Menyikapi Sebuah Karya dari Seniman yang Mengalami Kontroversi. Harus Bagaimana?

profile picture Mutiara Tyas Kingkin

Sebagai penikmati karya seni, sekaligus juga menjadi netizen tentunya selalu menunggu karya-karya seni yang akan disuguhkan dari para creator nya. Baik itu dari sastrawan, penyair, pelukis, atau bahkan kalangan aktor. Sebuah karya yang mereka suguhkan, bisa digunakan sebagai media menyuarakan sebuah isu atau keresahan yang tengah dirasakannya. 

Kemudian, jika karya itu berhasil menyuarakan sebuah isu atau menjadi sarana penggerak perubahan. Diiringi hasil karya yang ciamik dan menuai banyak reaksi penonton. Tentulah sang seniman akan mendompleng namanya semakin bersinar, dan tak menutup kemungkinan menjadi role model yang digadang-gadang masyarakat. 

Namun, bagaimana jadinya jika senimannya justru mengalami kontroversi? Dimana perilakunya di dunia nyata, menyimpang dari karya-karya yang kita nikmati selama ini? Ya memang inilah realitanya. Jagat maya lagi-lagi dihebohkan dengan kemunculan berita dari artis pendatang baru, yang kala itu memerankan sebuah film dengan sangat epic. Lebih-lebih, film ini menyuarakan tentang women support women dan mendapatkan beberapa awards. 

Film Yuni menduduki trending di twitter karena, pemain utamanya dikabarkan ternyata menjadi seorang pelakor di realitanya. Ini sangat menyeleweng, dari karya seni yang dia perankan dimana mengandung pesan moral bahwa, ‘perempuan mempunyai pilihannya sendiri’ yang mana ini sebagai suara bagi kaum perempuan yang tidak boleh lagi dipaksa menjadi istri kedua atau dijodohkan. 

Tidak hanya datang dari film Yuni. Beberapa karya (film) yang mengangkat isu di masyarkat, pemainnya juga mengalami kontroversi. Ingatan kita masih segar, pada film Penyalin Cahaya (2021). Penulis skenarionya adalah predator seksual. Padahal film ini, mengangkat isu yang sangat tabu di masyarakat mengenai pelecehan seksual. Dan lagi, dengan bangganya pelaku menerima penghargaan atas hasil karya (dari sisi gelap) yang dibuatnya. Beranjak sedikit ke dua tahun silam, 2019. Film Dua Garis Biru yang menyuarakan mengenai pergaulan bebas remaja, juga mengalami hal serupa dimana pemain utamanya juga sempat mengalami kontroversi, menyimpang dari pesan filmnya. Terlepas kasusnya, memang ketiga film ini sebenarnya patut diapresiasi dari segi pengambilan gambar, cerita, dan acting pemainnya.

Karya seni dengan seniman berkontroversi tidak hanya dari film saja. Banyak karya seni yang senimannya mengalami masalah, baik itu perilakunya yang tidak sesuai pesan karyanya, melanggar hukum, atau masalah-masalah personal yang tengah dihadapi. Sebetulnya, dalam dunia industry kreatif hal semacam ini, sudah tidak mengherankan lagi. Tak jarang mendengar sekelebat suara, karya yang bagus bisa jadi hasilnya dari sisi gelap senimannya. Lantas, bagaimana kita harus bersikap dalam sebuah karya dari seniman yang mengalami kontroversi? 

Lihat saja karyanya, jangan dicampur dengan kepribadiannya. 

Dia kan public figure harusnya bisa jadi contoh yang baik buat masyarakat.

Kalau menurutku pribadi, kedua pendapat dua kubu ini ada benarnya juga. Setiap mahakarya tentu mempunyai nilai yang terkandung, dari segi ide, proses pembuatan, hingga makna itu sendiri. Lalu, apakah nilai-nilai itu bisa runtuh sepersekian detik ketika senimannya bermasalah dengan perilakunya yang menyimpang? 

Menurut Sarah Urist Green (dalam web series PBS Digital Studios, The Art Assignment, dalam episodenya yang berjudul Hate the Artist, Love the Art). Sarah Green memaparkan, bahwa dalam menikmati sebuah karya kita dipengaruhi oleh apa yang kita punya maupun yang tidak kita punya. Dan model estetis ini berbeda-beda masing-masing individu. 

Misalnya, ketika kita tidak mempunyai latar belakang yang sama atau paham betul mengenai alasan seniman membuat karya tersebut, kita bisa melihat karyanya dari segi netral. Sebaliknya, jika kita bisa relate atau mempunyai informasi yang kuat tentang latar belakang si seniman, maka kita akan lebih menimbang-nimbang dalam menilai karyanya. 

Kalau karya itu dibuat untuk menyuarakan sebuah isu, contohnya seperti pelecehan seksual. Tapi, justru senimannya adalah predator dan pemerkosa ulum. Ya untuk apa, kita mempertahankan satu karya seni tersebut, dengan latar belakang senimannya yang sangat menyeleweng dari pesan karya itu sendiri?

Atau kasus lain, bila ada sang kontemporer atau penulis lagu yang tiba-tiba tertangkap narkoba. Meskipun lirik atau lagunya sangat enak untuk didengar dan tidak berhubungan dangan kasusnya. Pada kasus ini, kita masih bisa membedakan antara karyanya yang masih pantas untuk dinikmati dengan masalah personal sang seniman. 

Jadi, tetap saja itu kembali lagi pada pilihan kita. Sarah Green, juga memberi nasehat, setiap sedang menikmati sebuah mahakarya, kita harus mengambil jeda untuk merasionalisasi karya-karya dari seniman berkontroversi tersebut. Apakah masih bisa diterima atau memang tidak. Sebab, karya juga harus mempertimbangkan keuntungan, bagi masyarakat luas, dan faktor keuntungan finansial (jika diperjual-belikan). Bersikaplah bijak dalam menilai sebuah karya dan juga senimannya. 

 Sumber gambar: Linnhareland

Sumber artikel: Bagaimana Menyikapi Karya Dari Seniman Bermasalah?

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By Mutiara Tyas Kingkin

This statement referred from