Memahami Perkembangan Dialog Al-Quran Dengan Ahl Kitab
Sebagaimana yang diketahui, Al-Quran turun secara berangsur-angsur untuk menjawab permasalahan yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. tidak turun di ruang hampa tanpa adanya konteks. Hal tersebut kemudian membawa pada pemahaman bahwa ayat-ayat Al-Quran yang turun kepada Nabi merupakan rentetan hasil dialog Al-Quran itu sendiri dengan konteks yang mengitarinya.
Contoh kongkrit dari dialog Al-Quran dengan zaman adalah proses turunnya ayat-ayat tentang khamr. Namun begitu, konteks yang mengitari Rasulullah dan Al-Quran bukan hanya khamr dan masyarakat arab yang mencintainya. Banyak konteks lain yang mengitari Al-Quran dan Rasulullah. Salah satunya adalah mengenai ahl kitab. Adanya “mereka” dalam sejarah kehidupanan Nabi membuat Al-Quran turun dengan membawa narasi ayat untuk merespon mereka. Oleh karena itu, tidak heran rasanya apabila banyak dari ayat-ayat Al-Quran yang berbicara mengenai mereka.
Menjadi suatu pertanyaan, narasi Al-Quran mengenai ahl kitab tidak selalu sama. Tekadang pembahasan mengenai mereka bernarasi positif dengan membela, namun kadang kala pembahasan Al-Quran mengenai mereka bernarasi negatif dengan mengecam dan bahkan menyesatkan apa yang mereka lakukan. Pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh Munim Sirry dalam bukunya Polemik Kitab Suci dengan memberi tesis bahwa pembahasan Al-Quran mengenai ahl kitab cenderung berkembang apabila dilihat dari segi waktu dan tempat.
Agama Monoteis Yang Satu
Fase dialog Al-Quran dengan ahl kitab oleh Munim Sirry dibagi menjadi dua yaitu fase Mekkah dan Madinah.[1] Pada fase Mekkah, pembahasan mengenai ahl kitab tidak banyak dijumpai sebab konsern utama pada fase ini adalah untuk membantah para penganut politeisme[2] yang dalam Al-Quran disebut dengan kaum musyrikun. Contoh dari gugatan Al-Quran kepada kaum musyrik telihat dalam beberapa ayat Al-Quran yaitu Qs. al-Hajj: 30-31 dan Qs. Shad: 4-7.
Terkait dilaog Al-Quran dengan ahl kitab, narasi yang dibangun oleh Al-Quran cenderung bernada positif dan bersahabat. Contoh dari hal ini dapat dilihat diantaranya dalam Qs. al-Anbiya’: 7, Qs. an-Nahl: 43, Qs. al-An’am: 20, dan Qs. ar-Ra’d: 36. Jika melihat mundur dengan kacamata historis, hal tersebut dapat dikatakan wajar sebab sebagaimana yang dikatakan Fazlur Rahman bahwa Muhammad Saw. banyak mendapat dukungan dari para pengikut ajaran Yahudi dan Kristen saat beliau menghadapi penentangan dari kaum pagan mengenai dakwah monoteisnya.[3]
Menarik untuk dibahas, salah satu tesis yang dikemukakan oleh Munim Sirry dalam bukunya Kontroversi Islam Awal menyebutkan bahwa bangunan narasi polemik Al-Quran dengan perilaku kaum pagan yang mendustai dakwah Nabi serta dukungan Al-Quran terhadap agama samawi lain berfungsi upaya mengisolasikan Islam dengan tradisi agama Yahudi dan Kristen yang notabene pada saat itu telah mapan dikatakan sebagai agama monoteistik.[4]
Hal tersebut dilakukan untuk menegasikan bahwa ajaran yang dibawa oleh Muhammad sama dengan ajaran yang dibawa oleh para Nabi terdahulu. Lebih lanjut, Al-Quran kemudian membawa kisah-kisah yang sebelumnya diceritakan dalam Alkitab. Sebagai contoh, hasil dari penegasan kesamaan ajaran tersebut dapat dilihat dari penyambutan hangat raja Habasyah setelah dibiacakan kepadanya Qs. Maryam: 14 yang membuatnya menangis seraya mengatakan tidak ada perbedaan antara ajaran yang dibawa oleh Isa al-Masih dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad Saw.[5]
Islam Sebagai Agama Yang Terpisah
Setelah Hijarah menuju Yatsrib, respon ahl kitab tidak seindah respon yang sebelumnya diterima kaum muslim saat mereka berada di Mekkah, terutama dari kaum Yahudi. Al-Quran lantas merespon dengan ayat-ayat bernarasi negatif dan cenderung menegras kepada kepada ahl kitab. Mereka tidak lagi dipandang sebagai mitra namun sebagai pesaing.[6] Persaingan antara Islam dan ahl kitab dapat dilihat dalam beragam bentuk. Salah satunya adalah klaim mengenai Ibrahim As.
Ibrahim As. dipandang sebagai tokoh yang sangat penting dalam paham monoteistik, sebelum Islam munculpun sebenarnya telah terjadi perdebatan antara kaum Yahudi dan Kriten tentang siapa yang sebenarnya menjadi pewaris sejati tradisi Ibrahim.[7] Al-Quran merespon perdebatan itu dalam Qs. Ali Imron: 65-67 dengan nada seruan untuk kembali pada ajaran monoteisme yang murn, yaitu ajaran hanif dari Ibrahim.[8] Lebih lanjut Al-Quran kemudian meligitimasi kenabian Muhammad dalam Qs. Ali Imron: 68 dengan membawa narasi “Yang paling dekat dengan adalah orang yang mengikutinya, nabi Muhammad dan yang beriman kepada kenabiannya”.[9]
Polemik mengenai siapa yang menjadi pewaris sejati dari tradisi Ibrahim juga dapat dilihat pada rentetan kisah Al-Quran pada Qs. al-Baqarah: 124-141. Menjadi satu hal yang menarik adalah setelah kisah tersebut, dengan segera Al-Quran membawa pembahasan mengenai perubahan arah kiblat dari Yerussalem ke Ka’bah pada Qs. al-Baqarah 142-150. Secara umum, para orientalis seperti Fred M. Donner[10] dan C. Snouck Hurgronje[11] memandang perubahan arah kiblat kaum muslim dari Yerussalem ke Mekkah sebagai “keterputusan hubungan Islam dengan Yahudi” yang menandakan adanya keunikan tersendiri antara ajaran yang dibawa Muhammad dengan ajaran ahl kitab.
Al-Quran Tidak Konsisten?
Lumrah diketahui bahwasanya berdasarkan pembahasan, ayat Makkiyah lebih banyak berbicara mengani aqidah dan ayat Madaniyah lebih banyak berbicara mengenai syariat. Tidak heran apabila pada fase Mekkah Al-Quran menggunakan narasi positif kepada ahl kitab sebab adanya kesamaan ajaran yang dimiliki. Namun setelah ditemukan penolakan status kenabian Muhammad oleh ahl kitab di Madinah, hal tersebut berimplikasi pada turunnya ayat yang bernada negatif dan mengeras kepada mereka. Lebih lanjut, Islam melalui Alquran kemudian memunculkan sifat distingsifnya dengan syariat baru, syariat yang berbeda dari mereka.
Perbedaan narasi Al-Quran mengenai ahl kitab pada fase Mekkah dan Madinah tidak bisa dipandang sebagai inkonsistensi Al-Quran. Kesimpulan apik kiranya datang dari penjelasan Fazlur Rahman berlandaskan pada pada asumsi teoritis. Pembicaraan Al-Quran pada fase Mekkah mengenai ahl kitab merupakan keharusan sikap dan bagaimana mereka diharapkan merespon ajaran Muhammad.[12] Sebaliknya fase Madinah berbicara mengenai sikap apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh ahl kitab. Wallahu A’lam.
Rujukan
[1] Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013). 9.
[2] Sirry. 15.
[3] Fazlur Rahman, Major Themes Of The Quran (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1989). 137: Sirry, Polemik Kitab Suci. 18.
[4] Mun’im Sirry, Kontorversi Islam Awal (Bandung: Mizan Pustaka, 2015). 101.
[5] “Dialog Raja Habasyah dan Jafar Abu Thalib,” Republika Online, January 3, 2018, https://www.republika.co.id/berita/p1yzxl313/dialog-raja-habasyah-dan-jafar-abu-thalib diakses pada tanggal 1 Oktober 2022.
[6] Sirry, Polemik Kitab Suci. 20.
[7] Sirry. Polemik Kitab Suci. 21.
[8] Sirry. 25
[9] Kementerian Agama Saudi Arabia, Tafsir Al-Muyassar (Madinah al-Munawwarah: Maktabah Malik Fahd, 2009). 58.
[10] Fred M Donner, Muhammad And The Believers At The Origins Of Islam (Cambridge: Hardvard University Press, 2010); Sirry, Polemik Kitab Suci. 26.
[11] Snouck Hurgronje Christiaan, Het Mekkaansche Feest (Leiden: Brill, 1880); Sirry, Polemik Kitab Suci. 28.
[12] Fazlur Rahman, Islam (Chicago: University Of Chicago Press, 1979). 26; Sirry, Polemik Kitab Suci. 19.
Sumber Gambar
https://pixabay.com/id/photos/gereja-altar-bangku-498525/