Wisata di Sumatera Barat? Yuk Kunjungi Perkampungan Adat Sijunjung! Ada Puluhan Rumah Gadang dan Tradisi Bakaua
Matahari bersinar cerah, tetapi tidak terlalu panas siang itu. Ditambah angin sepoi-sepoi yang berhembus menambah sejuk suasana. Diiringi irama talempong, alat musik khas Minangkabau, Sumatera Barat. Ibu-ibu kompak memakai busana senada dengan jilbab putih, kain batik yang disampirkan, baju kurung berwarna hitam, dan rok kain batik.
Diatas kepala mereka menyunggi "dulang" tempat makan khas Minangkabau yang berisi sejumlah lauk termasuk rendang, gulai daging kerbau, dendeng, dan beraneka makanan lain. Mereka berjajar rapih sepanjang jalan perkampungan adat itu, berjalan sejauh tak kurang dari 1 kilometer.
Suasana itulah yang akan kalian temui jika berkesempatan mengikuti Upacara Adat "Bakaua" atau "Bakau" yang rutin diselenggarakan setiap tahun sebelum masa tanam padi tiba yakni pada bulan Mei-Juni, bertempat di Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato, Perkampungan Adat Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.
Upacara Adat Bakaua merupakan upacara adat sebagai wujud syukur atas panen padi yang melimpah dan pengharapan agar musim tanam padi selanjutnya mampu memberikan hasil yang semakin baik. Perkampungan Adat Nagari Sijunjung telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Indonesia oleh Kemdikbud melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 186/M/2017.
Upacara Adat Bakaua terdiri dari berbagai rangkaian acara yang panjang, dimulai dari pra-acara beberapa hari sebelum acara inti, dengan perayaan festival kuliner maupun perlombaan permainan anak. Sementara itu, pada malam harinya terdapat pentas seni tradisional dengan menampilkan seni Randai. Randai merupakan seni tradisional Minangkabau yang menggabungkan sejumlah kesenian seperti teater, musik, silat, menari, menyanyi, dan lain-lain.
Kemudian pada dini hari, sebelum upacara dimulai pada pagi harinya, dilakukan penyembelihan kerbau yang dijadikan sebagai kurban oleh tokoh adat seperti Niniak Mamak, Pemimpin Nagari, dan sejumlah tokoh yang lain, penyembelihan kerbau tersebut dinamakan "Mambantai Kabau". Prosesi ini dilakukan pada sekitar pukul 2 pagi atau 3 pagi dengan diikuti oleh kalangan pria.
Pada pagi harinya, daging hasil penyembelihan kerbau akan dibagikan kepada seluruh penduduk nagari untuk nantinya dimasak dan dibawa pada saat Upacara Adat Bakaua berlangsung. Sementara itu, dirumah salah satu tetua adat dilakukan prosesi "malimau tungkek" memandikan tongkat dengan air dan tongkat tersebut disakralkan oleh penduduk setempat.
Pada siang harinya, para Bundo Kanduang yakni pemimpin perempuan di setiap keluarga (perempuan yang dituakan) akan memakai pakaian adat Bundo Kanduang dan mulai berkumpul di Tugu Bundo Kanduang Perkampungan Adat Nagari Sijunjung. Mereka akan melakukan prosesi arak-arakan menyunggi jamba sejauh 1 kilometer menuju Tabek Adat.
Setelah sampai di Tabek Adat, dilakukan acara pembukaan oleh tokoh adat dan dilakukan pula saling bertukar pepatah petitih. Kemudian dilanjutkan dengan menceritakan sejarah dan legenda terkait dengan Upacara Adat Bakaua. Pada akhir acara kemudian dilanjutkan dengan prosesi makan bajamba. Makan bajamba adalah tradisi makan adat dimana terdapat tatacara dan persyaratan khusus seperti harus dengan etika dan norma makan yang sesuai.
Legenda Upacara Adat Bakaua
Ilham Toboh yang bergelar Katib Rajo (Katib Adat Nagari Sijunjung) menerangkan bahwa asal mula Upacara Adat Bakaua menurut legenda yang berkembang dari tuturan lisan masyarakat secara turun temurun dapat ditelusuri pertama kali pada abad ke-17. Menurut sastra lisan legenda tersebut di wilayah Nagari Sijunjung terdapat musibah besar atau bala penyakit.
"Musibah kemarau itu terjadi berkepanjangan selama 3 tahun berturut-turut. Masyarakat pun tidak bisa bertanam padi atau orang disini menyebut dengan istilah "Angau". Setiap harinya terdapat 5 hingga 7 ekor ternak yang mati. Terdapat pula penyakit "Ngorok" atau "Ibeg', setiap hari terdapat warga desa yang meninggal dunia, dan antar niniak mamak tidak memiliki kesepakatan atau perpecahan akibat perbedaan" tuturnya.
Menurut riwayatnya, salah satu alim ulama yang hidup di zaman itu yang bernama Syekh Amiluddin mendapatkan mimpi didatangi oleh Syekh Abdul Muksim. Dalam mimpinya itu, dia diberi pesan bahwa nagari akan terus dilanda musibah berkepanjangan jika tidak ada yang dilakukan. Maka Syekh Abdul Muksim menyarankan agar diadakan upacara sebagai wujud syukur kepada Allah SWT dengan menyembelih kerbau dan dijadikan sebagai nazar setiap tahun.
"Untuk itu, pada acara Mambantai Kabau, setiap sebelum kerbau disembelih pasti dilakukan nadzar bahwa penyembelihan kerbau akan dilakukan sebagai wujud rasya syukur panen bisa memiliki hasil yang melimpah. Oleh karena itu setiap tahun niniak mamak melaksakan Upacara Bakaua Adat ini" terangnya.
Cerita Ikan Sebelah
Selain tradisi Upacara Adat Bakaua, tempat pelaksanaan upacara juga memiliki legenda tersendiri. Cerita ini dituturkan oleh Hendri Edison yang bergelar Peto Bonsu, sekretaris Pengurus KAN Sijunjung. Bermula ketika zaman kejayaan istana Baso Pagaruyuang terdapat anggota keluarga kerajaan yaitu seorang Putri yang terkena penyakit kusta.
"Ia akhirnya dibawa didaerah Sijunjung untuk diobati sembari menuntut ilmu agama. Kemudian oleh Syekh Abdul Muksim yang bergelar Malin Sutan, ketika kuda rombongan Putri tiba di Tabek Adat Malin Sutan meminta agar sang putri mau bermukim disini. Malin Sutan juga meminta putri untuk mengambil ikan di kolam itu agar dapat mengobati penyakitnya" ceritanya.
Ketika gadis itu memotong ikan tersebut, hal ajaib terjadi dimana sebelah badan ikan yang sudah dipotong terjatuh dan kembali kedalam danau atau Tabek dan ikan tersebut tetap bisa hidup. Peristiwa tersebut merupakan karomah dimana setelah memakan bagian sebelah dari ikan tersebut, puteri dari Pagaruyung itu menjadi sembuh.
Legenda Asal Mula Nama Sijunjung
Katib Rajo juga menceritakan bahwa asal mula dari penamaan Sijunjung berawal dari kisah Syekh Abdul Mukim yang setiap tahun selalu mengadakan napak tilas. Ia bersama murid-muridnya melakukan napak tilas untuk menyebarkan ilmu agama Islam di Kuntu Darussalam dan menemui Kesultanan Daruttaulat (bagian dari Pagaruyung).
Sultan yang memimpin di kesultanan tersebut bergelar Sultan Khalifah Alif dimana sang sultan meminta bantuan Syekh Abdul Mukim untuk mengislamkan penduduk. Syekh Abdul Mukim kemudian menuju wilayah tigo baleh yang berbatasan dengan Kerajaan Jambu Ipoh, sebelum mencapai wilayah tersebut haruslah melewati Gunung Medan dan Sungai Kandi.
Pendek cerita, setelah sampai didaerah Tigo Baleh, syekh mendirikan pemukiman dimana ia menyelenggarakan musyawarah. Ketika musyawarah dilaksanakan, terdapat musibah yang terjadi. Kemenakan syekh yang bernama Putri Ambasana tercebur kedalam lumpur hisap dan tidak ada yang berani menolongnya.
Melihat nyawa kemenakannya terancam, syekh kemudian menggunakan tongkat yang dibawanya ia ulurkan kepada Putri Ambasana. Sambil berdoa terlebih dahulu kemudian berkata "Pegang, Pak Cik anjuang putri ke ateh" artinya "Tolong pegang, Paman akan mengangkat mu keatas". Dari sanalah muncul istilah penyebutan nama nagari menjadi "Si Puti Junjuang" atau disingkat menjadi "Sijunjung".
Panorama Puluhan Rumah Gadang
Rumah Gadang yakni rumah tradisional suku Minangkabau menjadi pemandangan indah yang ditemukan disepanjang Perkampungan Adat Nagari Sijunjung. Setiap rumah mewarisi tradisi Matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan ibu dimana perempuan memiliki posisi yang dihormati.
Pemandangan Rumah Gadang dengan ukiran khas menjadi daya tarik bagi kamu yang ingin mengunjungi perkampungan adat ini. Selain budaya, disini juga terkenal dengan kulinernya yang lezat. Jika kamu datang bersamaan dengan Upacara Adat Bakaua kamu bisa mencicipi hidangan olahan daging kerbau dan lamang yang terkenal lezat.
Untuk itu, bagi kamu yang berkunjung ke Sumatera Barat atau tertarik berkunjung kesana. Alangkah baiknya pada sekitar bulan Mei-Juni dimana ini juga merupakan musim libur sekolah. Kamu bisa menikmati perayaan adat yang otentik dan khas yang tidak akan kamu temukan di daerah lain. Sungguh kekayaan budaya Nusantara yang patut dilestarikan.