Childfree - Woman’s Freedom & Privilege
Dunia ini diciptakan dengan memberikan kepada setiap manusia kebebasan untuk hidup, berekspresi, dan khususnya kebebasan untuk memilih apa yang terbaik dalam hidupnya. Jika seseorang dengan pertimbangan yang matang, mengambil keputusan serta siap bertanggungjawab terhadap keputusan tersebut, maka seharusnya mereka tidak didiskreditkan serta mendapatkan perlakuan yang adil dalam masyarakat. Sayangnya, begitu ada orang yang memilih keluar dari mainstream pola berpikir masyarakat secara umum, mereka langsung mendapatkan stigma buruk bahkan hukuman sosial dari masyarakat yang menganggap mainstream choice is a must option.
Childless, keputusan untuk tidak memiliki anak, adalah salah satu pilihan, dan ironisnya pilihan ini timpang, berat sebelah, karena mata kita selalu ditujukan kepada wanita. Padahal begitu banyak pria yang juga mengambil keputusan untuk tidak ingin memiliki anak, sebut saja aktor terkenal Leonardo DiCaprio, tetapi mereka tidak pernah menjadi sorotan. Okelah, benih kehidupan itu memang dititipkan kepada rahim wanita, namun peran dan keputusan menjadi orang tua atau tidak, juga seharusnya dipertanyakan kepada sang pria, bukan? Sayangnya, childfree sekarang berkembang bukan hanya terkait dengan isu gender, namun sudah menjadi isu sosial budaya, agama serta isu biologis, yang lebih mengarah konotatif sehingga penganut childfree cenderung dipandang rendah oleh masyarakat.
Family (Keluarga)
Saya melakukan riset tentang definisi Keluarga dari berbagai sumber. Dari sana, saya menyimpulkan keluarga didefinisikan secara sempit sebagai sekelompok orang yang memiliki ikatan darah, perkawinan atau adopsi. Karena itu berkembang statement yang salah satunya dituangkan dalam penelitian “Parenthood as a Moral Imperative? Moral Outrage and the Stigmatization of Voluntary Childfree Women and Men”, menyatakan penganut childfree, adalah orang yang egois karena hanya ingin hidup bersenang-senang dan melepas tanggungjawabnya untuk berkeluarga, padahal mereka-penganut childfree, juga awalnya lahir dan tumbuh dari sebuah keluarga.
Penelitian ini tentunya menangkap dengan sangat jelas pandangan mainstream yang akhirnya menekan secara psikologis, bahkan hingga verbally abusive, kepada pasangan yang sudah menikah untuk segera memiliki anak, dengan pertanyaan rutin setiap pertemuan, “kapan punya anak?”. Nah, konsep ini semua dimulai dari konsep berkeluarga yang diharuskan dari garis keturunan darah dan perkawinan.
Bagi saya, Keluarga bukan hanya tentang ‘manusia sedarah’, tetapi tentang siapa saja, orang-orang yang saling peduli, menyayangi serta berbagi hidup secara bersama-sama dalam kehidupan ini. Faktanya, banyak sekali hubungan keluarga sedarah yang pecah, saling membenci, melukai, bahkan tidak menganggap keluarganya ada, apakah itu bisa disebut sebagai keluarga? Di sisi kehidupan lainnya, ada orang yang hidup bahagia dalam komunitas, bermasyarakat, memiliki sahabat yang sangat dekat, apakah itu tidak boleh kita sebut sebagai keluarganya? Jadi childfree, bukan berarti egois hanya karena tidak mau memiliki keluarga secara biologis, tapi tentunya lebih penting bagaimana menjaga dan bertanggungjawab kepada orang-orang yang sudah menyayangi dan mempedulikan kita.
I believe the world is one big family, we need to help and love each other - Jet Li
Keutuhan Wanita
Pendekatan keutuhan wanita menjadi salah satu penyebab childfree dianggap meniadakan makna dan kodrat seorang wanita. Pendekatan primitif sejak Adam dan Hawa, yang menganggap wanita yang tidak memiliki anak adalah wanita hina dan dipandang rendah, sudah seharusnya hilang di zaman modern ini. Bahkan, nasehat Jawa kuno secara satir menyatakan kodrat wanita ada 3M, yaitu ‘masak, macak, manak’. ‘Masak’, artinya wanita harus bisa menyajikan makanan yang cukup, enak dan bergizi bagi keluarga, ‘macak’ artinya wanita harus bisa tampil menarik di hadapan suaminya. Dan yang terakhir, ‘manak’ artinya wanita harus bisa memberikan keturunan. Jadi, jangan heran wanita yang tidak bisa memenuhi 3M tersebut harus siap mental untuk dipandang rendah dalam keluarga besar ataupun dalam masyarakat, karena dianggap bukan wanita seutuhnya.
Well, Konsep 3M kuno tentunya harus disesuaikan dengan perubahan zaman, layaknya peribahasa dahulu ‘banyak anak, banyak rezeki’, masih yakin mau buat anak hingga bisa jadi kesebelasan sepakbola seperti jaman kakek-nenek kita dulu?
Melahirkan anak, menurut saya bukan kodrat tetapi hak istimewa atau privilege dan anugerah yang hanya dimiliki oleh kaum wanita. Tentunya, jika konsep privilege dipahami oleh masyarakat, maka menjadi hak seutuhnya seorang wanita untuk memakai ataupun tidak memakai privilegenya, dalam hal ini melahirkan anak. Justru, sewaktu seseorang menggunakan hak istimewanya, orang tersebut harus bijaksana dan orang yang tidak menggunakan privilege-nya, bukanlah sesuatu yang salah dan meniadakan subyek pemilik privilege tersebut. Contoh, seorang anak presiden memiliki privilege untuk menemui presiden secara lebih leluasa, bahkan tanpa protokol dan aturan seperti orang lain pada umumnya. Namun ketika anak presiden tersebut memutuskan untuk tidak menemui ayahnya dengan pertimbangan apapun, apakah itu berarti anak tersebut tidak bisa lagi disebut anak presiden?
Wahai kaum wanita, sadarilah kita sudah menjadi utuh seutuhnya, dengan ataupun tanpa memiliki anak.
Legacy (Warisan)
Ratu Elizabeth I, yang dikenal sebagai The Virgin Queen, adalah salah satu Ratu kerajaan Inggris Raya di abad ke-16 yang anti mainstream. Sosok ini dikenal tidak ingin memiliki keturunan dan hidup membujang (tidak kawin). Masyarakat dan kaum bangsawan dari dinasti Tudor menilai keputusan ini sangat mengecewakan karena Ratu Elizabeth I adalah keturunan terakhir dari dinasti Tudor dan sangat diharapkan memiliki keturunan untuk menyambung garis darah biru Tudor dalam kerajaan Inggris. Namun Ratu ini bergeming dan kukuh pada pendiriannya.
70 tahun kehidupan dari Elizabeth I memang tidak menghasilkan warisan dalam keturunan biologis (anak). Namun, 45 tahun selama memimpin kerajaan Inggris, begitu banyak catatan sejarah dan warisan positif, seperti bertumbuh pesatnya budaya renaissance di Inggris hingga melahirkan pujangga dunia, seperti William Shakespeare dan Cristopher Marlowe. Selain itu, beliau berhasil menciptakan politik yang stabil dan kuat, baik di dalam kerajaan Inggris serta di mata negara Eropa lainnya. Sosok satu ini juga dikenang menciptakan identitas nasional yang hingga kini dikenang oleh Negara Inggris.
Dari sosok ini, kita bisa meyakini bahwa warisan kepada dunia ini tidak hanya tentang warisan biologis yaitu garis keturunan anak, tetapi apakah hidupmu sudah memberikan dampak positif serta warisan indah lainnya yang akan dikenang dan dicatat oleh sejarah? Saya yakin ini jauh lebih bermakna dari sekedar catatan warisan biologis yang tertera di Kartu Keluarga.
Terlepas dari childfree yang dikaitkan dengan isu agama, overpopulasi dunia, kegagalan parenting, masa tua yang terkesan lebih suram – yang akan sangat panjang jika diperdebatkan dalam artikel ini, kita tentunya harus sepakat bahwa childfree adalah sebuah keputusan, serta kebebasan wanita dalam mengambil hak istimewa - privilege serta hak prerogatif, yang seharusnya tidak bisa diintervensi dan harus dihormati oleh siapapun. Ini adalah pilihan bagi kaum wanita untuk meninggalkan warisan biologis atau warisan lainnya yang jauh lebih berdampak positif bagi dunia ini.
With, or without children, let your light shine. Be source of love, strength and courage.