Selain HIV, inilah penyakit yang rentan diderita kaum LGBT
Ketika kita berbicara tentang kesehatan komunitas LGBT, topik yang sering kali langsung muncul adalah HIV. Ya, HIV telah lama menjadi perhatian utama, dan tidak tanpa alasan. Namun, membatasi isu kesehatan LGBT hanya pada HIV adalah sebuah penyederhanaan yang tidak adil dan bahkan berbahaya.
Sebagai masyarakat yang terus belajar menjadi lebih inklusif dan berempati, kita perlu memperluas perspektif. Kita perlu memahami bahwa komunitas LGBT rentan terhadap berbagai jenis penyakit, baik fisik maupun mental, yang sering kali disebabkan oleh tekanan sosial, diskriminasi, serta minimnya akses layanan kesehatan yang inklusif, khususnya di negeri kita, Indonesia.
Artikel ini akan membahas penyakit-penyakit lain yang rentan diderita oleh komunitas LGBT, berdasarkan data dan riset yang sahih. Harapannya, kita semua dapat berperan dalam menciptakan ekosistem kesehatan yang lebih adil dan manusiawi.
Mengapa Komunitas LGBT Rentan Secara Kesehatan?
Sebelum membahas penyakitnya satu per satu, kita perlu memahami akar masalahnya.
Komunitas LGBT masih sering menjadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan—baik secara verbal maupun fisik. Pengalaman-pengalaman ini bukan hanya menyakitkan secara emosional, tapi juga berdampak langsung terhadap kesehatan mereka.
Bayangkan jika kita hidup dalam tekanan konstan: takut ditolak keluarga, dijauhi teman, bahkan dikecam oleh masyarakat. Tekanan semacam ini menimbulkan stres kronis, yang oleh para ahli disebut sebagai minority stress. Jika tidak ditangani dengan baik, stres ini bisa menjadi pintu masuk bagi banyak penyakit, dari gangguan jantung hingga gangguan mental.
Tak hanya itu, banyak dari teman-teman kita di komunitas LGBT yang enggan memeriksakan diri ke dokter atau psikolog karena takut akan diskriminasi. Kurangnya tenaga medis yang peka terhadap isu LGBT menambah panjang daftar tantangan yang mereka hadapi.
1. Infeksi Menular Seksual (IMS) Lainnya
Apa Itu IMS dan Mengapa Penting Dibahas?
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah sekelompok penyakit yang menular melalui aktivitas seksual, baik melalui kontak kelamin, oral, maupun anal. Beberapa di antaranya yang paling umum adalah:
- Sifilis
- Gonore
- Klamidia
- Human Papillomavirus (HPV)
Meski masyarakat umum juga rentan terhadap IMS, komunitas LGBT, terutama pria yang berhubungan seks dengan pria (MSM) dan transgender wanita, menunjukkan prevalensi IMS yang jauh lebih tinggi. Hal ini telah menjadi perhatian serius dalam dunia kesehatan publik, terutama dalam konteks pencegahan dan intervensi dini.
Data Prevalensi IMS di Komunitas LGBT
Menurut laporan dari Fenway Institute (2018) yang melakukan pemantauan terhadap transgender wanita di New York City:
- Sifilis: 3,6%
- Gonore: 4,2%
- Klamidia: 4,5%
Data ini mengindikasikan bahwa satu dari setiap 20–30 transgender wanita di wilayah tersebut terinfeksi IMS dalam satu tahun, yang merupakan angka yang sangat signifikan secara epidemiologis.
(Sumber: LGBTQIA Health Education Center)

Mengapa Komunitas LGBT Lebih Rentan terhadap IMS?
- Kurangnya Edukasi Seksual Inklusif
- Kurikulum pendidikan seksual di banyak negara, termasuk Indonesia, umumnya hanya menekankan hubungan heteroseksual. Akibatnya, komunitas LGBT sering kali tidak mendapatkan informasi yang relevan tentang praktik seks yang aman dalam konteks mereka.
- Edukasi seksual juga masih dianggap tabu, dan membahas seksualitas non-hetero bahkan bisa dianggap "menyimpang" atau "melanggar norma", sehingga menyebabkan kekosongan informasi penting.
- Stigma dalam Akses Layanan Kesehatan
- Banyak individu LGBT merasa tidak nyaman atau bahkan takut untuk pergi ke klinik untuk memeriksakan diri, karena pernah mengalami diskriminasi atau penolakan oleh tenaga medis.
- Ketika layanan kesehatan tidak ramah terhadap orientasi seksual atau identitas gender seseorang, maka orang tersebut cenderung menunda atau bahkan menghindari pemeriksaan—termasuk untuk IMS.
- Minimnya Distribusi dan Akses terhadap Kondom & Pelumas
- Kondom dan pelumas berbasis air (yang penting untuk seks anal yang aman) seringkali tidak tersedia secara luas atau mahal harganya di komunitas-komunitas yang terpinggirkan.
- Tanpa pelumas, seks anal dapat menyebabkan luka mikro, yang memperbesar risiko penularan IMS, termasuk HIV dan HPV.
- Ketidakstabilan Sosial dan Ekonomi
- Beberapa individu LGBT—terutama transgender wanita—mengalami diskriminasi kerja dan akhirnya beralih ke pekerjaan seks (sex work) untuk bertahan hidup. Pekerjaan ini membawa risiko IMS yang lebih tinggi, terutama jika dilakukan tanpa akses ke alat pelindung yang memadai.
Apa Dampaknya Jika IMS Tidak Ditangani?
- Sifilis dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, otak, dan sistem saraf jika tidak ditangani.
- Gonore dan klamidia dapat menyebabkan radang panggul, infertilitas, serta nyeri kronis.
- HPV berisiko menyebabkan kanker anus, serviks, penis, dan tenggorokan.
- Selain itu, infeksi IMS yang tidak diobati dapat meningkatkan risiko penularan HIV hingga 2–5 kali lipat, karena luka pada jaringan kelamin mempermudah masuknya virus HIV ke dalam tubuh.
Langkah Pencegahan dan Rekomendasi
Sebagai masyarakat yang peduli, kita bisa mendorong beberapa langkah konkret:
- Mendukung Edukasi Seksual yang Komprehensif dan Inklusif
- Edukasi harus mencakup semua orientasi seksual dan jenis hubungan seksual.
- Bahasa dan visual yang digunakan harus ramah semua gender dan identitas.
- Meningkatkan Akses ke Tes IMS yang Aman dan Gratis
- Klinik-klinik dan layanan kesehatan publik perlu dilatih agar memberikan layanan tanpa prasangka dan rahasiakan identitas pasien.
- Distribusi Gratis Kondom dan Pelumas di Wilayah Rawan
- Terutama di daerah urban padat, area komunitas LGBT, dan tempat hiburan malam.
- Menyediakan Vaksin HPV untuk Semua Gender
- Jangan hanya fokus pada remaja perempuan, karena pria dan transgender juga berisiko tinggi.
2. Hepatitis B dan C
Apa itu Hepatitis B dan C?
Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV) adalah infeksi virus yang menyerang organ hati. Keduanya dapat menyebabkan peradangan akut maupun kronis yang berujung pada:
- Sirosis hati (kerusakan hati permanen)
- Gagal hati
- Kanker hati (hepatoseluler karsinoma)
Kedua penyakit ini termasuk dalam silent killer, karena sering kali tidak menunjukkan gejala hingga kerusakan hati sudah parah. Oleh karena itu, tes deteksi dini sangatlah penting.
Cara Penularan dan Relevansinya terhadap Komunitas LGBT
1. Hubungan Seksual Tanpa Perlindungan
- HBV dapat ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah, air mani, dan cairan vagina.
- Seks anal tanpa kondom meningkatkan risiko penularan HBV karena jaringan anus lebih rentan mengalami luka kecil yang menjadi pintu masuk virus.
2. Penggunaan Jarum Suntik Tidak Steril
- Ini umum terjadi dalam dua konteks:
- Penggunaan narkoba suntik, yang masih menjadi coping mechanism pada sebagian komunitas LGBT karena stres dan marginalisasi sosial.
- Terapi hormon gender-affirming (terutama di kalangan transgender), yang tidak dilakukan di fasilitas medis resmi atau dilakukan secara mandiri (self-injection), sehingga alat suntik bisa dipakai ulang dan tidak steril.
3. Tato dan Tindik Non-Steril
- Beberapa individu dari komunitas LGBT juga mengekspresikan identitas gender atau budaya mereka melalui tato atau tindik. Jika dilakukan di tempat yang tidak higienis, ini menjadi risiko tambahan.
Data Global yang Mencemaskan
Menurut studi tahun 2022 dari European Journal of Medical Research:
- Prevalensi Hepatitis B (HBV) pada transgender secara global: 11%
- Prevalensi Hepatitis C (HCV): 9%
(Sumber: Eur J Med Res, 2022)
Sebagai perbandingan, prevalensi Hepatitis B global di populasi umum hanya sekitar 3,5%, sementara Hepatitis C sekitar 1%–2% menurut WHO. Ini berarti transgender menghadapi risiko 3 hingga 5 kali lebih tinggi daripada populasi umum.

Mengapa Ini Terjadi?
1. Marginalisasi dan Hambatan Akses Kesehatan
- Banyak transgender yang tidak bisa mengakses layanan kesehatan umum karena takut diperlakukan diskriminatif.
- Vaksinasi HBV umumnya ditawarkan saat bayi dan anak, namun banyak transgender dewasa yang tidak pernah mendapatkannya, apalagi dari latar belakang ekonomi rendah atau daerah dengan akses kesehatan terbatas.
2. Kurangnya Program Pencegahan yang Inklusif
- Program kesehatan masyarakat sering kali tidak menjangkau komunitas LGBT secara spesifik, apalagi dengan pendekatan yang inklusif dan non-menghakimi.
3. Kurangnya Informasi Tentang Risiko Penularan Hepatitis
- Berbeda dengan HIV, kampanye pencegahan Hepatitis masih jarang menyasar populasi LGBT, sehingga banyak yang belum mengetahui risiko sebenarnya.
Dampaknya Jika Tidak Ditangani
Jika hepatitis tidak didiagnosis dan diobati:
- 60% penderita Hepatitis B kronis bisa mengalami komplikasi hati berat.
- Hepatitis C jika tidak diobati bisa berkembang menjadi kanker hati dalam waktu 10–20 tahun.
- Banyak kasus baru hepatitis yang terlambat dideteksi karena kurangnya tes rutin, terutama di kalangan yang terstigma seperti LGBT dan pengguna napza.

Langkah Pencegahan dan Rekomendasi
Vaksinasi Hepatitis B
- Vaksin HBV sangat efektif dan aman. Sayangnya, belum semua komunitas LGBT dewasa mendapatkannya.
- Pemerintah dan LSM perlu memperluas kampanye vaksinasi ke komunitas rentan, termasuk melalui program outreach berbasis komunitas.
Tes Rutin dan Skrining Hepatitis
- Tes darah untuk deteksi HBV dan HCV sangat mudah dilakukan, namun partisipasi LGBT sering rendah karena rasa tidak aman di fasilitas kesehatan umum.
Edukasi dan Kesadaran
- Penting untuk menyediakan materi edukasi tentang Hepatitis dalam format inklusif, termasuk menjelaskan risiko pada hubungan seks non-vagina dan penggunaan hormon mandiri.
Layanan Kesehatan yang Aman dan Ramah LGBT
- Fasilitas kesehatan perlu dilatih agar paham cara mendampingi pasien LGBT tanpa prasangka.
- Penyedia layanan juga bisa menyediakan akses gratis ke alat suntik steril dan pelatihan injeksi aman bagi transgender yang menjalani terapi hormon mandiri.
3. Kanker Terkait HPV
Apa itu HPV?
Human Papillomavirus (HPV) adalah kelompok virus yang terdiri dari lebih dari 100 jenis. Sebagian besar tidak berbahaya dan bisa hilang sendiri, namun sekitar 14 strain dianggap berisiko tinggi karena dapat menyebabkan kanker. HPV adalah infeksi menular seksual paling umum di dunia.
Jenis kanker yang paling sering dikaitkan dengan HPV meliputi:
- Kanker serviks (leher rahim)
- Kanker anus
- Kanker penis
- Kanker orofaring (bagian atas tenggorokan, termasuk pangkal lidah dan tonsil)
Mengapa Komunitas LGBT Lebih Rentan?
1. Pria yang Berhubungan Seks dengan Pria (MSM)
- MSM tidak memiliki risiko kanker serviks, namun justru memiliki risiko tinggi terhadap kanker anus akibat HPV tipe 16 dan 18.
- Sebuah studi menunjukkan bahwa prevalensi infeksi HPV anal pada MSM HIV-negatif mencapai 60%, dan bisa lebih tinggi pada mereka yang hidup dengan HIV.
(Sumber: Lancet Infectious Diseases, 2018)
2. Transgender Wanita
- Transgender wanita, terutama yang melakukan hubungan seks reseptif anal, juga rentan terhadap infeksi HPV anal.
- Bila mereka menggunakan terapi hormon estrogen jangka panjang, efeknya terhadap sistem kekebalan dan jaringan bisa memperbesar risiko kanker HPV-related.
3. Kurangnya Vaksinasi HPV untuk Semua Gender
- Di banyak negara, termasuk Indonesia, program vaksinasi HPV fokus hampir secara eksklusif pada anak perempuan usia sekolah.
- Laki-laki, pria gay, transgender, dan non-biner jarang dijangkau oleh program vaksinasi nasional, baik karena kebijakan maupun stigma.

Masalah Akses Informasi dan Edukasi
- Banyak dari komunitas LGBT tidak menyadari bahwa HPV juga bisa menyerang mereka, karena edukasi publik masih menyempitkan HPV sebagai "virus penyebab kanker serviks".
- Bahkan di fasilitas kesehatan, tidak semua tenaga medis menyarankan vaksin HPV pada pria, apalagi jika pasien menunjukkan identitas atau perilaku seksual non-heteronormatif.
Hal ini menyebabkan terjadi kekosongan informasi dan pencegahan, padahal kelompok LGBT memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terpapar HPV.
Apa Dampaknya Jika Tidak Divaksin?
Jika tidak ada perlindungan melalui vaksinasi dan edukasi, dampaknya bisa sangat serius:
- Kanker anus akibat HPV adalah salah satu jenis kanker dengan angka kejadian meningkat secara global, terutama pada pria gay dan transgender wanita.
- Infeksi HPV juga bisa menyebabkan kutil kelamin (condyloma acuminata) yang sulit diobati dan sering kambuh.
- Kanker orofaring akibat seks oral yang terpapar HPV juga semakin umum terjadi pada pria dewasa, terutama yang memiliki banyak pasangan seksual.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Perluasan Program Vaksinasi untuk Semua Gender
- Vaksin HPV (seperti Gardasil 9) efektif melindungi dari 9 tipe HPV, termasuk yang paling sering menyebabkan kanker.
- WHO kini merekomendasikan vaksinasi HPV tidak hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk laki-laki dan kelompok berisiko tinggi, termasuk MSM dan transgender.
- Beberapa negara maju (seperti Australia, UK, dan Kanada) telah mengadopsi vaksinasi gender-netral, dan hasilnya menunjukkan penurunan signifikan infeksi HPV dan kanker terkait.
Edukasi Publik yang Inklusif
- Kampanye kesehatan harus mengganti narasi “HPV hanya untuk perempuan” menjadi “HPV bisa mengancam siapa saja”.
- Media, sekolah, dan layanan kesehatan harus menyampaikan informasi yang mencakup semua gender dan orientasi seksual, agar tidak ada yang merasa “tidak relevan” dengan edukasi yang tersedia.
Akses Vaksinasi yang Terjangkau
- Harga vaksin HPV di Indonesia masih cukup tinggi (bisa mencapai Rp 700.000 – Rp 1.000.000 per dosis).
- Pemerintah dan LSM perlu menjalin kerja sama agar vaksin bisa diberikan secara subsidi atau gratis bagi kelompok rentan seperti remaja LGBT, pekerja seks, dan pengguna napza.
4. Penyakit Kardiovaskular
a. Tekanan Sosial sebagai Faktor Pemicu Kesehatan Jantung
Komunitas LGBT sering kali hidup dalam lingkungan yang penuh tekanan sosial:
- Stigma sosial
- Diskriminasi di tempat kerja atau sekolah
- Penolakan keluarga
- Penghakiman dari institusi keagamaan atau hukum
Semua bentuk penolakan ini menyebabkan stres kronis, yang oleh para ahli disebut sebagai minority stress. Stres ini tidak hanya berdampak secara psikologis, tetapi juga mengganggu sistem kardiovaskular, termasuk:
- Meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah
- Menyebabkan peradangan sistemik
- Menurunkan efisiensi metabolisme lemak dan gula
Menurut laporan dari American Heart Association, stres kronis seperti ini secara langsung meningkatkan risiko tekanan darah tinggi (hipertensi) dan penyakit jantung iskemik (penyempitan pembuluh darah jantung).
b. Kebiasaan Koping Negatif: Merokok dan Alkohol
Dalam kondisi penuh tekanan, banyak individu—termasuk dari komunitas LGBT—mengembangkan mekanisme koping negatif, seperti:
- Merokok: digunakan untuk menenangkan diri atau "menghilangkan stres"
- Konsumsi alkohol: sebagai pelarian dari kecemasan, kesepian, atau trauma
Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention):
- 40% orang LGBT dewasa merokok, dibandingkan hanya 24% populasi umum
- Penggunaan alkohol berat (binge drinking) juga jauh lebih tinggi di kalangan LGBT, terutama remaja dan dewasa muda
Kedua kebiasaan ini merupakan faktor risiko utama untuk:
- Tekanan darah tinggi
- Aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah)
- Gagal jantung dan serangan jantung
c. Ketidakaktifan Fisik dan Gaya Hidup Sedenter
Laporan dari American Heart Association juga menyatakan bahwa orang dewasa LGBT lebih mungkin untuk kurang berolahraga atau menjalani gaya hidup sedentari (minim gerak). Hal ini bisa disebabkan oleh:
- Rasa tidak aman di fasilitas kebugaran umum karena diskriminasi atau body shaming
- Kurangnya dukungan sosial untuk aktivitas fisik
- Depresi dan kelelahan akibat tekanan sosial yang menyebabkan keengganan untuk berolahraga
Gaya hidup sedentari ini memicu:
- Kenaikan berat badan
- Penurunan kekuatan jantung dan paru-paru
- Resistensi insulin yang meningkatkan risiko diabetes (faktor tambahan untuk penyakit jantung)
d. Akses Terbatas ke Layanan Kesehatan Preventif
Pencegahan penyakit jantung seharusnya dimulai sejak dini melalui:
- Pemeriksaan tekanan darah dan kolesterol secara rutin
- Konseling gaya hidup sehat
- Intervensi dini terhadap stres dan kecemasan
Namun sayangnya, banyak individu LGBT menghindari fasilitas kesehatan karena:
- Pengalaman diskriminatif
- Ketakutan tidak dipahami atau dihormati identitasnya
- Kurangnya tenaga kesehatan yang memiliki pelatihan sensitivitas LGBT
Akibatnya, banyak faktor risiko penyakit jantung tidak terdeteksi sejak awal, dan baru muncul ketika kondisinya sudah parah.
e. Kesehatan Mental = Kesehatan Jantung
Kita tidak bisa memisahkan kesehatan mental dari kesehatan jantung, khususnya dalam konteks komunitas LGBT.
Kecemasan, depresi, dan trauma masa lalu bisa mengganggu keseimbangan sistem otonom saraf (yang mengatur detak jantung dan tekanan darah). Ini memperbesar kemungkinan:
- Aritmia (detak jantung tidak teratur)
- Hipertensi
- Peningkatan hormon stres seperti kortisol
5. Gangguan Kesehatan Mental
a. Tekanan Sosial yang Meninggalkan Luka Psikologis
Banyak individu LGBT tumbuh di lingkungan yang tidak aman secara emosional. Sejak dini, mereka dihadapkan pada:
- Penolakan dari keluarga
- Bullying dan kekerasan verbal di sekolah
- Stigma dari institusi keagamaan dan masyarakat luas
- Media yang menggambarkan LGBT secara negatif atau stereotip
Kondisi ini memicu apa yang dikenal sebagai “trauma minoritas” (minority stress)—suatu bentuk tekanan psikologis yang bersifat kronis karena seseorang terus-menerus merasa tidak diterima dan rentan diserang karena identitasnya.
b. Data Terkini: Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Remaja LGBT
Menurut The Trevor Project National Survey 2024, survei tahunan terbesar terhadap remaja LGBT di Amerika Serikat, ditemukan bahwa:
- 66% remaja LGBT mengalami gejala kecemasan
- 53% mengalami gejala depresi
- 41% mengaku pernah berpikir untuk bunuh diri dalam 12 bulan terakhir
Ini berarti, hampir 1 dari 2 remaja LGBT hidup dengan tekanan emosional yang berat, dan 1 dari 3 telah berada di ambang keputusan hidup atau mati dalam satu tahun terakhir.
Gejala yang mereka alami tidak terjadi di ruang hampa. Banyak dari mereka tak punya siapa pun untuk diajak bicara, atau jika pun ada, takut dihakimi atau dikucilkan.

c. Penyalahgunaan Zat sebagai Coping Mechanism
Ketika dukungan emosional tidak tersedia, banyak individu LGBT mencari pelarian dalam alkohol atau narkoba. Ini bukan bentuk “kebandelan,” melainkan mekanisme koping terhadap trauma dan kesepian.
Menurut American Psychiatric Association:
- Prevalensi gangguan penggunaan zat (substance use disorders) pada komunitas LGBT dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
- Kaum transgender dan biseksual menunjukkan tingkat penggunaan zat paling tinggi, terkait dengan tingkat penolakan sosial dan diskriminasi yang lebih intens.
Penggunaan zat seperti ini—baik alkohol, ganja, methamphetamine, hingga opioid—sering dimulai di usia remaja atau dewasa muda, fase di mana identitas diri sedang dibangun dan rentan terhadap pengaruh lingkungan.
d. Tantangan Ganda: Diagnosis Terlambat dan Akses Layanan Rendah
Banyak masalah kesehatan mental di komunitas LGBT tidak tertangani karena:
- Ketakutan akan diskriminasi dari psikolog atau psikiater
- Minimnya tenaga profesional yang terlatih dalam isu LGBT
- Rendahnya kepercayaan pada sistem layanan kesehatan mental konvensional
- Ketiadaan layanan kesehatan gratis atau berbasis komunitas yang ramah dan mudah diakses
Akibatnya, gangguan mental menjadi kronis dan semakin sulit diintervensi, terutama ketika sudah berkembang menjadi gangguan bipolar, PTSD (trauma berat), atau keinginan bunuh diri berulang.
e. Isolasi dan Kehilangan Support System
Salah satu dampak paling menghancurkan adalah hilangnya support system, seperti:
- Dikeluarkan dari rumah oleh orang tua
- Dijauhi oleh teman dekat setelah coming out
- Kehilangan pekerjaan karena identitas gender
- Merasa tidak punya tempat ibadah atau komunitas spiritual yang menerima
Tanpa dukungan sosial, proses penyembuhan menjadi hampir mustahil. Kita semua butuh tempat aman untuk didengar, diterima, dan dicintai tanpa syarat. Bagi komunitas LGBT, hal ini masih menjadi kemewahan yang langka.
6. Hambatan dalam Mengakses Layanan Kesehatan
Banyak dari kita mungkin belum tahu bahwa sekitar 46% orang dewasa LGBT melaporkan tidak mendapat layanan kesehatan mental yang mereka butuhkan karena:
- Takut diskriminasi
- Tidak percaya pada penyedia layanan
- Kurangnya tenaga medis yang ramah LGBT
Kondisi ini seharusnya menjadi refleksi kita bersama. Kalau kita ingin membangun sistem kesehatan yang adil, maka pelatihan dan reformasi layanan kesehatan adalah keharusan.
Tugas Kita Bersama
Kesehatan adalah hak setiap orang—tanpa terkecuali. Ketika kita melihat fakta bahwa komunitas LGBT menghadapi tantangan kesehatan yang lebih besar, bukan berarti mereka “bermasalah”, tapi lingkungan sosial kitalah yang belum sepenuhnya berpihak pada kesetaraan.
Normalisasi Dukungan Emosional
- Dorong teman, keluarga, dan institusi pendidikan untuk menjadi tempat aman bagi orang-orang LGBT.
- Mengatakan “Aku mendukungmu” atau “Kamu diterima” bisa menjadi titik balik bagi seseorang yang sedang bergumul dengan depresinya.
Bangun Layanan Kesehatan Mental yang Ramah LGBT
- Tenaga psikolog dan konselor harus dilatih secara khusus agar peka terhadap identitas seksual dan gender yang beragam.
- Layanan gratis atau berbasis komunitas perlu diperbanyak, termasuk dalam bentuk daring (online counseling).
Hentikan Stigma, Sebarkan Empati
- Kampanye tentang kesehatan mental dan LGBT harus bebas dari narasi “penyimpangan” atau “perilaku menyimpang.”
- Sebaliknya, kita harus bicara dengan empati, berdasarkan sains, dan berpusat pada hak asasi manusia.
Karena pada akhirnya, kesehatan bukan hanya tentang tubuh yang kuat, tapi juga tentang lingkungan yang saling menjaga, terutama mental health kita masing-masing.