keluarga Al Saud bukan sekadar simbol kerajaan; mereka adalah aktor utama dalam lanskap politik dan ekonomi global. Dengan pengaruh yang melintasi batas negara dan sektor, memahami struktur internal dan peran dinasti ini sangat penting bagi siapa pun yang ingin membaca geopolitik Timur Tengah dengan lebih tajam.
Visi 2030 dan peran Mohammed bin Salman membuka babak baru: antara modernisasi dan otoritarianisme. Kita semua sedang menyaksikan bagaimana kerajaan yang kaya minyak ini mengukir jalannya di era baru yang lebih transparan, tetapi juga penuh tantangan.