Islam dan Politik: Antara Muawiyah, Abul Abbas, dan Niccolo Machiavelli

profile picture Izulumam

Islam dan politik

Seorang ilmuan di masa sekarang kerap kali meneliti satu permasalahan secara mendalam. Sebut saja Neil Bhor yang dengan teorinya mampu menggambarkan komposisi yang terdapat dalam atom. Tentu saja hal tersebut merupakan penemuan fenomenal dan berdampak besar bagi kehidupan manusia. Penelitian tersebut kemudian dilanjutkan oleh beberapa ilmuan yang sampai saat ini memberi banyak dampak positif kepada umat manusia. Penelitian yang dilakukan hingga ranah terdalam terlihat seperti bukan suatu permasalahan. Namun apabila ditilik lebih dalam, terdapat suatu kesalahan seorang dalam mengikuti derasnya perkembangan ilmu pengetahuan. 

Tergeneralisir. Mungkin satu kata yang tepat dalam menggambarkan sisi lain dari laju ilmu pengetahuan yang sangat cepat. Terkadang seorang mempelajari satu disiplin ilmu, namun lupa dengan disiplin ilmu yang lain dan kemudian berfikiran bahwa ilmu yang dia pelajari tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu lain yang ada. Hal inilah yang menjadi suatu permasalahan manusia di zaman sekarang. 

Sebagai contoh permasalahan yang ingin dibahas dalam artikel kali ini, antara politik dan Islam. Betapa banyak ulama di kalangan umat islam yang tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap dunia perpolitikan, mereka beranggapan bahwa Islam, bukanlah agama yang mendorong umatnya untuk berpolitik bahkan memahami politik. Islam hanyalah sebatas tentang ritual agama belaka. 

Daihuddin Rais dalam bukunya an-Nazhariyatu as-Siyasatu al-Islamiyyah menyebutkan bahwa Rasullah Saw. selama hidupnya menerapkan pondasi-pondasi politik. Apabila diukur dengan keadaan zaman sekarang, karakter politik Rasulullah Saw. dapat disandingkan dengan politik par excellence  dengan motif agama dan kesuksesan rohani sebagai tujuan utama. 

Lantas bagaimana dengan mereka yang kekeh mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan politik? Biarlah catatan sejarah yang menjawab pertanyaan tersebut.

Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abul Abbas as-Saffah, pendiri dua dinasti pertama dalam peradaban Islam serta kaitannya dengan Niccolo Machiavelli

Bagi mereka yang begelut dalam dunia sejarah abad pertengahan Islam, dua nama diatas tentu tidak asing. Muawiyyah, seorang sahabat Nabi, penulis wahyu dan sang pendiri dinasti Umayyah serta Abul Abbas, keturunan paman Nabi sang pendiri dinasti Abbasiyah. Terlepas dari pro-kontra antar pendapat yang ditujukan kepada dua tokoh diatas, harus diakui bahwa ‘permainan politik’ yang dilakukan oleh mereka patut diacungi jempol. Berkat pondasi yang ditinggalkan keduanya, keturunan berikutnya mampu menjadi penguasa adidaya di muka bumi bertahun-tahun lamanya. 97 tahun bagi dinasti Umayyah dan 524 tahun bagi dinasti Abbasiyah. 

Strategi politik luar biasa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang mereka praktekkan dengan pengetahuan akan teori politik, sebab di zaman tersebut teori-teori politik belum dikonsepkan apalagi dibukukan. Mungkin asusmsi yang tepat dalam tindakan mereka adalah mereka mencotoh para pendahulu sebelumnya yang meliputi raja-raja terdahulu dari cerita yang diriwayatkan oleh para al-Akhbari. Namun apabila dilihat dari pandangan yang lebih luas, beberapa tindakan yang mereka lakukan sebagai pendiri dinasti adidaya sesuai dengan apa yang terkonsep dalam buku The Prince oleh tokoh politik zaman renaisans, Niccolo Machiavelli.

Teori politik Machiavelli yang tertuang dalam buku The Prince sebenarnya merupakan nasihat Machiavelli kepada Lorenzo The Magnificent dari keluarga Medici yang baru saja mengembalikan kekuasaan keluarga Medici. Sebelumnya kekuasaan mereka direbut oleh pihak yang tidak suka dengan kekuasaan keluarga tersebut. Nasihat yang diutarakan oleh Machiavelli sangat cocok bagi mereka yang ingin meletakkan pondasi kuat kekuasaan agar eksistensi kekuasaan mereka dapat bertahan lama sekaligus menjadi poros kekuasaan yang ditakuti serta disegani.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Muawiyah dan Abul Abbas as-Saffah merupakan dua pendiri dinasti adidaya pada zamannya. Negara yang mereka bangun dikemudian hari sangat luas kekuasaannya dan disegani oleh para musuhnya. Bahkan diceritakan bahwa kekaisaran romawi tidak mampu menandingi kekuatan mereka bahkan disaat mereka mengalami konflik internal sekalipun. 

Kekuatan yang dimiliki oleh dua dinasti besar tersebut tentu bukan merupakan suatu kebetulan belaka. Meskipun terdapat campur tangan ilahi di dalamnya, strategi dan taktik politik yang mereka jalankan berperan besar dan sangat ‘ampuh’ dalam membangun pondasi kekuasaan untuk jangka waktu yang sangat lama. Dan tentu saja, beberapa tindakan yang mereka lakukan sesuai dengan teori politik usungan Niccolo Machiavelli. 

Sebut saja tentang teori “menggunakan cara yang licik demi mendapatkan kekuasaan” Muawiyah bin Abi Sufyan dalam mendapatkan kekuasaan melakukan hal tersebut. Dalam peristiwa tahkim, Amr bin Ash selaku perwakilan dari Muawiyah mengelabui Abu Musa al-Asyari, perwakilan dari pihak Ali Ra. Sebelumnya mereka sepakat untuk menurunkan Ali Ra. dan Muawiyah dari jabatan khalifah dan kemudian menyerahkan sepenuhnya urusan kepada masyarakat. Abu Musa maju pertama kali dan melakukan hal tersebut, namun tidak begitu dengan Amr bin Ash. Beliau maju dihadapan masyarakat dan menurunkan Ali dari jabatan Khalifah tapi tidak dengan Muawiyah. Dia menetapkan bahwa muawiyah sah diangkat menjadi khalifah. Akibatnya satu-satunya khalifah yang tersisa adalah Muawiyah dan bukan Ali. 

Contoh lain terdapat pada sifatnya yang kekeh untuk menetapkan Yazid, anaknya sebagai penerus kekhalifahan meskipun terdapat banyak sahabat Nabi Saw. yang lebih berkompeten dari Yazid. Diceritakan bahwa pada musim haji di tahun 51 H, Muawiyah membawa anaknya menemui para sahabat untuk memberi baiat untuk Yazid sebagai penerus kekhalifahan. Diantara mereka yaitu Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan Abdurrahman bin Abi Bakar. Kemudian para sahabat menolak untuk memberi baiat kepada Yazid. Namun di akhir cerita Muawiyah berkata kepada khalayak umum bahwa ketiga sahabat diatas memberi baiat kepada Yazid lantas masyarakat mengikutinya. Bukankah hal tersebut merupakan suatu tindak kelicikan?

Kemudian tentang teori “Apabila seseorang baru merebut kekuasaan, maka wajib baginya untuk menumpas habis semua keluarga penguasa keluarga pendahulu”. as-Suyuthi menyebut dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa bahwa Abul Abbas as-Saffah sejak sebelum menjabat menjadi khalifah dan setelahnya senantiasa menumbangkan darah keluarga Umayyah. Kisah lebih jelasnya diceritakan oleh Faraq Fauda dalam bukunya al-Haqiqah al-Ghaibah. Beliau mengakakan bahwa di suatu hari Abul Abbas as-Saffah mengundang 90 orang dari keluarga Umayyah. Namun setelah jamuan tersebut Abul Abbas as-Saffah membunuh semua orang yang hadir dari kalangan keluarga Umayyah akibat terprovokasi sebuah syair yang isinya tidak membolehkan sisa-sisa keluarga Umayyah hidup.

Lebih kejam lagi, Abul Abbas as-Saffah setelah meraih kekuasaan bertindak cepat dalam memberi rasa takut kepada lawan politiknya. Dia bersama pasukannya membongkar kuburan para penguasa dinasti Umayyah terdahulu. Mulai dari Muwiyah, Yazid, Abul Malik, dan lain sebagainya. Namun mereka tidak menemukan mayat yang utuh kecuali pada kuburan Hisyam bin Abdul Malik. Kemudian mayat Hisyam didera, disalib, dan kemudian dibakar.

Tentu saja perilaku tersebut sangat bertentangan sifat-sifat keislaman. namun apabila dilihat dari kacamata politik, perilaku tersebut dapat dikatakan sangat luar biasa. Sebab dengan tidak adanya lawan politik yang tersisa, maka dapat dipastikan, kekuasaan sang penguasa tidak mendapat gangguan dari pihak luar yang nantinya ditakutkan menggoyahkan sendi sendi pemerintahan yang dibangunnya. Pun walau ada yang tersisa, mereka akan segan merebut kembali kekuasaan yang sebelumnya dirampas oleh as-Saffah.

Kemudian tentang kata yang sangat terkenal dari Niccolo Machiavelli “sebaiknya seorang penguasa harus ditakuti dan dicintai, namun apabila harus memilih maka jadilah seorang penguasa yang ditakuti daripada harus menjadi penguasa yang dicintai”. Abul Abbas as-Saffah dengan segala kredibilitasnya mampu menjadi seorang penguasa yang dicintai sekaligus disegani oleh masyarakatnya. Muhammad al-Khudari dalam bukunya ad-Daulah al-Abbasiyah menyebutkan bahwa Abul Abbas as-Saffah sangat dicintai oleh masyarakatnya sebab tidak ada janji yang terucap darinya kecuali akan terpenuhi.

Kemudian tentang masalah ditakuti, cerminan kebengisan Abul Abbas as-Saffah tergambar pada perilaku yang disebut sebelumnya dan juga dalam pidato pengangkatannya. “Wahai penduduk Kufah, kalian merupakan tempat berlabuh dan tempat kami menaruh kasih serta sayang. Janganlah kalian melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kami, dan jangan pula kalian terprovokasi dengan para pembangkang. Kalian adalah orang paling bahagia dan paling mulia dihadapan kami, oleh karenanya kami memberikan jaminan keamanan penuh serta harta bagi kalian. Persiapkanlah diri kalian untuk hal itu wahai penduduk Kufah, sebab saya adalah as-Saffah al-Mubir (sang pembalas dendam yang memenuhi tekadnya)”

Islam, politik dan kisah mereka. Apa hubungannya?

Kembali lagi ke pembahasan utama mengenai hubungan Islam dan politik dengan berkaca pada kisah mereka. Sebagaimana yang dikatakan sebelumnya Rasulullah Saw. menerapkan sistem perpolitikan manakala menjalankan dakwah agama Islam, begitu juga dengan para penerusnya walaupun dengan cara yang berbeda. Rasulullah dengan politik par excellence serta Muawiyah dan Abul Abbas dengan sistem monarki yang mirip dengan praktek teori politik Machiavelli. 

Sedikit meminjam logika Michael H. Hart dalam bukunya The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in History seandainya Muawiyah dan Abul Abbas as-Saffah tidak menggunakan taktik dan strategi politik yang mereka yakini di awal masa pemerintahan mereka, mungkin saja Islam tidak akan sekuat seperti apa yang kita lihat sekarang. Mungkin saja ada maksud lain pada diri Muawiyah dan Abul Abbas dalam merebut kekuasaan selain memperjuangkan Islam sebab mereka bukanlah manusia yang terbebas dari dosa. Namun begitu, karena kuatnya poros pemerintahan yang mereka bentuk, proses dakwah Islam dapat berjalan dengan lancar sebab adanya kemanan yang diberikan penguasa untuk para dai. 

Andaikata mereka tidak bertindak demikian, mungkin saja tidak ada catatan tentang kuatnya angkatan maritim pasukan Umayyah.  Mungkin saja ilmu syariat dan filsafat tidak berkembang pesat sebab Islam tidak mengalami masa keemasannya sebagaimana yang dicapai dinasti Abbasiyah. Dan mungkin, Islam hanya dianut oleh para masyarakat badui Jazirah Arab yang sukar menerima perkembangan zaman.

Demikian merupakan bukti bahwa politik dan Islam sangat berkaitan, keduanya merupakan dua hal yang tidak bisa dilepaskan dalam kacamata perkembangannya. Terlepas dari baik atau buruknya strategi yang mereka terapkan, kita sebagai masyarakat Indonesia secara tidak langsung mendapat manfaat dari siasat yang dua tokoh tersebut lakukan di zamannya. Bisa dibayangkan bagaimana perkembangan dakwah jikalau pondasi pemerintahan saja tidak tertata dengan baik?

Salam hormat dari penulis yang tidak ingin menjelekkan pihak manapun. 

Daftar bacaan:

al-Khudri. Muhammad, ad-Daulah al-Abbasiyah. Terj. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Masturi Irham, Abidun Zuhri, (Jakarta: al-Kautsar 2016)

as-Syuyuti. Tarikh al-Khulafa. Terj. Tarikh al-Khulafa Sejara Para Khalifa. Muhammad Ali Nurdin. (Jakarta: Qisthi Press, 2014)

at-Thabari. Shahih Tarikh at-Thabari. Terj. Shahih Tarikh at-Thabari, Muhammad Dhiaul Haq, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011)

Fouda. Farag, al-Haqiqah al-Ghaibah. Terj. Kebenaran Yang Hilang, Novriantoni. (Jakarta: Democracy Project, 2008)

Hart. Michael H, The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in History. Terj. Ken Ndaru, M. Munirul Islam, (Jakarta: Noura, 2017)

Machiavelli, Niccolo. The Prince. Terj. The Prince Sang Penguasa, Natalia Triaji, (Surabaya: Ecosystem Publishing, 2018)

Rais. Dihauddin, an-Nazhariyatu as-Siyasatu al-Islamiyyah. Terj. Teori Politik Islam, Abdul Hayyi Kattani dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)

2 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
2
0

This statement referred from