Influencer dan Konten Hewan Liar: Konservasi Mengundang Kontroversi

profile picture M.N Fauzan

Hewan liar, terutama yang memiliki status dilindungi, kini telah berubah menjadi obsesi bagi kalangan elit. Karena eksotisme dan harga yang di luar nalar, memeliharanya berarti telah sukses merengkuh suatu simbol kemewahan yang paripurna. Selebriti dan para Influencer—dengan kata lain, mereka yang memiliki pengaruh luas di internet—menjadi salah satu figur utama atas keberlangsungan praktik ini. 

 Mike Tyson, legenda tinju dunia, merogoh kocek puluhan ribu dolar untuk membeli tiga ekor harimau bengal. Abdul Mateen, Pangeran Brunei Darusalam, cukup intens memamerkan potret dirinya bersama harimau di platform media sosial. Sementara di Indonesia, selebriti papan atas seperti Irfan Hakim dan Lucky Hakim, juga dikenal memelihara hewan-hewan eksotis nan buas di rumahnya. Di internet, praktik ini diwakili oleh sosok beken dengan pengikut jutaan, seperti  Alshad Ahmad. 

            Nama yang disebutkan terakhir tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, ia berkomentar tentang kematian tiga harimau Sumatra, di Aceh, dengan nada yang penuh apologia. Seolah-olah, kematian nahas tersebut menjadi justifikasi atas gaya hidupnya yang memelihara tiga ekor Harimau. Bahwa membiarkannya di alam liar, yang kini semakin cemar, adalah suatu tindakan buruk. 

            Sosok-sosok seperti Alshad Ahmad, kini marak di Indonesia. Konten-konten yang mempertontonkan interaksi antara manusia dengan hewan liar, dengan memberi aksentuasi pada aspek edukasi, diminati oleh sebagian masyarakat. Namun, apakah pilihan itu sudah tepat untuk mengampanyekan hak-hak binatang, atau sebaliknya?  

Sisi Gelap Menjadikan Hewan Liar Sebagai Konten 

Ada banyak cara menunjukan kecintaan terhadap alam, tapi memelihara hewan buas dan mengemasnya semata sebagai konten yang mendulang rupiah juga atensi dari pengikut, bukan salah satunya. Alih-alih, praktik ini justru mendorong hewan buas menjadi komoditas belaka. Konsekuensi negatifnya: pasar gelap hewan-hewan langka semakin tak terkontrol.  

            Bagaimana pun, Influencer memberikan pengaruh luar biasa terhadap pengikutnya, dari mode pakaian hingga gaya hidup. Kebiasaan menjadikan hewan liar sebagai tontonan, dengan dalih apa pun, berpotensi ditiru oleh para penggemar secara membabi buta—terutama oleh mereka yang tak memiliki kesadaran ekologis. Hukum ekonomi paling mendasar bekerja di sini: permintaan meningkat, ketersedian langka. Akhirnya, perburuan hewan-hewan liar semakin menggila, guna memenuhi kebutuhan pasar.  

            Praktik semacam ini harus dihentikan lebih dini, sebab para selebriti dan influencer pada dasarnya lebih layak disebut sebagai animal colector, bukan lembaga konservasi. Kendati mengantungi izin resmi, mereka tak memiliki tanggung jawab moral yang ketat untuk memberikan pengetahuan secara menyeluruh kepada para penggemar. Dan influencer—seperti  juga selebriti—melalui konten-konten yang mereka kemas dan publikasi, lebih mengutamakan aspek hiburan ketimbang edukasi. 

Para penggemar yang terpangaruh akan meniru, dan bukan tak mungkin malah menambah daftar panjang kekerasan terhadap binatang. Bagaimana pun, terjadinya tindakan-tindakan yang tak diinginkan, jelas di luar kontrol para Influencer. Mereka tak mungkin dimintai tanggung jawab.  

Ini presiden buruk bagi ekosistem alam. Ditambah, kesadaran terhadap hak-hak binatang di Indonesia belum sepenuhnya terbangun. Negara kita misalnya, sepanjang tahun 2021 adalah produsen konten kekerasan terhadap binatang nomor satu di dunia, menurut laporan Asia For Animals Coalition (AFA),[i] dengan capaian jumlah 1.626 video. Menurut hemat saya, dalam situasi semacam ini, memelihara hewan langka belum menjadi langkah yang bijak sebagai edukasi.  

Hal-hal yang dikemukakan di atas tentu saja bagian dari dampak jangka panjang. Namun, dampak jangka pendek memiliki kualitas bahaya yang sama: terutama bagimana cara hewan-hewan liar ini didomestikasi secara paksa, dan fakta ini berpotensi menciptakan kerusakan rantai makanan di alam bebas.

Perbedaan paling mendasar antara hewan liar (wild animal) dan hewan yang telah didomestikasi (domisticated animal) adalah, yang disebutkan terakhir memiliki ketergantungan hidup pada manusia.[ii] Kucing, anjing, sapi, ayam, dan lain sebagainya, telah kehilangan sebagian insting berburunya di alam raya, karena mereka memiliki sejarah domestikasi yang panjang, berdampingan dengan gerak evolusi. Sementara binatang-binatang liar seperti harimau, singa, kera, memerlukan insting berburu guna bertahan hidup di alam bebas sekaligus mempertahankan keajekan rantai makanan. Bila hewan-hewan tersebut “dijinakkan”, dengan segera akan terjadi kepunahan spesies-spesies lain. 

Bila konten-konten sejenis terus diproduksi secara masif, alih-alih pengaruh baik, para selebriti akan memberi pengaruh buruk, dan para Influencer akan mendapatkan julukan “bad” di belakangnya (baca: Bad Influencer).     

Hal Sederhana yang Berdampak

            Para selebriti, dengan penggemar yang loyal dan mudah terpengaruh, sebetulnya sangat bisa menjadi agen bagi kampanye hak-hak binatang, dengan menceburkan diri dalam aktivisme yang murni. Telah banyak sosok terlibat. Namun, pilihan ini memang membutuhkan ketekunan ekstra, di samping koordinasi ketat dan kerjsama dengan lembaga-lembaga konservasi binatang.  

            Opsi ekstrem, misalnya, adalah menjadi vegan sebagaimana yang telah dipraktikan oleh Kristen Bell. Gaya hidup ini dipercaya membawa dampak bagi kesejahteraan dan konservasi hewan. Tapi ada juga opsi yang lebih mudah, yakni  menghentikan kebiasaan menjadikan bagian-bagian tubuh hewan tertentu—lazimnya bulu dan kulit—sebagai aksesori dan mode pakaian.

Langkah kecil seperti mendorong industri fashion menjadi lebih ramah lingkungan atau memilih mengonsumsi sumber makanan nabati, di lihat dari sudut mana pun, lebih memiliki dampak baik bagi keselamatan binatang, ketimbang menjadikannya sebagai konten dengan dalih edukasi. Di samping itu, kampanye-kampanye semacam ini juga memerlukan ongkos yang lebih terjangkau, yakni sedikit empati, bukan rupiah. 

            


 

[i] Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACG) Report (https://www.asiaforanimals.com/smacc-report

[ii] Difference Between Wild Animal and Domisticated Animal (https://www.differencebetween.com/difference-between-wild-animals-and-vs-domestic-animals/)  

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By M.N Fauzan

This statement referred from