Fakta Mengerikan: Perubahan Iklim Bisa Picu Lonjakan Demam Berdarah!

profile picture pakdoktor
Kesehatan - Penyakit

Perubahan iklim bukan hanya soal naiknya suhu bumi atau mencairnya es di kutub—dampaknya jauh lebih dekat dan nyata, termasuk meningkatnya risiko penyakit menular seperti Demam Berdarah Dengue (DBD). Kenaikan suhu dan perubahan pola curah hujan menciptakan kondisi ideal bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak lebih cepat dan luas. Fakta mengerikan ini menunjukkan bahwa krisis iklim bisa menjadi pemicu lonjakan kasus DBD di berbagai wilayah, bahkan di daerah yang sebelumnya bukan zona merah. Artikel ini akan mengungkap keterkaitan langsung antara perubahan iklim dan penyebaran DBD yang semakin mengkhawatirkan.

Dikutip dari Yale School of Environment, peningkatan suhu global antara tahun 1950-2018 telah meningkatkan kesesuaian iklim untuk penularan virus dengue oleh vektor nyamuk Aedes aegypti. Ketika suhu terus meningkat, lebih banyak daerah akan menjadi tempat yang layak huni bagi nyamuk. “Peningkatan suhu juga memperluas jangkauan geografis penularan demam berdarah,” ujar peneliti kesehatan publik Universitas Airlangga, Ilham Akhsanu Ridlo.

Studi di Argentina menunjukkan korelasi yang jelas antara tren positif dalam suhu dan keberadaan serta peningkatan kasus demam berdarah, dengan jumlah hari dan bulan dengan suhu optimal untuk penularan demam berdarah yang meningkat dari waktu ke waktu.

Sementara itu, studi ekologi spasial di Kalimantan, Indonesia menemukan bahwa kejadian demam berdarah di Sumatera dan Kalimantan sangat bersifat musiman dan terkait dengan faktor iklim dan deforestasi. Penelitian ini lebih jauh memerlukan telaah lanjut untuk menggabungkan indikator iklim ke dalam surveilans berbasis risiko mungkin diperlukan untuk demam berdarah di Indonesia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan bahwa pemanasan global yang ditandai dengan suhu rata-rata yang lebih tinggi, curah hujan, dan periode kekeringan yang lebih lama dapat memicu rekor jumlah infeksi demam berdarah di seluruh dunia. 

Menurut Dr Raman Velayudhan, Kepala Program Global WHO untuk Pengendalian Penyakit Tropis yang Terabaikan, perubahan iklim menyebabkan peningkatan curah hujan, kejadian banjir, dan perubahan pola musim, termasuk dapat meningkatkan populasi nyamuk dan penularan demam berdarah. Ada banyak faktor selain perubahan iklim yang mendorong penyebaran demam berdarah, seperti peningkatan pergerakan orang dan barang, urbanisasi dan tekanan terhadap air dan sanitasi.

Perubahan iklim di Indonesia

Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca global dalam jangka panjang yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan faktor alam, terutama yang berdampak pada kenaikan suhu rata-rata bumi (global warming). Perubahan ini tidak hanya tentang suhu panas yang meningkat, tapi juga mencakup perubahan curah hujan, kelembapan, musim, dan cuaca ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan badai tropis yang makin sering terjadi.

Penyebab perubahan iklim

  1. Aktivitas Manusia (Penyebab Utama)
    Emisi Gas Rumah Kaca seperti CO₂, CH₄, dan N₂O dari:
  • Pembakaran bahan bakar fosil (kendaraan, industri)
  • Deforestasi (penebangan hutan)
  • Pertanian dan peternakan
  • Gas-gas ini memerangkap panas di atmosfer bumi dan menyebabkan efek rumah kaca.
  1. Faktor Alam

-      Aktivitas gunung berapi

-      Perubahan radiasi matahari

-      Variasi alami seperti El Niño dan La Niña

Dampak perubahan iklim

  1. Global
  • Suhu bumi meningkat (pemanasan global)
  • Pencairan es kutub dan naiknya permukaan laut
  • Cuaca ekstrem lebih sering terjadi (badai, banjir, kekeringan)
  1. Di Indonesia
  • Musim hujan dan kemarau jadi tidak menentu
  • Meningkatnya risiko kebakaran hutan
  • Lonjakan penyakit berbasis lingkungan, seperti demam berdarah (DBD) karena nyamuk lebih mudah berkembang biak di iklim lembap dan hangat

Hubungan antara perubahan iklim dan lonjakan kasus DBD di Indonesia
 

Salah satu dampak yang kini menjadi perhatian dunia ialah meningkatnya risiko penyebaran demam berdarah (DBD). Penyakit yang disebabkan virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes aegypti ini, kini semakin meluas akibat suhu tinggi dan pola cuaca yang berubah drastis. Kondisi ini menuntut kewaspadaan semua pihak untuk mencegah ancaman yang semakin nyata ini.

Pemanasan global dan perubahan pola cuaca telah menciptakan lingkungan yang ideal bagi perkembangbiakan nyamuk. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal One Health tahun 2022 oleh Abdullah dan koleganya menunjukkan adanya korelasi kuat antara perubahan iklim dan peningkatan kasus DBD. Menurut penelitian tersebut, kenaikan suhu mempercepat siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. Sementara kelembapan tinggi memperpanjang masa hidup mereka, sehingga meningkatkan risiko penularan penyakit.

Indonesia, sebagai negara tropis, menjadi salah satu wilayah paling rentan terhadap dampak ini. Hujan deras yang terjadi lebih sering menciptakan genangan air sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk, sementara musim kemarau yang lebih panas memicu percepatan proses inkubasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Kondisi ini memicu ledakan populasi nyamuk, yang pada akhirnya memperburuk penyebaran DBD di masyarakat.

Perubahan iklim memicu kondisi lingkungan yang semakin ideal bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak dan menyebar. Peningkatan suhu mempercepat siklus hidup nyamuk, sehingga dari telur hingga nyamuk dewasa hanya memerlukan waktu singkat. Sementara itu, curah hujan yang tinggi menciptakan banyak genangan air yang menjadi tempat bertelur favorit mereka. Ditambah lagi, kelembapan yang tinggi membuat nyamuk dewasa dapat bertahan hidup lebih lama dan tetap aktif menggigit. Bahkan, perubahan ini menyebabkan penyebaran nyamuk menjangkau dataran tinggi, wilayah yang sebelumnya tidak termasuk area rawan demam berdarah, sehingga memperluas potensi wabah.

Data dan Tren Kasus DBD di Indonesia dalam Konteks Iklim

Indonesia merupakan negara tropis yang secara alami menjadi wilayah endemik DBD. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tren kasus DBD menunjukkan pola peningkatan musiman yang semakin berkaitan erat dengan perubahan iklim.

  1. Statistik Peningkatan Kasus DBD di Musim Hujan atau Tahun dengan Iklim Ekstrem

Musim Hujan dan Peningkatan Kasus DBD: Kasus DBD di Indonesia cenderung meningkat saat musim hujan. Curah hujan yang tinggi menciptakan banyak genangan air, yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti, vektor utama DBD. Misalnya, pada tahun 2024, hingga minggu ke-42, tercatat 203.921 kasus DBD dengan 1.210 kematian, tersebar di 482 kabupaten/kota di 36 provinsi. ​ Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa kasus DBD meningkat tajam setiap musim hujan, terutama antara Desember hingga Maret.

Tahun dengan Iklim Ekstrem: Perubahan iklim yang ekstrem, seperti fenomena El Niño dan La Niña, juga berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kasus DBD. Pada tahun 2022, Indonesia mengalami lonjakan kasus DBD sebesar 94,8% dibanding tahun sebelumnya, dengan total 143.184 kasus.

  1. Korelasi antara El Niño/La Niña dengan Lonjakan Kasus DBD

El Niño: Fenomena El Niño, yang ditandai dengan peningkatan suhu permukaan laut dan kondisi kering, berkorelasi dengan peningkatan kasus DBD. Peningkatan suhu mempercepat siklus hidup nyamuk dan meningkatkan frekuensi gigitan. Kementerian Kesehatan mencatat bahwa siklus dua tahunan El Niño berkorelasi kuat dengan peningkatan kasus DBD di Indonesia. ​

La Niña: Sebaliknya, La Niña yang menyebabkan peningkatan curah hujan juga berdampak pada lonjakan kasus DBD. Curah hujan tinggi menciptakan lebih banyak tempat berkembang biak bagi nyamuk. Penelitian menunjukkan bahwa La Niña dengan intensitas sedang menyebabkan peningkatan kasus DBD di beberapa provinsi di Indonesia. Tahun-tahun dengan curah hujan ekstrem (akibat La Nina) menunjukkan lonjakan kasus signifikan, misalnya pada tahun 2016 dan 2020.

Daerah Paling Rentan di Indonesia

Data Kasus per Provinsi: Pada tahun 2024, hingga minggu ke-17, tercatat 88.593 kasus DBD dengan 621 kematian di Indonesia. Kasus tersebar di 456 kabupaten/kota di 34 provinsi. Kematian akibat DBD terjadi di 174 kabupaten/kota di 28 provinsi. ​

Peningkatan Kasus di Beberapa Daerah: Beberapa daerah mengalami peningkatan signifikan. Misalnya, Provinsi Lampung mencatat peningkatan kasus DBD pada periode Januari-April 2024, yang dipengaruhi oleh fenomena El Niño dan La Niña.

1. Wilayah Perkotaan Padat Penduduk

Contoh: Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar

  • Kepadatan penduduk memudahkan nyamuk menemukan inang (manusia) untuk digigit.
  • Banyaknya wadah buatan manusia (ember, pot, sampah plastik) menjadi tempat ideal bagi nyamuk bertelur.
  • Sirkulasi udara buruk dan tingginya kelembapan memperpanjang usia nyamuk dewasa.

2. Daerah dengan Curah Hujan Tinggi dan Drainase Buruk

Contoh: Tangerang, Bekasi, Depok, Samarinda, Banjarmasin

  • Curah hujan tinggi menghasilkan banyak genangan air.
  • Sistem drainase yang buruk membuat air tergenang lebih lama, memicu ledakan populasi jentik nyamuk.

3. Wilayah Dataran Rendah dan Lembah Tropis

Contoh: Yogyakarta, Lampung, Palembang, Mataram

  • Kelembapan tinggi sepanjang tahun dan suhu hangat mempercepat siklus hidup nyamuk.
  • Perpaduan antara pemukiman padat dan vegetasi tropis mendukung tempat bersembunyi nyamuk dewasa.

4. Wilayah Dataran Tinggi yang Kini Mulai Terpapar

Contoh: Bandung, Malang, Tomohon

  • Dulu relatif aman karena suhu rendah, namun karena perubahan iklim, suhu mulai cukup hangat bagi nyamuk berkembang.
  • Urbanisasi dan pembangunan perumahan juga menambah potensi sarang nyamuk.

5. Wilayah Kepulauan Tropis

Contoh: Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Papua Barat

  • Keterbatasan air bersih membuat warga menyimpan air dalam wadah terbuka, yang menjadi tempat bertelur nyamuk.
  • Sulitnya akses pelayanan kesehatan juga memperbesar risiko fatal akibat DBD.

Strategi Pencegahan DBD di Tengah Perubahan Iklim

Perubahan iklim memperluas wilayah sebaran nyamuk Aedes aegypti dan meningkatkan risiko DBD secara signifikan. Strategi pencegahan yang efektif memerlukan adaptasi lokal, edukasi aktif, serta pemanfaatan inovasi teknologi dan biologis. Pencegahan harus bersifat kolaboratif antara pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat agar tetap tangguh menghadapi tantangan iklim ke depan.

Adaptasi terhadap kondisi lingkungan baru
 

Perubahan iklim menyebabkan:

  • Musim hujan yang lebih panjang atau tidak menentu
  • Peningkatan suhu rata-rata
  • Genangan air di tempat-tempat baru

Strategi adaptasi yang bisa dilakukan:

  • Mengidentifikasi titik-titik baru tempat berkembang biaknya nyamuk, misalnya genangan di pot tanaman, talang air, atau ban bekas yang sebelumnya kering.
  • Menyesuaikan jadwal PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) berdasarkan musim dan intensitas hujan, bukan hanya rutinitas mingguan.
  • Menggunakan tanaman pengusir nyamuk (seperti lavender, serai, atau zodia) di pekarangan rumah.
  • Membangun sistem drainase yang baik untuk mencegah air menggenang lebih dari 3 hari.

Fakta: Telur nyamuk Aedes aegypti bisa bertahan selama berbulan-bulan dalam kondisi kering, lalu menetas ketika terkena air. Maka, pencegahan perlu dilakukan bahkan di musim kemarau.

Penguatan sistem peringatan dini dan edukasi warga

Langkah konkret:

  • Menggunakan data cuaca dan lingkungan (suhu, kelembapan, curah hujan) sebagai indikator peringatan dini penyebaran DBD.
  • Pemantauan jumlah kasus di tingkat RT/RW secara berkala dan real-time.
  • Edukasi masyarakat berbasis data lokal, seperti infografik atau pengumuman rutin saat musim hujan tiba.
  • Pelibatan kader posyandu, RT/RW, dan sekolah sebagai agen edukasi untuk mengenali gejala DBD dan cara mencegahnya.
  • Sosialisasi digital dan SMS blast dari dinas kesehatan saat tren DBD meningkat.

Contoh sukses: Beberapa kota di Indonesia sudah menggunakan aplikasi pelaporan jentik nyamuk dan kasus DBD berbasis peta untuk intervensi cepat.

Inovasi dalam pengendalian nyamuk (bio-larvasida, teknologi)

a. Penggunaan Bio-larvasida

Produk alami atau ramah lingkungan yang membunuh jentik nyamuk tanpa mencemari air.

Contoh: larvasida berbasis bakteri Bacillus thuringiensis israelensis (Bti).

b. Teknologi Wolbachia

Wolbachia adalah bakteri yang disuntikkan ke dalam tubuh nyamuk jantan.

Hasilnya: telur yang dihasilkan nyamuk tidak menetas atau virus Dengue tidak berkembang dalam tubuh nyamuk.

Sudah diuji di beberapa kota di Indonesia (seperti Yogyakarta) dengan hasil penurunan kasus DBD yang signifikan.

c. Aplikasi dan Sistem Pendeteksi Dini

Sensor otomatis untuk mendeteksi keberadaan larva nyamuk di saluran air.

Penggunaan drone dan AI untuk pemetaan wilayah rawan DBD.

d. Desain Rumah Anti Nyamuk

Penggunaan ventilasi tertutup dengan kasa nyamuk.

Pemasangan kelambu dan pengendalian kelembapan di dalam rumah.

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By pakdoktor

This statement referred from