Khalifah AFK Imperium Ketar Ketir
Belakangan ini banyak ditemukan fenomena dimana masyarakat ingin Kembali kepada sistem pemerintahan yang pernah diusung oleh umat Islam dimasa awal-awal penyebarannya. Iya, sistem kekhalifahan. Menurut mereka, sistem kekhalifahan merupakan warisan budaya Islam yang harus ditegakkan demi mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana yang dicapai pada abad pertengahan.
Namun menjadi suatu pertanyaan, apakah sistem kekhalifahan yang mereka maksud adalah sistem pemerintahan yang dianut oleh khulafa al-rasyidin atau sistem yang dianut semua pemerintahan Islam sejak pemerintahan Abu Bakar sampai jatuhnya dinasti Utsmaniyah? Sebab model penunjukkan pemimpin negara berbeda antar masa khulafa al-rasyidin dan kekhalifahan setelahnya.
Kini umat Islam dalam hal tersebut terbagi menjadi dua kubu. Pertama, mereka yang mempercayai bahwa kekhalifahan sudah bubar bersamaan dengan terjadinya peristiwa ‘Am al-Jama’ah oleh Hasan. Sebab menurut mereka, sistem pemerintahan yang dianut setelah peristiwa tersebut adalah sistem kerajaan (mulk). Kedua, mereka yang meyakini bahwa kekhalifahan tetap eksis sampai masa pemerintahan Ottoman. Mungkin karena nama pemimpin negara yang sama, khalifah.
Mereka yang percaya bahwa sistem kekhalifahan tetap eksis hingga kejatuhan Ottoman saat ini rindu akan hal tersebut. Bukan tanpa sebab, menurut mereka, sistem khalifahan adalah warisan budaya Islam yang menjadi syarat mutlak diridhoinya suatu negara oleh Allah Swt. Tentu hal tersebut bertentangan dengan Ideologi bangsa Indonesia saat ini dan perlu kiranya untuk diluruskan.
Artikel ini akan berbicara mengenai fenomena masyarakat muslim yang kedua dalam pembagian diatas. Bahwa sistem kekhalifahan yang dikatakan sebelumnya dalam fakta sejarah bukanlah sesuatu yang sempurna dan berjalan tanpa adanya kecacatan. Para ahli sejarah tidak berbohong manakala membagi masa pemerintahan suatu daulah ke dalam beberapa periode. Misalnya, periode pembentukan, periode keemasan, periode kehancuran.
Mereka juga tidak berbohong manakala menceritakan pembantaian oleh as-Saffah kepada lawan politiknya dari keturunan Umayyah. Bahkan pembantaian dilakukan sampai tahap paling keji dan jijik, as-Saffah membongkar makam-makam khalifah Umayyah terdahulu. Mungkin untuk menegaskan agar dia bengis sehingga musuh dan masyarakat segan terhadapnya. Juga kisah seorang adik membunuh kakaknya demi menjadi khalifah lantas kemudian membawa negara yang dipimpinnya ke masa-masa, The Golden Age of Islam, sebagaimana yang di eluh-eluhkan umat Islam saat ini.
Kebohongan juga tidak terjadi dalam sejarah manakala merekam peristiwa genosida dan penghancuran arsip-arsip keilmuan oleh kaum mongol kala masyarakat dipimpin oleh seorang khalifah. Walau dipimpin oleh khalifah, nyatanya negara bisa saja mengalami masa pahit bahkan kehancuran. Lantas muncul pertanyaan, apakah demikian pemerintahan yang diridhoi Allah Swt?
Khalifah AFK Imperium Ketar Ketir
Salah satu bentuk kecacatan pemimpin sekaligus negara di zaman kekhalifahan juga terjadi pada saat Muawiyah II, Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah dari dinasti Umayyah mnyandang status sebagai khalifah umat muslim. Dilahirkan dari keturunan khalifah tidak menjadikannya mampu mengendalikan negara. Bahkan disaat negara butuh sosok pemimpin yang kuat demi melawan pemberontakan, ia malah meninggalkan negara terbengkalai. Mungkin jika direfleksikan dengan bahasa milenial sekarang, maka dikatakan bahwa sang khalifah AFK.
Muawiyah dibaiat menjadi putra mahkota disaat ayahnya menjabat sebagai khalifah. Dibandingkan dengan 11 saudaranya, dia lebih dipilih oleh Yazid, mungkin karena sifat taqwa dan wara’ yang ia miliki lebih dalam dibanding saudaranya yang lain. Kemudian pada tahun 64 H dia resmi diangkat menjadi khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah.
Setelah diangkat menjadi khalifah, bukan keberanian ciri khas pemuda padang pasir yang ditemui masyarakat dalam diri Muawiyah. Melainkan sifat tak acuhnya terhadap roda pemerintahan. Dia menyadari bahwa memimpin suatu negara bukanlah kapasitasnya, ia jujur terhadap dirinya bahwa ia terlalu lemah mengemban tugas yang begitu berat sehingga ia memilih untuk tidak meninggalkan kamar setelah pidato pengangkatannya sampai ajal menjemput.
Beberapa penulis mengatakan bahwa Tindakan yang dilakukan Muawiyah bukan tanpa alasan. Hal yang ia lakukan merupakan bentuk tidak setuju akan perubahan proses penunjukkan pemimpin. Menurutnya sistem pewarisan kuasa kepada keturunan bukanlah hal yang pernah dipraktekkan oleh khulafa ar-rasyidin.
Disaat yang sama, Abdullah bin Zubair sahabat Nabi sekaligus pemberontak kekuasaan Umayyah mengumpulkan pasukan dari Hijaz dan Mesir, tempat Abdullah memperoleh baiat khalifah. Hal ini merupakan suatu bencana yang dapat mengguncang eksistensi kekuasaan keluarga Umayyah. Di satu sisi para pemberontak menjadi semakin kuat, jika dibiarkan kemungkinan kekuasaan yang dibangun dua khalifah sebelumnya akan musnah. Dan di sisi lain pemimpin negara enggan mengatasi masalah tersebut. Negara benar-benar diambang kehancuran.
Di saat para tetua keluarga Umayyah meminta Muawiyah untuk menunjuk khalifah penggantinya. Ia enggan dan mengatakan “aku tidak sanggup memimpin kalian, akupun mencari-cari orang seperti Umar saat Abu Bakar menunjuknya sebagai pengganti, kemudian aku mencari enam orang sebagaimana Umar menunjuk enam ahl syura saat hendak menunjuk penggantinya, namun aku tidak menemukan sifat keenam orang itu pada kalian. Jadi kalian lebih pantas untuk urusan kekhalifahan ini, maka pilihlah pemimpin semau kalian”
Huru hara benar-benar terjadi manakala Muawiyah meninggalkan panggung politik. Abdullah bin Zubair mengambil kesempatan dengan melebarkan sayap kekuasaannya, bahkan sampai ke negeri Syam. Para tetua keluarga Umayyah khawatir kekuasaan dari bani Abd as-Syam sirna bahkan sebelum dipimpin oleh banyak khalifah. Dibutuhkan Tindakan yang sangat tepat untuk menjauhi kesengsaraan keluarga Umayyah.
Setelah pidato pengangkatannya, hanya dalam beberapa bulan ia bertemu dengan ajalnya. Para tetua Umayyah sadar, dibutuhkan pemimpin yang sangat mumpuni untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan Abdullah bin Zubair. Maka setelah itu diadakan sebuah konferensi yang dinamakan konferensi al-Jabiyah. Hasil dari konferensi tersebut adalah diangkatnya Marwan bin Hakam sebagai pengganti Muawiyah kemudian Khalid bin Yazid diangkat sebagai pangeran mahkota.
Beruntung bagi bani Umayyah, hawa segar kemenangan berada di pihak mereka setelah Marwan berhasil menaklukkan kembali daerah Mesir. Perlawanan kemudian diteruskan oleh Abdul Malik bin Marwan yang berhasil memangku jabatan khalifah setelah diyakinkan Marwan. Dengan bantuan panglima al-Hajjaj bin Yusuf pemberontakan Abdullah bin Zubair dapat diakhiri dengan kematian Abdullah itu sendiri.
Kekuasaan dinasti Umayyah berangsur pulih bahkan mencapai masa keemasannya. Administrasi negara di benahi, pos dibuat untuk surat menyurat, dan puncaknya negara Islam memiliki mata uangnya sendiri. Walau sempat diterpa masalah dengan keluarnya seorang khalifah dari pergejolakan politik, anak keturunan Umayyah berhasil membuktikan bahwa mereka masih layak memangku jabatan sebagai pemimpin Negara Islam.
Khalifah Tidak Lepas Dari Kesalahan
Peristiwa diatas merupakan salah satu pukulan telak bagi mereka yang mengatakan bahwa sistem kekhalifahan merupakan warisan budaya Islam dengan kesempurnaan didalamnya. Jika dikatakan sempurna bagaimana mungkin seorang khalifah melepas jabatannya begitu saja tanpa menunjuk pengganti, dan bahkan ia sendiri tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Ayah serta kakeknya.
Demikianlah harus diketahui bahwa kekhalifahan juga merupakan bentuk sistem politik yang tidak lepas dari kesalahan. Mungkin dalam beberapa masa, hal tersebut terbukti berjalan lancar sesuai dengan cita-cita kedamaian Islam, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa masa juga terjadi huru hara yang menyebabkan perang dan pertumpahan darah akibat perebutan jabatan yang dikatakan sebagai warisan budaya Islam nan agung.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menjelekkan pihak manapun, apalagi menjelekkan tokoh yang menjadi objek dalam tulisan ini. Namun inilah fakta sejarah yang harus diterima dan disosialisasikan berdasarkan literatur yang telah dibuat. Bahwasanya sistem kekhalifahan di awal-awal masa penyebaran Islam juga rentan kesalahan. Maka sebagai umat Islam yang objektif, kita tidak dapat mengatakan bahwa model kekhalifahan tersebut sebagai sesatu yang suci dan terhindar dari kesalahan.
Sumber Gambar: https://www.freepik.com/free-photo/shallow-focus-shot-arabian-male-traveling-horse-desert_17245705.htm#page=3&query=padang%20pasir&position=11&from_view=search