Orang Batak Makan Orang
Orang Batak makan orang. Pernah tahu istilah ini?
.
Berdasarkan sensus dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2010, suku Batak telah diakui sebagai salah satu kelompok etnik terbesar di Indonesia. Suku Batak ini adalah suku yang mendiami sebagian besar daerah Sumatera Utara. Biasanya, suku Batak dikenal dengan cara bicaranya yang tegas. Hal ini bahkan diakui oleh presiden pertama Republik Indonesia, Bapak Ir. Soekarno, yang mengatakan,
Berpikirlah seperti orang Minang, bekerjalah seperti orang Jawa, dan bicaralah seperti orang Batak.
Sekarang konspirasi tentang orang Batak makan orang mungkin sudah asing bagi sebagian orang. Konsep “makan orang” di sini tidak berhubungan dengan psikologis, tetapi benar-benar seperti konsep kanibalisme; manusia makan manusia. Jika istilah ini masih asing, mungkin kalian perlu berwisata ke Huta Siallagan yang terletak di Pulau Samosir, Sumatera Utara.
Di Huta Siallagan ada satu area yang dikenal dengan Batu Parsidangan. Batu Parsidangan ini dipercaya masyarakat setempat memiliki korelasi dengan istilah orang Batak makan orang. Huta Siallagan sempat kembali menjadi perbincangan publik pada 2019 saat Presiden Jokowi Dodo berkunjung ke tempat tersebut.
Berdasarkan cerita yang diceritakan oleh penutur sejarah Batu Parsidangan, konon batu yang berbentuk sebuah meja dengan kursi yang disusun melingkar tersebut digunakan Raja Siallagan untuk rapat dalam menghukum orang-orang yang melanggar adat. Konon pada zaman Raja Siallagan, jika ada yang orang yang melanggar hukum adat akan dihukum dengan cara yang sangat brutal.
Hukuman brutal yang diberikan kepada pelanggar hukum adat tersebut pun dilakukan dengan ritual. Apabila terdakwa terbukti bersalah akan langsung dihukum pancung dan dibawa ke Batu Parsidangan kedua yang terletak tepat di belakang Batu Persidangan pertama. Ritual penghukuman pancung oleh terdakwa bukan hanya ditebas, lalu selesai. Penutur sejarah mengatakan, pertama-tama pada mata dan tangan terdakwa akan diikatkan kain ulos dan direbahkan di atas batu datar yang amat tinggi. Lalu tubuhnya akan disayat-sayat, jika tidak keluar darah, terdakwa dianggap memiliki kekuatan sakti, dan raja akan mengambil kekuatan tersebut dengan tongkat sakti.
Meskipun sudah tampak seperti cerita fiksi, tetapi tenang dulu. Ritualnya tidak sampai di situ. Jika tidak keluar darah, maka akan disayat berkali-kali hingga kekuatannya hilang (darahnya keluar). Lalu kemudian dengan tubuh tanpa amunisi kekuatan, terdakwa dibawa ke batu cekung untuk kemudian lehernya ditebas oleh algojo.
Leher terdakwa tidak hanya ditebas hingga lepas, darah yang mengucur deras dari leher yang sudah ditebas tersebut kemudian ditampung. Tubuh terdakwa dipotong-potong. Paru, hati, dan potongan daging lainnya kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar yang menonton ritual tersebut untuk dimakan.
Sudah cukup ngeri?
Menurut penulis, cerita tentang Batu Parsidangan cukup unik dan sedikit dibumbu-bumbui. Cerita tersebut bisa saja merupakan kapitalisme yang dijadikan inovasi oleh masyarakat sekitar dari cerita aslinya sebagai strategi untuk menarik para wisatawan. Namun, belum tentu juga cerita tersebut salah.
Mengapa demikian?
Sebenarnya istilah orang Batak makan Orang ini tidak hanya didukung dengan cerita sejarah dari Batu Parsidangan. Penulis menganggap cerita ini bisa jadi benar karena juga didukung dengan perjalanan Marco Polo dan Raffles yang mencatat dalam kisahnya tentang adanya kanibal di pedalaman pulau Sumatera. Menurut penulis, mungkin di zaman dahulu hukuman yang dibuat Raja Siallagan untuk para pelanggar hukum adat memang ada. Mengingat adanya perkembangan zaman, di saat belum masuk dan tersebarnya agama, bisa jadi hukum adat tersebut dianggap sah.
Istilah orang Batak makan orang ini ada disinggung juga oleh William Marsden dalam History of Sumatra, yang menulis:
Masyarakat Batak memakannya sebagai suatu jenis upacara, sebagai suatu cara untuk menunjukkan kebencian mereka terhadap kejahatan tertentu melalui suatu hukuman yang memalukan, dan sebagai cara memamerkan kebuasan balas dendam dan penghinaan mereka terhadap musuh mereka yang malang. Obyek hidangan biadab ini adalah para tahanan yang ditangkap saat perang, terutama mereka yang terluka parah, tubuh jenazah korban yang tewas, dan para pelaku kejahatan yang dihukum karena tindak kriminal berat, khususnya perzinahan. Para tahanan perang yang tidak terluka (tetapi mereka tidak bisa diampuni) dapat ditebus atau dijual sebagai budak apabila perselisihannya tidak terlalu mendalam. Para narapidana, berdasarkan sumber yang bisa dipercaya, jarang mengalami penderitaan apabila rekan-rekannya mampu menebus sesuai ketetapan yang setara dengan 20 bincang atau 80 dolar.
Mereka diadili oleh masyarakat suku tempat kejahatan tersebut dilakukan, tetapi tidak dapat dieksekusi sampai raja mereka sendiri mengetahui putusannya. Jika raja tersebut mengakui keadilan hukum yang telah diputuskan, dia akan mengirim selembar kain untuk menutup kepala pelaku kejahatan tersebut beserta sepiring besar garam dan lemon. Setelah itu, pelaku kejahatan yang malang ini diserahkan ke tangan pihak korban (apabila kasusnya merupakan pelanggaran pribadi atau dalam kasus penyerahan tahanan perang kepada para prajurit).
Pihak korban pun mengikat pelaku kejahatan tersebut pada sebuah tiang, lalu tombak dilemparkan ke arahnya dari jarak tertentu oleh pihak korban, kerabatnya, dan rekan-rekannya. Saat sudah terluka parah, mereka berlari ke arahnya seperti kerasukan, memotong bagian-bagian tubuhnya dengan pisau, mencelupkannya ke dalam garam, sari lemon, dan cabai merah, memanggangnya sebentar di atas api yang sudah dipersiapkan, dan menelan potongan daging tersebut dengan membabi buta. Terkadang (saya perkirakan berdasarkan seberapa besar perselisihan dan kebencian mereka) seluruh daging tersebut dimakan oleh para penonton.
Bagaimanapun, menurut penulis, kita harus menghargai terlepas hal ini adalah konspirasi yang dibuat-buat, suatu bentuk kapitalisme atau bukan. Cerita Batu Parsidangan ini diakui oleh masyarakat setempat yang pastinya merupakan sebuah cerita turun-temurun (tradisional), jadi kita harus menghargainya.
Di zaman sekarang, tidak perlu takut dan beranggapan bahwa semua orang Batak memakan orang alias kanibal. Patut diakui dan disyukuri bahwa zaman sekarang lebih memiliki aturan setelah adanya hukum yang adil, lembaga dunia yang tersistem, dan dikenalnya agama oleh masyarakat luas.
.
.
Sumber:
- Marsden. 2016. Sejarah Sumatera The History of Sumatera. Yogyakarta: Indoliterasi.
- https://travel.detik.com/cerita-perjalanan/d-5402594/batu-parsidangan-dan-kisah-orang-batak-makan-orang