Menilik Stereotype pada K-popers dan Penyuka Jejepangan: Bagaimana Bisa Terjadi?

profile picture faiqaldh

Perkembangan zaman yang pesat juga diiringi dengan perkembangan teknologi yang cepat pula membawa pengaruh pada arus informasi. Hal ini menjadi salah satu unsur dalam globalisasi. Salah satu yang tampak jelas atas pengaruh hal ini adalah terjadinya transfer budaya dari satu negara ke negara lain. Salah satunya adalah fenomena kpop dan jejepangan (wibu, otaku, dan sebagainya). Fenomena tersebut yang notabene bukan berasal dari Indonesia dengan mudahnya dapat sampai dan diterima oleh sebagian warga Indonesia melalui teknologi informasi, terutama sosial media. Sebenarnya, fenomena ini sudah masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 2000an awal hingga 2010. Pada saat itu, kita sudah mulai mengenal boy/girl group atau penyanyi dari Korea Selatan, seperti SNSD, Super Junior, dan yang paling terkenal adalah lagu dari PSY yang berjudul Gangnam Style dan lagu dari Wonder Girls dengan judul Nobody. Selain dari dunia musik, drama dan film dari Korea Selatan juga merebak di Indonesia, misalnya Boys Before Flower, Full House, Secret Garden, dan lain-lain. Sedangkan, fenomena jejepangan sudah merebak pada zaman itu dengan animenya, seperti Naruto, Dragon Ball, Saint Seiya, Captain Tsubasa, dan lain-lain. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan sosial media pun semakin maju, akses yang didapat untuk menikmati kedua hal tersebut semakin mudah. Produk-produk k-pop dan jejepangan semakin banyak variasinya. Pada saat ini, kita mengenal EXO, BTS, Twice, Blackpink, ITZY, dan lain-lain. Sedangkan pada sisi jejepangan, kita mengenal Attack on Titan, Boruto, Haikyuu, Demon Slayer, Jujutsu Kaisen, dan lain-lain dengan genre yang semakin bervariasi. 

    

    Dengan semakin merebaknya fenomena ini, dapat semakin mudah bagi orang awam untuk menemukan penggemar dari kedua hal tersebut di sosial media. Perilaku dari penggemar-penggemar ini mungkin akan dianggap aneh oleh orang awam. Hal inilah yang membuat mereka, penggemar kpop dan jejepangan, dilabeli stereotip tertentu yang bernada negatif, misalnya alay, aneh, banci, halu, dan bahkan yang berkaitan dengan LGBT. Stereotip negatif sebenarnya muncul dari pengamatan yang sekilas. Kemudian, hal ini berimplikasi pada adanya prasangka terhadap siapa pun yang menjadi bagian dari kedua kelompok tersebut. Padahal, tidak semuanya seperti itu. Yang dilihat di sosial media mungkin hanya sampel dan belum tentu mewakili keseluruhan. Selain itu, stereotip tersebut juga muncul karena ada pengaruh dari perbedaan budaya negara Indonesia dengan Korea Selatan dan Jepang. Selain itu, ada pula hal lain yang berkaitan dengan stereotip pada kedua fenomena ini. 

Fanatisme 

    Bagi seseorang yang memiliki kegemaran dan minat terhadap suatu hal, tentu mereka akan rela melakukan segala hal untuk lebih merasa dekat dengan apa yang digemarinya. Oleh karena itu, ada yang disebut sebagai penggemar fanatik yang dikenal sangat garis keras dan berada di barisan terdepan dalam membela dan mendukung idolanya. Menurut Tartila (2013), fanatik merupakan suatu sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap suatu hal, isu, atau pandangan (Subandi, 2019). Dalam fenomena kpop, penggemar fanatik biasanya identik dengan beberapa perilaku. Mereka rela menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk membeli pernak-pernik yang terkait dengan idolanya, seperti album, photocard, lightstick, poster, dan lain-lain. Bagi orang awam, beberapa pernak-pernik seperti photocard dan poster yang hanya berisi foto-foto dari idolanya dianggap tidak wajar karena harganya yang bagi orang awam tidak masuk akal. Harga dari photocard dan poster tersebut berkisar pada ratusan ribu bahkan hingga jutaan, tetapi penggemar tentunya tidak keberatan dengan hal itu. Bagi orang awam, mungkin akan berpikir bahwa untuk apa mengeluarkan uang banyak hanya untuk foto seseorang. Namun, sebenarnya penggemar kpop membeli barang tersebut bukan hanya untuk sekadar koleksi, tetapi juga bisa sebagai bisnis. Di sisi lain, penggemar jejepangan memiliki perbedaan dalam koleksi pernak-pernik. Biasanya mereka lebih mengoleksi barang seperti kostum, bantal bergambar karakter anime, dan barang lain yang memiliki unsur jejepangan.

    Perilaku fanatik tentunya tidak baik jika dilakukan secara berlebihan. Pada kedua fenomena ini, terdapat pula beberapa perilaku penggemar fanatik yang berlebihan, bahkan cenderung menyimpang dan mengganggu. Pada dunia kpopers, ada istilah sasaeng. Sasaeng merupakan sebutan bagi penggemar yang memiliki ketertarikan berlebihan terhadap kehidupan sehari-hari seseorang yang merupakan idolanya (Williams & Ho, 2016; Subandi, 2016). Perilaku mereka sangatlah mengganggu privasi dari idolanya. Mereka rela menghabiskan waktu untuk menguntit idolanya hingga ke tempat tinggal sang idola. Biasanya, sasaeng memiliki informasi yang sangat rinci mengenai idolanya, seperti alamat, nomor telepon, kemana idola akan pergi, hingga kamar apartemen. Selain itu, mereka akan melakukan hal apapun supaya idolanya menyadari kehadirannya. Sementara itu, penggemar jejepangan yang fanatik berlebihan juga memiliki perilaku yang menurut orang awam aneh, salah satu yang paling sering dijumpai adalah mencintai karakter anime. Biasanya, hal ini dilakukan oleh penggemar anime yang sangat menjiwai alur cerita dan tokohnya. Dalam fenomena ini, karakter yang dicintai disebut husbu (karakter laki-laki yang disukai atau dicintai) dan waifu (untuk karakter perempuan). Mereka yang memiliki husbu atau waifu akan melakukan hal yang tidak masuk akal jika mencintai terlalu berlebihan. Mereka bisa saja menikahi karakter anime tersebut. Hal tersebut benar-benar terjadi. Disadur dari suara.com, salah satu contoh kasusnya adalah yang dilakukan oleh pria Jepang yang menikahi karakter dari game berbasis anime, yakni Niizuma Lovely X Cation. Pada fenomena kpop, tren serupa juga terjadi, yakni ketika para penggemar memiliki bias. Bias merupakan istilah yang merujuk pada idola yang paling disukai oleh penggemar. Salah satu hal yang paling ekstrem berkaitan dengan tren ini adalah ketika penggemar terlalu terobsesi dengan idolanya bahkan ada yang sampai berperilaku posesif.

Perbedaan Budaya dan Style

    Budaya merupakan suatu hal yang menjadi sebuah garis besar mengenai bagaimana suatu masyarakat berperilaku dan bersikap. Menurut Edward Burnett Tylor (1871), seorang antropolog, budaya merupakan istilah yang dapat meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan segala kebiasaan lainnya yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat secara konsisten (Loewenthal, 2006). Seseorang yang berada pada tempat (baik itu negara, provinsi, kota, dan daerah lainnya) yang memiliki budaya tertentu harus mengikuti apa yang diwajarkan pada budaya tersebut. Jika seseorang melakukan suatu hal yang dianggap tidak wajar pada budaya tersebut, tentu ia akan ditegur atau bahkan dihukum berdasarkan budaya tersebut, meskipun ia merasa hal tersebut wajar ia lakukan karena pada budayanya hal tersebut sudah biasa. Hal ini pula yang terjadi pada seseorang yang mengalami culture shock. Jika seseorang membawa kebiasaan dari budaya asalnya kepada budaya lain dan budaya asalnya tidak dapat diterima, seseorang tersebut bisa saja ditolak atau minggat dari tempat tersebut jika terus menerus melakukan kebiasaan tersebut karena ia tidak dapat beradaptasi dengan budaya setempat. Hal ini serupa dengan beberapa kasus di Indonesia ketika banyak masyarakat yang menolak budaya dari luar, misalnya LGBT, minuman keras (bir dll.), seks bebas, dan lain-lain. Tidak heran jika budaya semcam itu ditolak di Indonesia karena budaya di Indonesia terpengaruh juga dari Agama, terutama Islam.

    Style yang dipertunjukkan oleh fenomena kpop dan jejepangan memang agaknya terdapat perselisihan dengan budaya di Indonesia. Jika kita tilik penampilan dari artis-artis kpop, terutama laki-laki, sebagian dari mereka cenderung menggunakan riasan yang cukup tebal dan menggunakan aksesoris yang biasa digunakan oleh wanita. Hal ini juga terlihat pada fenomena jejepangan yang terdapat tren bishounen. Bishounen merupakan istilah yang merujuk pada laki-laki yang berpenampilan feminim dan terlihat seperti wanita. Tren ini dapat dilihat pada beberapa grup musik di Jepang dan karakter anime. Selain itu, adapula genre bromance pada industri drama di Korea Selatan dan Jepang. Bromance mempertunjukkan dua orang laki-laki yang sangat dekat dan bersahabat, tetapi mereka bukanlah pasangan gay. Namun, terkadang ada beberapa drama yang terlalu berlebihan dalam menampilkan bromance sehingga memengaruhi asumsi sebagian penonton. Bromance juga dapat dilihat dalam keseharian seorang idol yang biasanya didokumentasikan oleh penggemar atau acara reality show. Hal-hal tersebut tentunya kurang cocok bagi sebagian masyarakat Indonesia. 

    Secara umum, budaya maskulinitas di Indonesia masih mendominasi dan bahkan ditanamkan kepada anak laki-laki yang masih balita (Wandi, 2015). Budaya maskulinitas mengharapkan agar laki-laki dapat menginternalisasikan perilaku atau sifat yang maskulin atau perilaku yang memang seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki (Saez, Casado, & Wade, 2010; Subandi, 2019). Dominasi dari budaya maskulinitas di Indonesia salah satunya dapat dilihat dari penentangan yang lebih keras terhadap gay ketimbang lesbian. Selain itu, perilaku feminim pada laki-laki (banci dll.) biasanya akan lebih diolok-olok ketimbang perilaku maskulin pada perempuan. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang menganggap bahwa fenomena kpop dan jejepangan agaknya tidak bisa diterima karena memperlihatkan hal-hal semacam itu, disamping kualitas karya yang mereka hasilkan. Pada akhirnya, orang awam akan menilai bahwa penggemar kpop dan jejepangan adalah aneh bagi mereka karena merasa keheranan mengapa bisa menyukai hal seperti itu.

Opini dan Penutup

    Memang pada beberapa sisi mungkin terdapat perilaku dari mereka yang tidak dapat diterima dan cenderung menyimpang. Namun, pada dasarnya, hal tersebut tidak membuat mereka lebih "rendah" daripada penggemar lain yang fanatik berlebihan hingga membuat kerugian, misalnya kita bandingkan dengan penggemar fanatik yang terkenal garis keras dan basisnya relatif sama besar di Indonesia, yakni penggemar sepakbola atau fanatik agama. Sebagian dari mereka pun sama, melakukan hal yang menyimpang bahkan terkadang merugikan publik. Mereka melakukan itu karena mereka cinta dengan apa atau siapa yang mereka idolakan, tetapi tidak sedikit yang menganggap bahwa itu wajar dan melabeli penggemar kpop dan jejepangan sebagai "anak alay" atau aneh karena ada pengaruh budaya maskulinitas tadi Mereka berpendapat bahwa hal tersebut wajar sebagai wujud kecintaannya terhadap idolanya. Namun, bagaimanapun, salah tetaplah salah tidak memandang penggemar manapun, baik itu kpop, jejepangan, sepak bola, agama, dan lain-lain. Satu lagi, perlu digarisbawahi pula bahwa kita tidak boleh menggeneralisasi suatu hal hanya berdasarkan pengamatan sekilas saja pada kelompok manapun.Ini hanyalah masalah perspektif.

Referensi

Aronson, E., Wilson, T. D., Akert, R. M., & Sommers, S. R. (2018). Social Psychology [RENTAL EDITION] (10th ed.). Pearson.

Loewenthal, K. (2006). Religion, culture and mental health. Cambridge, NY: Cambridge University Press.

Novianty, D. (2017, July 5). Lelaki Jepang bisa wujudkan impiannya menikahi karakter anime. suara.com. Retrieved July 30, 2022, from https://www.suara.com/tekno/2017/07/05/174200/lelaki-jepang-bisa-wujudkan-impiannya-menikahi-karakter-anime

Saez, P. A., Casado, A., & Wade, J. C. (2010). Factors influencing masculinity ideology among latino men. The Journal of Men’s Studies, 17(2), 116–128. https://doi.org/10.3149/jms.1702.116

Subandi, M. A. (2019). Psikologi dan Budaya. Pustaka Pelajar.

Tartila, P. L. (2013). Fanatisme fans kpop dalam blog netizenbuzz. Commonline, 2(3), 190-205.

Wandi, G. (2015). Rekonstruksi maskulinitas: Menguak peran laki-laki dalam perjuangan kesetaraan gender. Kafa`ah: Journal of Gender Studies5(2), 239. https://doi.org/10.15548/jk.v5i2.110

Williams, J. P., & Ho, S. X. X. (2015). “Sasaengpaen” or k-pop fan? Singapore youths, authentic identities, and asian media fandom. Deviant Behavior, 37(1), 81–94. https://doi.org/10.1080/01639625.2014.983011

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0

This statement referred from