Paradoks dalam Toleransi: Intoleransi yang Mengatasnamakan Toleransi

profile picture dzikritsabitimani

Gejolak api isu-isu toleransi di negeri kita tercinta ini sepertinya masih berkobar dan belum bisa diprediksi kapan padamnya. Entah mengapa netizen-netizen kita selalu bersemangat jika berhadapan dengan isu toleransi, baik dalam hal kerukunan umat beragama, antar golongan, atau bahkan ras. Di satu kubu terdapat pihak yang merasa kuat fanatisme-nya, dan di kubu lain terdapat pihak yang merasa memiliki rasa toleransi yang tinggi.

Namun hal yang jadi lucu adalah saat kedua kubu itu saling ‘berperang’ melawan satu sama lain. Dan seperti judul yang tertera di atas, terjadilah yang namanya paradoks alias sebuah pernyataan yang menyatakan kejadian yang saling bertentangan. Artinya, kubu yang merasa memiliki tolerasi yang kuat, jika mereka gemar menyalahkan, menghakimi, dan melarang-larang kubu yang lainnya, bukankah pada kenyataannya mereka menyalahi prinsip toleransi itu sendiri dan malah bertindak intoleran?

Sebelum saya ambil contoh, pemaparan ilmiah mengenai perkara ini mesti dikaji terlebih dahulu. Menurut KBBI, toleransi, dalam makna yang berkaitan dengan pekerjaan, merupakan batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Artinya, sikap toleransi atau tindakan menoleransi dapat dimaknai sebagai sikap membiarkan, mendiamkan, dan tidak memberikan sanksi terhadap suatu pendapat/peristiwa. Adapun toleransi menurut istilah memiliki makna sikap seseorang dalam menghargai, membolehkan, dan membiarkan orang lain yang memiliki perbedaan dengan dirinya, baik dalam lingkup agama, ideologi, dan ras (Poerwadarminta, 1976). Sedangkan menurut Tillman (2004), toleransi berarti sikap menghargai yang bertujuan menjaga perdamaian. Dapat disimpulkan bahwa dari berbagai pengertian toleransi, ada satu kesamaan yaitu bahwasanya toleransi itu adalah sikap membiarkan.

Kembali ke bahasan utama, pada kenyataannya, tidak ada orang atau suatu pandangan yang benar-benar bisa bersikap toleransi secara terus menerus dan komprehensif. Analoginya adalah, bukan merupakan kebaikan bagi seorang pimpinan perusahaan jika ia selalu menoleransi kesalahan bawahan-bawahannya. Dari analogi tersebut kita melihat dengan jelas bahwa toleransi pun ternyata ada batasannya. Begitu pula dalam beragama. Ada batasan-batasan yang mau tidak mau mesti diperhatikan dengan baik. Semua agama tentunya mengajarkan toleransi, semuanya tentunya mengajarkan untuk hidup rukun, damai, dan saling menghargai (dalam artian membiarkan). Namun meski begitu, semua itu pun tetap ada batasannya. Sebagai contoh, kita tidak diperkenankan untuk mengikuti cara beribadah agama lain, dan juga tidak diperkenankan untuk mencampur adukkan ajaran satu dengan yang lainnya. Coba Anda pikirkan, jika dalam satu gelas kita menyeduh berbagai macam jenis kopi yang berbeda, lalu dimanakah letak keindahah dari perbedaan cita rasa tiap-tiap jenis kopi?

Membiarkan, membiarkan, diam-diam membuyarkan

Nah, dikarenakan toleransi itu ternyata ada batasannya, mulai dari sini lah ternyata perselisihan muncul. Kubu yang menganggap dirinya paling memiliki rasa toleransi malah berapi-api berasumsi bahwa toleransi tidak ada batasnya, mesti dijunjung tinggi. Mereka pun akhirnya menghalangi setiap ajaran, perkataan, atau tindakan dari kubu lainnya yang menjalani toleransi tidak dengan definisi yang mereka kehendaki. Mereka lalu menuduh kubu lainnya tersebut dengan sebutan andalan mereka yaitu ‘intoleran’. Di titik inilah bagi penulis, rasanya paradoks tersebut dimulai. 

Saya beri contoh dengan kasus yang masih cukup fresh di bulan Mei 2022 ini. Seorang ustadz penceramah terkenal asal Indonesia yang ditolak masuk ke suatu negara tetangga, sebut saja Singapura. Alasannya penolakannya adalah dikarenakan sang ustadz dinilai membawa ajaran yang ekstrim dan membahayakan (CNN Indonesia). Menurut hemat penulis, ajaran yang dianggap ekstrim oleh Mendagri Singapura merupakan contoh dari batasan toleransi yang ada dalam ajaran agama (dalam hal ini Islam). Sebab jika batasan itu tidak ada, tentu akan berdampak besar bagi keyakinan para penganutnya, dan secara tidak langsung juga toleransi pun malah jadi kehilangan esensinya. 

Sebenarnya penulis tidak ingin menyatakan keberpihakannya pada salah satu kubu tersebut, sebab yang ingin penulis sampaikan adalah bahwasanya ternyata kedua kubu, sama-sama memiliki rasa toleransi. Namun di sisi lain, kedua kubu tersebut juga ternyata punya batasan atas toleransi yang mereka yakini. Sang ustadz dengan ajaran agamanya, punya rasa toleransi, tapi juga punya tuntutan untuk berintoleransi terhadap hal-hal yang diluar batas ajaran agamanya. Begitu pula pihak Singapura yang tentunya memiliki rasa toleransi yang besar, tapi juga punya tuntutan untuk berintoleransi terhadap hal-hal yang dianggap di luar batas regulasi negaranya.

Dalam perspektif penulis, mengenai kasus tersebut, kedua belah pihak secara gamblang memperlihatkan perspeksi mengenai benar-salahnya masing-masing, juga perspeksi mengenai toleransi yang juga berbeda. Pihak Singapura memiliki regulasi dan aturannya sendiri, sehingga mereka berhak untuk menolak memasukkan seseorang ke negaranya. Namun dalam perspektif pihak lainnya, mereka juga merasa bahwa mereka berhak untuk masuk ke sebuah negara dengan rasa aman. Itulah sebabnya mengapa penulis di awal artikel mengatakan bahwa gejolak api isu-isu toleransi di negeri kita tercinta ini sepertinya masih berkobar dan belum bisa diprediksi kapan padamnya, sebab memang perbedaan ini rasanya belum menemukan kompromi sama sekali dan terlebih, malah menimbulkan paradoks berkepanjangan.

Kritik yang ingin penulis tuangkan dalam artikel ini sebenarnya bukanlah mengenai memanasnya kondisi sosial Indonesia ini dengan berbagai isu yang ada. Sebab yang sebenarnya ingin penulis kritik adalah mengenai sikap dari mereka yang merasa dirinya paling memiliki rasa toleransi yang tinggi, padahal di sisi lain, mereka berkoar-koar untuk menghujat, menghina, dan mengucilkan orang yang mereka anggap intoleran. Ambil contoh, mereka yang menyuarakan kebebasan bagi perempuan dalam berpakaian, tapi kenyataannya mereka mengucilkan orang-orang berjilbab, menghinanya, dan bahkan memaksa orang-orang untuk menjauhi kepercayaan yang sudah dianut masing-masing. Ada juga orang yang menyuarakan kebebasan dalam orientasi seksual, tapi kenyataannya mereka memaksa orang lain untuk berpendapat sama seperti mereka. Mereka terkadang mengerdilkan pelaku poligami dan hal-hal kontroversial lainnya, padahal bukankah berpoligami juga adalah pilihan? Di saat mereka melakukan itu, tidakkah mereka sadar bahwa sebenarnya mereka menyalahi prinsip toleransi itu sendiri dan malah berperilaku intoleran? Paradoks…

Akhir kata, penulis memohon maaf atas segala kekurangan dalam penuangan artikel ini. Jika ada perbedaan opini, penulis menerima dengan lapang dan berusaha selalu open-minded dalam menerima kritik, saran, atau disagreement lainnya. #peace

Aku berupaya untuk mengedepankan rasa toleransiku dalam membuat artikel mengenai paradoks toleransi. Ironis memang, haha

#So, Bagaimana opinimu kawan?

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0

This statement referred from