Buya Hamka Termakan Teori Konspirasi
Tau Haji Abdul Malik Karim Amrullah? Ia lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Sosok politisi dari partai Masyumi yang sempat dipenjara karena haluan politiknya bersebrangan dengan Presiden Soekarno. Selain karena ketokohan politiknya, ia juga dikenal sebagai sastrawan dan ulama dalam agama Islam. Ia dikenal sebagai sastrawan dari novel romansa apiknya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Sedangkan sisi ketokohan ulamanya, sebenarnya ia banyak mengarang banyak buku, namun yang paling terkenal diantara karyanya adalah “Tafsir al-Azhar” sebuah interpretasi dari Alquran yang dibuatnya ketika mendekam di penjara.
Tafsir al-Azhar sendiri telah banyak dikaji oleh mereka yang menggeluti ranah keilmuan Alquran dan Tafsir terkhusus para sarjana Indonesia. Selain dari penggunaan bahasa Indonesia yang memudahkan para peneliti, tentu terdapat sisi lain yang dari Tafsir al-Azhar ini yang menjadi daya tarik tersendiri. Misalnya dari segi penyampaian dan bahasa yang digunakan, atau dari segi pembahasan yang tidak bertele-tele dan banyak menyinggung fenomena sosial yang terjadi saat kitab itu ditulis. Dua hal tersebut yang berangkali menjadi daya tarik tersendiri dalam Tafsir al-Azhar.
Terdapat satu hal yang menarik dari salah satu peneliti yang mengkaji tafsir al-Azhar. Ia adalah Mun'im Sirry, seorang cendekiawan muslim Indonesia yang terkenal dengan konsep pluralnya. Dalam bukunya “Polemik Kitab Suci” ia mengungkapkan bahwa Hamka, dalam beberapa interpretasinya terkaman teori konspirasi. Lantas kemudian timbul pertanyaan, dimana letak interpretasi yang termakan konspirasi tersebut?
Al-Baqarah: 120 dan Al-Maidah: 51
Sirry mengklaim bahwa Hamka termakan teori konspirasi saat menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 120 dan Al-Maidah: 51. Dua ayat diatas secara eksplisit dalam Alquran memberi narasi bahwa Yahudi dan Nasrani tidak sepatutnya dijadikan sebagai pemimpin (dalam Al-Maidah: 51) sebab mereka tidak akan ridha apabila seorang muslim tidak mengikuti jalan yang mereka yakini (Al-Baqarah: 120). Namun Sirry tampaknya tidak ingin hanya berdiam pada makna yang hanya diterima secara literal. Lantas ia ingin mengungkap makna yang lebih dalam dengan merujuk pada pemahaman para mufassir yang ia istilahkan dengan mufassir reformis. Salah satu diantara mufassir tersebut adalah Hamka.
Hamka dalam tafsirnya mengatakan bahwa dalam Qs. Al-Baqarah: 120 terdapat isyarat bahwa di dunia yang kita tempati saat ini dan seterusnya, akan menjadi ajang perlombaan perebutan pengaruh antar agama, hal yang demikian dibarengi dengan proses penanaman kekuasaan di beberapa tempat. Lebih lanjut, Hamka menyebutkan bahwa Yahudi dan Nasrani sangat ingin menanamkan pengaruhnya kepada pengikut nabi Muhammad Saw., sebab dengan begitu, penyebaran agama Islam akan terhambat dan mereka tetap akan eksis selama hal ini berlangsung.
Argumen yang ia kemukakan berusaha ia buktikan dengan beberapa narasi penguat. Misalnya untuk kaum kristen, perang salib hingga ekspansi penjajahan merupakan agenda untuk merebut pengaruh dan menyebarkan agama kristen di negri yang berpenduduk Islam. Adapun untuk kaum Yahudi Hamka menulis bahwa Vrijmetselar dan Masonia merupakan agenda yang dilakukan oleh Yahudi. Mereka menempati posisi penting dalam bidang ekonomi yang memaksa negara Islam mendirikan bank dan menjalankan riba sesuai kehendak mereka. Mereka tidak tertarik dengan penyebaran agama Yahudi, namun sangat tertarik jika Islam tunduk dibawah pengaruh mereka.
Narasi yang seperti ini juga dibawa Hamka saat ia menafsirkan Qs. Al-Maidah: 51. Inti dari pernyataannya adalah ketidak bolehan seorang muslim mengangkat Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka. Alasan dibalik ketidak bolehan ini ia ungkapkan karena Yahudi dan Nasrani ingin menghancurkan Islam.
Sebagai contoh di Indonesia sendiri, partai yang berhaluan Katolik, Protestan, Nasionalis, Sosialis dan Komunis bersatu untuk menentang cita-cita Islam yang menginginkan kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” karena memang benci, dan tidak ingin cita-cita itu terwujud.
Demikian halnya saat Paus Paulus VI memberi ampunan umum kepada agama Yahudi padahal 2000 tahun Yahudi terus menerus dikutuk kaum Nasrani karena dosa mereka terhadap Isa al-Masih. Hal ini menurut tulisan Hamka dilakukan karena agenda persatuan Kristen dan Yahudi. Kristen butuh sokongan dana dari Yahudi yang kaya untuk menghadapi Islam. Maka pada tahun 1967 Yerusalem dirampas dari kaum Muslim, kemudian Gereja Katolik menyarankan agar Yerusalem itu diserahkan kepada PBB, badan internasional yang dikuasai oleh negara yang bukan negara Islam. Prancis-Katolik, Amerika-Protestan, Inggris-Anglicanism dan Rusia-Komunis.
Buya Hamka Dan Konspirasi
Mun'im Sirry lantas mengomentari narasi diatas yang dibawa oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar. Ia menganggap bahwa Hamka terperangkap dalam teori konspirasi manakala menafsirkan dua ayat diatas. Sebenarnya Ia tidak berkomentar lebih dalam lagi mengenai konspirasi dalam Tafsir al-Azhar ini.
Barangkali kalimat yang tertuju secara tidak langsung kepada Hamka adalah afirmasinya terhadap argumen Mahmoud Ayoub yang mengatakan bahwa dua ayat yang dikaji sebelumnya tidak dapat diberlakukan dalam konteks negara bangsa muslim saat ini, dimana kewarganegaraan tidak melihat afiliasi agama. Kewarganegaraan seharusnya menjamin persamaan hak dan kewajiban semua warga negara. Setelahnya, Sirry tidak mengungkap apapun mengenai Buya Hamka yang termakan konspirasi.
Wajar memang, sebab pembahasan yang ia inginkan dalam kajiannya di “Polemik Kitab Suci” bukan terfokus pada bagaimana Hamka terpengaruh teori konspirasi, namun ingin mengungkap lebih dalam dialektika keberagamaan antara Yahudi, Nasrani, dan Islam dalam ayat Alquran dengan tinjauan dari para mufassir reformis.
Penutup
Artikel ini bukan dibuat untuk menyalahkan satu pihak, Buya Hamka atau Mun'im Sirry. Interpretasi terhadap Alquran tentu tidak lepas dari konteks yang berkembang saat mufassir menulis tafsirnya. Hal ini seharusnya telah disadari oleh Sirry kala menjadikan karya Hamka sebagai objek kajiannya. Barangkali argumen yang diungkapkan oleh Hamka dalam tafsir al-Azhar adalah desas desus yang memang berkembang saat Hamka menulis tafsirnya.
Adapun mengenai produk interpretasi Hamka, salah atau benarnya bukanlah bagian yang paling penting. Toh rentetan narasi yang berbau konspirasi di atas dibuat untuk menguatkan argumen penjelasannya mengenai tujuan ayat. Lagi pula dalam pandangan Islam, ijtihad apabila salah tetap mendapat ganjaran pahala. Wallahu A’lam.
Sumber Gambar: https://surabaya.jatimnetwork.com