Polemik Sejuta Manfaat Ganja Medis dan UU No 35 Tahun 2009

profile picture Cisco Runggat

Dalam beberapa tahun belakangan ini tanaman ganja menjadi bahan perbincangan publik di media sosial. Ganja yang merupakan narkotika golongan 1 menyorot pandangan publik karena banyaknya pemberitaan tentang tanaman ini di media massa. Mulai dari kasus fidelis yang ditangkap kepolisian karena didapati menanam satu batang ganja dirumahnya, pengungkapan puluhan hektare lahan ganja di aceh hingga penangkapan selebritas terkait kepemilikan tanaman ini salah satunya adalah Anji seorang musisi.

Literatur mencatat, ganja atau ganjika (sansekerta) telah digunakan sebagai bahan obat oleh manusia sejak 2.000 sampai 4.000 tahun silam.[1] Walaupun ganja telah ada ribuan tahun yang lalu namanya baru tercatat resmi pada tahun 1753 dengan nama ilmiah cannabis sativa.[2] Tanaman ganja sejak peradaban romawi digunakan sebagai tanaman obat untuk penghilang rasa sakit/analgesik dan sangat berguna pada masa perang. Ganja juga digunakan untuk memasak dan keperluan manusia lainnya, oleh karena banyaknya kegunaan tanaman ini bagi kehidupan manusia lahirlah istilah Cannapaceus atau canape yang memiliki makna segala sesuatu yang dibuat dari ganja.[3]

Manusia menurut seorang antropolog Weston La Barre  telah terprogram secara budaya untuk mencari tanaman atau jamur yang dapat memabukkan sehingga mereka dapat “berkomunikasi” dengan leluhur mereka dari dunia roh.[4] Sullivan dan Hagen juga memiliki pendapat yang sama bahwa insting manusia utuk mencari dan mengonsumsi tanaman psikoaktif merupakan sesuatu yang sudah terekam dalam ketidaksadaran.[5] Manusia dalam hidupnya memiliki empat dorongan dasar, dorongan makan, minum, seks dan pencarian akan zat-zat yang memabukkan dan berdasarkan penelitian etnologi, percobaan-percobaan laboratorium serta analisis perilaku sosial dan biologis berbagai koloni binatang pengerat dan primata. Sistem saraf manusia telah tersusun sedemikian rupa untuk merespons zat-zat memabukkan seperti halnya merespons dorongan dasar lainnya.[6

Manusia dan zat-zat memabukan yang dihasilkan oleh organisme-organisme lain di alam raya ini seperti nikotin, kafein, kokain, opiat, jamur, kecubung, hingga ganja telah memiliki hubungan yang sangat tua. Merupakan fakta bahwa didalam otak manusia terdapat reseptor dari berbagai zat tersebut yang direkam dalam bentuk kode genetis dan telah diwarisi sejak jutaan atau bahkan ratusan tahun yang lalu dan akan diwarisi pada generasi-generasi masa depan. Agar zat psikoaktif (zat memabukkan atau yang dapat mengubah kesadaran) dapat bekerja pada mahluk hidup yang mengonsumsinya dibutuhkan reseptor (penerima). Ada dua jenis reseptor untuk molekul dari tanaman ganja yang ada di otak manusia yang ditemukan pada tahun 1988, kedua reseptor itu diberi nama Reseptor Cannabinoid yang disingkat menjadi CB1 dan CB2. Reseptor CB1 terletak pada otak dan tulang belakang manusia sedangkan reseptor CB2 ada di sistem saraf di luar otak dan tulang belakang.[7]

Ada 400 lebih jenis senyawa yang terkandung dalam ganja[8] yang selama ini selalu dikampanyekan oleh pemerintah sebagai kumpulan zat yang mematikan bagi manusia, faktanya dari 400 jenis senyawa yang baru diketahui ini, 60 diantaranya tergolong kedalam kelompok cannabinoid. Tanaman ganja telah dikenal sebagai tanaman obat di seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu. Ganja menghasilkan molekul yang diberi nama cannabinoid yang memiliki fungsi yang sama dengan endocannabinoid yang diproduksi oleh otak manusia yang memiliki peran penting di hampir seluruh proses fisiologis manusia. Oleh karena penemuan ini maka tidak heran bila ganja disebut sebagai tanaman obat yang memiliki fungsi medis paling banyak dibanding tanaman obat lainnya.[9]

Indonesia adalah negara yang berasaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.[10] Sistem pemerintahan yang dijalankan adalah sistem demokrasi dimana semua warga negaranya memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Sistem demokrasi juga memberikan izin kepada warga negaranya untuk berpartisipasi secara langsung ataupun tidak langsung melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.[11] Ini juga pernah dikatakan bung Karno dalam pidatonya pada lahirnya pancasila 1 juni 1945 bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama, hak politik yang sama. Setiap warga negara berhak memilih dan berhak masuk kedalam parlemen. Rumusan tersebut yang sekarang kita kenal sebagai pancasila sila ke-5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. 

Keadilan sosial, terkandung didalamnya makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, kesejahteraan umum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu, kepentingan sosial dan negara.[13] Keadilan sosial tidak hanya berbicara mengenai materiil saja tapi lebih daripada itu karena mencakup semua aspek kehidupan. Meski bangsa ini dibangun diatas dasar negara dan ideologi yang begitu luhur dan mulia pada kenyataannya masih banyak terjadi ketidakadilan bagi warga negaranya. Lalu apakah hukum kita sudah cukup adil bagi semua warga negara Indonesia, serta apakah negara mampu memberikan rasa adil bagi semua warga negaranya. Salah satu peristiwa yang akhir-akhir ini sedang ramai di media sosial yang juga akhirnya cukup menyita perhatian publik adalah bagaimana hukum kita mengatur tata hidup sosial masyarakat kita namun tidak mengedepankan asas keadilan dalam sila ke-5 pancasila. Keadilan bagi rakyat Indonesia yang membutuhkan pengobatan yang layak dan yang lebih aman.

Pembahasan

Ujian sila ke-5 pancasila itu datang dari bidang kesehatan, dan peristiwa itu adalah terbatasnya hak warga negara Indonesia untuk mengakses/mendapat pengobatan bagi anaknya. Zhatira El qisya, ibu dari Yasmin anak penderita Lennox-Gastaut Syndrome adalah salah satunya. Lennox Gastaut Syndrome adalah salah satu tipe epilepsi langka yang penderitanya jauh lebih sering mengalami kejang bahkan hingga ratusan kali, dan dalam tipe yang berbeda-beda pula, khususnya tipe kejang tonic-clonic, atonic, dan kejang atypical absence.   Hingga usianya yang menuju 4 tahun ini Yasmin masih terdiagnosa Lennox-Gaustaut Syndrome dan belum menemukan kesembuhannya, berbagai pengobatan medis telah ditempuh oleh kedua orangtuanya namun tidak menunjukkan hasil yang positif. Operasi epilepsi, terapi herbal dan terapi alternatif dan segala jenis obat-obatan konvensional dari rumah sakit sudah didapatkannya tapi tidak satupun yang memberikan ketenangan dan hasil yang diharapkan. Yasmin tetap saja masih sering mengalami kejang-kejang dan itu sangat menyiksanya maupun orangtuanya yang merawat dan menyaksikannya langsung. Bahkan karena Yasmin masih mengalami kejang setiap hari ia mengalami keterlambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya. Epilepsinya juga membuat Yasmin mendapat diagnosa lain seperti Cerebral Palsy, ARFID, dan Hyperlaxity Syndrome. 

Penderita epilepsi seperti Yasmin ini hanya ada satu dari seratus orang, penderita ini dalam kasus yang parah umumnya mengalami kehilangan kesadaran. Pengobatan bagi mereka penderita epilepsi biasanya diobati dengan obat-obatan antikonvulsan(antikejang) modern berbasis sintetis yang dapat membuat pasien tidak dapat melakukan aktivitas normal.[23] Yasmin adalah salah satunya yang karenanya mengkonsumsi obat-obatan demikian akhirnya menderita komplikasi. 

Zhatira sang ibu pun akhirnya mau tidak mau menjadi rajin mencaritau banyak hal demi kesembuhan sang anak hingga ia menemukan sebuah fakta bahwa kandungan dalam tanaman ganja yang disebut CBD (Canabinoid) dapat membantu menghentikan kejang yang dialami yasmin. Dari berbagai sumber dan literatur-literatur yang berhasil didapat dan dikumpulkannya Zhatira seperti menemukan sebuah harta karun terpendam yang tidak pernah ia bayangkan. Ganja adalah satu-satunya sumber CBD dari dunia tanaman.[24] Sebuah fakta unik datang dari penelitian terbaru dari militer amerika yang memberikan cannabinoid sintetis pada tikus yang hasilnya memiliki kemungkinan 70% lebih rendah terkena serangan epilepsi dan kerusakan otak setelah dipaparkan gas saraf.[25] Dalam sebuah jurnal internasional yang mengadakan penelitian terhadap manfaat ganja bagi anak-anak penderita autis hampir tidak ditemukan efek negatif dari pemberian CBD, dari 60 anak yang diteliti setelah enam bulan pasca diberikan terapi CBD hanya 3,32% yang mengalami kesulitan untuk tidur sedangkan yang mengalami efek psikoaktif hanya 3,32% sementara itu 66,8% dari penderita merasa mengalami peningkatan kualitas hidupnya dan 63,5% merasa memiliki mood yang sangat baik. 24,7% memiliki kualitas tidur yang baik dan 14,0% memiliki peningkatan daya konsentrasi.[26] Dari penelitian yang sama terdapat 35.000 penderita autis yang akhirnya ingin dan setuju untuk menjalani pengobatan menggunakan cannabis di Israel dan 15.000 diantaranya akan menjalani terapi di Tikun-Olam Ltd (TO) negara penyedia ganja medis terbesar. Mechoulam dalam sebuah penelitiannya terhadap pasien AIDS juga mengatakan bahwa pemberian ganja medis meningkatkan nafsu makan dan mood pasien.[27]

Tanaman yang selama ini dimasukkan kedalam golongan narkotika golongan 1 dan dianggap berbahaya bagi manusia itu ternyata menyimpan sejuta manfaat bagi manusia, tidak hanya bagi kebutuhan sandang dan papan saja tapi juga terutama bagi dunia kesehatan. Ekstrak dari tanaman yang oleh pemerintah digolongkan kedalam narkotika golongan 1 sejak konvensi PBB tahun 1961 itu ternyata dapat menjadi salah satu alternatif kesembuhan bagi anaknya. Ganja menurut penelitian ternyata telah memiliki hubungan yang purba dengan manusia, otak manusia memiliki reseptor canabinoid atau reseptor ganja dan reseptor ini diperkirakan telah ada lebih dulu dibandingkan tanaman ganja yang diperkirakan baru ada di muka bumi ini 34 juta tahun yang lalu.[28] Sayangnya karena hukum di Indonesia yang belum ramah terhadap tanaman ganja membuat Zhatira harus menahan sabar lebih lama lagi.

Pemerintah dalam hal ini harusnya lebih terbuka, apalagi ini menyangkut ilmu pengetahuan dan kesehatan serta kembali pada asas-asas demokrasi yang telah disebutkan diatas seharusnya pemerintah memberikan izin untuk penelitian terhadap tanaman ganja. Para pengguna ganja dikriminalisasi dan bahkan tidak jarang ada juga yang diperas, dan ini jelas melanggar sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini pemerintah hanya berpegang teguh pada UU narkotika no.35 yang lahir pada konvensi PBB tahun 1961 tanpa pernah mau melakukan riset terhadap tanaman ini. Pemerintah hanya menelan mentah-mentah undang-undang atau peraturan yang dikeluarkan PBB pada saat itu padahal pada saat itu dibalik keputusan memasukan tanaman ganja kedalam narkotika golongan 1 ada muatan politik didalamnya sehingga fakta-fakta yang ada tentang tanaman ini disembunyikan dan diubah citranya.[29] Pemerintah juga seolah menutup mata bahwa di eropa dan amerika telah banyak negara yang melegalkan ganja medis setelah mereka melakukan riset selama puluhan tahun. Bahkan banyak rumah sakit di berbagai negara bagian amerika telah membuat bahan obat-obatan untuk berbagai penyakit dari ekstrak tanaman ini, inggris contohnya telah memiliki hak paten ganja medis. Bila melihat negara-negara kawasan Asia tenggara ada thailand dan malaysia yang  telah melegalkan ganja medis. Jika indonesia tidak mau tertinggal oleh negara-negara lain dan jika indonesia benar-benar negara yang berideologi pancasila bukankah seharusnya indonesia melakukan izin riset terhadap tanaman ini agar masyarakat kita yang mungkin bernasib sama dengan yasmin memiliki kesempatan mendapatkan obat bagi penyakit yang dideritanya dan dapat tumbuh menjadi anak yang normal dan sehat. Negara kita berpotensi menjadi negara yang besar jika kita mau membuka mata kita terhadap tanaman ini karena dunia mengetahui bagaimana kualitas ganja indonesia.

kasus Yasmin mungkin hanya sedikit dari sekian banyak yang tidak terungkap di negeri kita ini namun karena keteguhan dan kepercayaan yang tinggi, Zhatira yang akhirnya didampingi LGN(Lingkar Ganja Nusantara) melalui RUMAH CEMARA dan para saksi ahli dapat setidaknya ‘memaksa’ pemerintah untuk melakukan riset terhadap tanaman ganja. Ini terwujud dengan diselenggarakannya sidang di Mahkamah Konstitusi RI dengan tujuan pembuktian apakah ganja dapat bermanfaat di bidang medis atau tidak. Sidang tersebut dituntut oleh RUMAH CEMARA dan sedang memasuki sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi RI. Sidang kelima telah dilakukan 30 Agustus 2021 yang lalu dengan menghadirkan  saksi ahli dari pemohon yaitu Dr. iur. Asmin Fransiska, S.H., L.L.M., Dekan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta, Professor David Nutt DM, FRCP, FRCPsych, FSB, FMedSc., dan Prof. Dr. H. Musri Musman, M.Sc. dengan agenda pembacaan fakta-fakta dari para saksi ahli terkait tanaman ini.[30]

Pandangan Hukum

Banyak hal menarik dan baru yang dapat kita pahami dari proses sidang tersebut diantaranya dari bidang hukum Dr Asmin Fransiska menyatakan bahwa kita dalam hal ini pemerintah Indonesia telah salah menginterpretasikan konvensi tunggal PBB tahun 1961 tersebut karena disana jelas dikatakan bahwa pemerintah atau dalam hal ini negara peserta harus memastikan ketersediaan narkotika untuk tujuan ilmu pengetahuan dan kesehatan.[31] Negara peserta juga harus memastikan ketersediaan narkotika untuk mereka yang membutuhkan sebagai penghilang rasa sakit dan lain-lain. Kesalahan interpretasi lainnya yang telah dilakukan Indonesia adalah tentang pasal 36 konvensi tunggal PBB tahun1961 tersebut bahwa tidak adanya pelarangan penggunaan narkotika untuk layanan kesehatan juga tidak adanya pemberian hukuman kepada para penggunanya. Dalam pemaparan dan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya Dr Asmin Fransiska menyimpulkan bahwa pemerintah seharusnya melakukan regulasi pada UU no 35 tahun 2009 ini dan juga mengontrol peredaran narkotika golongan 1 khususnya tanaman ganja karena konvensi tunggal PBB tahun 1961 dan UU no 35 tahun 2009 ini seharusnya didasari pada aspek kesehatan dan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menjamin kesehatan warga negara dan warga dunia. Pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan dapat belajar dari bagaimana cara mereka melakukan kontrol terhadap alkohol dan tembakau yang sebagaimana kita tahu memiliki dampak negatif bagi manusia. Namun demikian sebelum melakukan itu semua pemerintah sangat perlu untuk melakukan riset terhadap tanaman ganja karena faktanya hingga saat ini Indonesia tidak pernah melakukan riset yang tuntas terhadap tanaman ganja, sebagai penutup beliau mengatakan bahwa tidak boleh ada UU tanpa riset.

Sejuta Manfaat Ganja Medis

Ahli kedua yang dihadirkan pemohon pada sidang kali ini  yaitu prof David Nutt mengatakan bahwa canabis medis telah digunakan didunia lebih dari 5000tahun yang lalu di China dan menyebar ke seluruh dunia hingga akhirnya 1961 dilarang oleh karena alasan geopolitik. Di Inggris ganja medis telah dilegalkan tiga tahun lalu karena banyak obat-obatan yang tidak mampu menyembuhkan juga banyaknya pasien yang terbantu atau bahkan sembuh oleh karenanya dan para dokter disana juga sudah diberikan izin untuk membuat resep obat dari tanaman ganja. Bahkan di tahun 2019 organisasi NICE merekomendasikan canabis sebagai obat untuk epilepsi dan terbukti dari 10 anak yang diberikan ganja medis frekuensi kejang yang mereka alami menurun hingga 80%. Lebih lanjut Prof David mengatakan bahwa kandungan dalam ganja yaitu THC dan CBD sangat kuat dan aman  bagi neuropathic pain dibandingkan dengan obat-obatan konvensional selain itu ganja medis juga memiliki resiko adiksi yang sangat rendah dan memiliki efek yang terus meningkat bagi penyembuhan. Ketakutan-ketakutan yang muncul bila ganja dilegalkan adalah semakin bertambahnya pasar gelap ganja, namun kita dapat belajar dari Uruguay, disana pasca ganja medis dilegalkan pasar gelap ganja justru mengalami penurunan, yang artinya itu senada dengan yang disampaikan ibu Dr Asmin fransiska bahwa apabila pemerintah mampu meregulasi dengan tepat dan mampu mengontrol peredaran tanaman ini maka ketakutan-ketakitan itu dapat sangat diminimalkan.

Prof. H. Musri Musman dari UNSYIAH Banda Aceh yang menjadi saksi ketiga dalam persidangan kali ini dan lebih berbicara tentang teknis dari kandungan yang ada dalam ganja, selama ini pemerintah selalu mengatakan bahwa ganja indonesia lebih banyak kandungan THC nya dibanding CBD nya dan itulah yang menyebabkan penggunanya mabuk dan ketergantungan dan hal itulah yang serta merta menyebar di benak seluruh warga negara indonesia sehingga masyarakat menjadi takut terhadap tanaman ini. Pendapat pemerintah ini dibantah oleh Prof Musri dengan mengatakan bahwa pertama-tama ganja indonesia memiliki kualitas yang paling bagus di seluruh dunia, kedua kadar THC yang terkandung dalam ganja tidak ditentukan berdasarkan jenis tanamannya tapi lebih kepada faktor-faktor lain seperti suhu, cara memotong, cara menggantung, nutrisi dalam tanah, cara pendistribusian, waktu pemanenan, iklim dan lain sebagainya, itu artinya kandungan THC dalam ganja dapat menurun seiring dengan faktor-fkator tersebut. Sehingga beliau mengatakan kita tidak seharusnya takut dengan THC.

Prof. Musri adalah seorang ilmuwan dan sebagai seorang ilmuwan beliau merasa gerak beliau sangat dibatasi oleh regulasi yang kurang jelas. Beliau pada 2015 pernah meminta izin kepada kementrian kesehatan untuk melakukan riset CBD untuk penyembuhan diabetes melitus yang ditanggapi oleh kemenkes bahwa untuk melakukan hal tersebut harus ada surat rekomendasi dari Badan Narkotika Nasional namun sayangnya hingga saat ini tidak ada tanggapan dari BNN. Ini mensyaratkan bahwa regulasi kita yang tidak jelas dan adanya keraguan terhadap manfaat CBD itu sendiri padahal telah banyak jurnal-jurnal internasional yang mempublikasikan manfaat CBD bagi dunia kesehatan dan setidaknya menurut catatan beliau ada 73-76 penyakit yang dapat dutangani oleh canabis dan salah satunya adalah epilepsi. Lagi-lagi karena hukum kita yang tidak jelas banyak obat-obatan yang mengandung CBD yang telah disetujui oleh FDA seperti Nabilone, Marinol, Sativex, dan Epidiolex sejak 1985 tidak dapat kita gunakan. Epidiolex misalnya, mengandung CBD murni tumbuhan sebanyak 100mg/ml dan sangat aman untuk digunakan tapi tidak dapat kita peroleh karena hukum yang berlaku. Padahal jika saja hukum kita teregulasi dengan baik dan pemerintah mampu mengontrol CBD seperti halnya kontrol terhadap alkohol dan tembakau, Yasmin dan anak-anak indonesia lainnya yang mengalami epilepsi dapat sangat terbantu dan mereka dapat tumbuh normal. Efek-efek negatif yang ditakutkan dari konsumsi CBD dapat diminimalkan dengan penggunaan terukur, terstruktur dan regulasi yang jelas. Menutup pemaparannya beliau menyampaikan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan menjadi sia-sia apabila tanpa pengaplikasiannya.

Kesimpulan

Penggunaan atau pemakaian ganja oleh manusia telah ada sejak ribuan tahun lalu, catatan paling tua tentang ini datang dari pulau taiwan di lepas pantai cina daratan. Para arkeolog berhasil menemukan tembikar yang didekorasi dari hasil menempelkan tambang dari serat ganja sebelum tanahnya mengering, yang telah berusia 10.000 tahun.[32] Di cina penggunaan ganja sebagai bahan obat-obatan sudah ada sejak zaman kaisar Shen Nung pada tahun 2900 SM dan masih digunakan hingga saat ini sebagai penghilang rasa sakit, malaria, rematik, gangguan pencernaan dan penyakit lupa.[33]

Melihat kasus-kasus kriminalisasi pengguna ganja, terbatasnya akses menggunakan ganja sebagai obat-obatan serta pemaparan-pemaparan para saksi pada sidang pengujian UU narkotika yang berlangsung 30 agustus 2021 ini pemerintah sudah seharusnya tidak lagi menutup mata tentang kegunaan ganja medis ini, dan harus segera melakukan pengaturan kembali kebijakan hukum pidana untuk mengatur penggunaan tanaman ganja ini karena bila merujuk kembali pada isi UU Narkotika No 35 tahun 2009 “untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika”, Zhatira dan ibu-ibu lainnya tidak kesulitan untuk mendapatkan ganja medis bagi pengobatan anak-anaknya ataupun bagi para pengguna ganja yang menggunakan ganja untuk relaksasi dan sebagainya tidak lagi dikriminalisasi atau bahkan diperas tetapi mereka berhak untuk mendapat perlindungan hukum serta mendapatkan hak rehabilitasi bilamana diperlukan.

Kini manfaat-manfaat tanaman ganja yang selama ini digalakkan dan dipublikasikan oleh LGN(Lingkar Ganja Nusantara) dan para pejuangnya tidak lagi dapat dipandang sebagai sebuah opini tanpa dasar yang kuat lagi karena para ahli yang dihadirkan dalam persidangan ini merupakan para ahli dibidangnya masing-masing dan memiliki curiculum vitae yang mumpuni yang dapat dipertanggungjawabkan dan telah diambil sumpahnya sebelum persidangan dimulai untuk memberikan pendapat ataupun hasil-hasil penelitian dengan yang sebenar-benarnya sesuai agama dan kepercayaan masing-masing ahli. Semoga saja titik cerah dapat segera kita lihat dan Yasmin serta anak-anak indonesia lainnya yang bernasib sama sepertinya dapat merasakan keadilan dari negaranya dan dapat tumbuh normal seperti anak-anak indonesia pada umumnya. Mari kita wujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya dengan mulai berhenti phobia terhadap ganja. Ganja bukan narkoba dan karena tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia termasuk ganja.

Referensi

Aj, Brown. “Novel Cannabinoid Receptors.” British journal of pharmacology 152, no. 5 (November 2007). Accessed December 1, 2021. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17906678/.

Baker, John R. Consciousness Alteration as a Problem-Solving Device. Issue 3. Verlag für Wissenschaft und Bildung, 1995. Accessed December 1, 2021. http://www.psychedelic-library.org/baker.htm.

Bar-Lev Schleider, Lihi, Raphael Mechoulam, Naama Saban, Gal Meiri, and Victor Novack. “Real Life Experience of Medical Cannabis Treatment in Autism: Analysis of Safety and Efficacy.” Scientific Reports 9, no. 1 (December 2019): 200. Accessed November 18, 2021. http://www.nature.com/articles/s41598-018-37570-y.

Benedictus, Francisco. “Peran Hubungan Masyarakat KKMK (Komunitas Karyawan Muda Katolik)  Dalam Meningkatkan Peran Aktif Orang-Orang Muda Katolik Paroki Bintaro Gereja ST.Matius Penginjil Melalui Kegiatan ‘Bersepeda Malam Bersama.’” Skripsi, Universitas Budi Luhur, 2017.

Borger. “Marijuana Substitute Combats Nerve Gas.” Scripps Howard News Service (1998). http://www.marijuananews.com.

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group, 2007.

Clarke, Robert Connell. Marijuana Botany : Propagation and Breeding of Distintive Cannabis. Ronin Publishing, 1981.

Creswell, John C. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan Campuran. 4th ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Irlanie, Cania Citta. Propaganda Sesat Soal Ganja (ft Dhira Narayan). MP4. Jakarta, 2019. https://www.youtube.com/watch?v=clvJ_LZ58pc.

Kogan, Natalya M, and Raphael Mechoulam. “‪Cannabinoids in Health and Disease.” Accessed December 7, 2021. https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=err5l-YAAAAJ&cstart=20&pagesize=80&citation_for_view=err5l-YAAAAJ:EUQCXRtRnyEC.

Kompasiana.com. “Rakyat Berhak Sehat.” KOMPASIANA. Last modified November 9, 2021. Accessed December 7, 2021. https://www.kompasiana.com/franciscorunggat/6188a72895f4136f387a1e22/rakyat-berhak-sehat.

Kriyantono, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Perpustakaan Nasional:Katalog Dalam Terbitan(KDT), n.d.

Mahatamtama, Aria. “Diskursus Legalisasi Ganja Medis Pada Media Digital  (Studi Critical Discourse Analysis Dalam Website Lgn.or.Id Pada Kasus Fidelis Ari).” Skripsi, Universitas Airlangga, 2019. https://repository.unair.ac.id/87167/.

Mahkamah Konstitusi RI. Asmin Fransiska-Indonesia Salah Tafsir atas Konvensi Tunggal Narkotika 1961. MP4. Jakarta, 2021. https://www.youtube.com/watch?v=2_bo7x5jnug.

———. Sidang Perkara Nomor 106_PUU-XVIII_2020. Selasa 10 Agustus 2021. MP4. Jakarta, 2021. https://www.youtube.com/watch?v=6eU3pokJrCI&t=57s.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2018.

Narayana, Dhira, Irwan, M.Syarif, and Ronald, C.M. Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia. Pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Rätsch, Christian. Marijuana Medicine: A World Tour of the Healing and Visionary Powers of Cannabis. Inner Traditions / Bear & Co, 2001.

RI, BPIP. “BPIP :: Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” BPIP :: Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Accessed October 10, 2021. https://bpip.go.id/bpip/.

Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, 2008.

———. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2010.

Sullivan, R. J., and E. H. Hagen. “Psychotropic Substance-Seeking: Evolutionary Pathology or Adaptation?” Addiction (Abingdon, England) 97, no. 4 (April 2002): 389–400.

Sumodiningrat, Gunawan, and Ary Ginanjar Agustian. Mencintai bangsa dan negara: pegangan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. ARGA, 2008.

Suyanto, Bagong, and Sutinah. ‪Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media, 2006. Accessed October 10, 2021. https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=t_KG0I8AAAAJ&citation_for_view=t_KG0I8AAAAJ:5Ul4iDaHHb8C.

Touw, M. “The Religious and Medicinal Uses of Cannabis in China, India and Tibet.” Journal of Psychoactive Drugs 13, no. 1 (March 1981): 23–34.

Turner, C. E., M. A. Elsohly, and E. G. Boeren. “Constituents of Cannabis Sativa L. XVII. A Review of the Natural Constituents.” Journal of Natural Products 43, no. 2 (April 1980): 169–234.

Wellman, Klaus. “New Scientist. Rock Art and Drugs.” Reed Business Information, September 28, 1978. https://books.google.co.id/books?id=CuIstfV77o8C&pg=PA915&lpg=PA915&dq=rock+art+and+drugs+new+scientist+28+sep+1978&source=bl&ots=2a5JbTggOi&sig=ACfU3U0peP1hao0J4Oc206wpd4tsJBDK3g&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjH6fnYr8L0AhUn4zgGHY_kAXoQ6AF6BAgaEAM#v=onepage&q=rock%20art%20and%20drugs%20new%20scientist%2028%20sep%201978&f=false.

“KEADILAN SOSIAL.” Character Building, n.d. Accessed October 10, 2021. https://binus.ac.id/character-building/2020/06/keadilan-sosial/.


 

[1] Dhira Narayana, Irwan, M.Syarif, and Ronald, C.M, Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia, Pertama. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), vii.

[2] Robert Connell Clarke, Marijuana Botany : Propagation and Breeding of Distintive Cannabis (Ronin Publishing, 1981), 157.

[3] Narayana, Irwan, M.Syarif, and Ronald, C.M, Hikayat Pohon Ganja, 5.

[4] Klaus Wellman, “New Scientist. Rock Art and Drugs,” Reed Business Information, September 28, 1978, 951, https://books.google.co.id/books?id=CuIstfV77o8C&pg=PA915&lpg=PA915&dq=rock+art+and+drugs+new+scientist+28+sep+1978&source=bl&ots=2a5JbTggOi&sig=ACfU3U0peP1hao0J4Oc206wpd4tsJBDK3g&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjH6fnYr8L0AhUn4zgGHY_kAXoQ6AF6BAgaEAM#v=onepage&q=rock%20art%20and%20drugs%20new%20scientist%2028%20sep%201978&f=false.

[5] R. J. Sullivan and E. H. Hagen, “Psychotropic Substance-Seeking: Evolutionary Pathology or Adaptation?,” Addiction (Abingdon, England) 97, no. 4 (April 2002): 389–400.

[6] John R Baker, Consciousness Alteration as a Problem-Solving Device, Issue 3. (Verlag für Wissenschaft und Bildung, 1995), 51–89, accessed December 1, 2021, http://www.psychedelic-library.org/baker.htm.

[7] Brown Aj, “Novel Cannabinoid Receptors,” British journal of pharmacology 152, no. 5 (November 2007), accessed December 1, 2021, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17906678/.

[8] C. E. Turner, M. A. Elsohly, and E. G. Boeren, “Constituents of Cannabis Sativa L. XVII. A Review of the Natural Constituents,” Journal of Natural Products 43, no. 2 (April 1980): 169–234.

[9] Christian Rätsch, Marijuana Medicine: A World Tour of the Healing and Visionary Powers of Cannabis (Inner Traditions / Bear & Co, 2001), 51.

[10] Kompasiana.com, “Rakyat Berhak Sehat,” KOMPASIANA, last modified November 9, 2021, accessed December 7, 2021, https://www.kompasiana.com/franciscorunggat/6188a72895f4136f387a1e22/rakyat-berhak-sehat.

[11] Gunawan Sumodiningrat and Ary Ginanjar Agustian, Mencintai bangsa dan negara: pegangan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia (ARGA, 2008), 44.

[12] BPIP RI, “BPIP :: Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” BPIP :: Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, accessed October 10, 2021, https://bpip.go.id/bpip/.

[13] “KEADILAN SOSIAL,” Character Building, n.d., accessed October 10, 2021, https://binus.ac.id/character-building/2020/06/keadilan-sosial/.

[14] Rachmat Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran (Jakarta: Perpustakaan Nasional:Katalog Dalam Terbitan(KDT), n.d.), 64.

[15] Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Bandung: Alfabeta, 2008), 1.

[16] Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2018), 6.

[17] Bagong Suyanto and Sutinah, ‪Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Prenada Media, 2006), 166, accessed October 10, 2021, https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=t_KG0I8AAAAJ&citation_for_view=t_KG0I8AAAAJ:5Ul4iDaHHb8C.

[18] John C Creswell, Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan Campuran, 4th ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 4.

[19] Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, 1.

[20] Benedictus, Francisco, “Peran Hubungan Masyarakat KKMK (Komunitas Karyawan Muda Katolik)  Dalam Meningkatkan Peran Aktif Orang-Orang Muda Katolik Paroki Bintaro Gereja ST.Matius Penginjil Melalui Kegiatan ‘Bersepeda Malam Bersama’” (Skripsi, Universitas Budi Luhur, 2017).

[21] Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), 78.

[22] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2010), 215.

[23] Narayana, Irwan, M.Syarif, and Ronald, C.M, Hikayat Pohon Ganja, 216.

[24] Narayana, Irwan, M.Syarif, and Ronald, C.M, Hikayat Pohon Ganja.

[25] Borger, “Marijuana Substitute Combats Nerve Gas,” Scripps Howard News Service (1998), http://www.marijuananews.com.

[26] Lihi Bar-Lev Schleider et al., “Real Life Experience of Medical Cannabis Treatment in Autism: Analysis of Safety and Efficacy,” Scientific Reports 9, no. 1 (December 2019): 200, accessed November 18, 2021, http://www.nature.com/articles/s41598-018-37570-y.

[27] Natalya M Kogan and Raphael Mechoulam, “‪Cannabinoids in Health and Disease,” accessed December 7, 2021, https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=err5l-YAAAAJ&cstart=20&pagesize=80&citation_for_view=err5l-YAAAAJ:EUQCXRtRnyEC.

[28] Narayana, Irwan, M.Syarif, and Ronald, C.M, Hikayat Pohon Ganja, 16–17.

[29] Cania Citta Irlanie, Propaganda Sesat Soal Ganja (ft Dhira Narayan), MP4 (Jakarta, 2019), https://www.youtube.com/watch?v=clvJ_LZ58pc.

[30] Mahkamah Konstitusi RI, Sidang Perkara Nomor 106_PUU-XVIII_2020. Selasa 10 Agustus 2021, MP4 (Jakarta, 2021), https://www.youtube.com/watch?v=6eU3pokJrCI&t=57s.

[31] Mahkamah Konstitusi RI, Asmin Fransiska-Indonesia Salah Tafsir atas Konvensi Tunggal Narkotika 1961, MP4 (Jakarta, 2021), https://www.youtube.com/watch?v=2_bo7x5jnug.

[32] Narayana, Irwan, M.Syarif, and Ronald, C.M, Hikayat Pohon Ganja, 25–26.

[33] M. Touw, “The Religious and Medicinal Uses of Cannabis in China, India and Tibet,” Journal of Psychoactive Drugs 13, no. 1 (March 1981): 23–24.

6 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
6
0
profile picture

Written By Cisco Runggat

This statement referred from