Tersesat Flat Earth
Selain perokok, jangan pernah berdebat dengan kaum flat earth
Begitu bunyi komentar salah satu warganet di media sosial. Pesan tersebut memang bukanlah tanpa alasan. Mengingat perdebatan tiada ujung mengenai bentuk planet tempat manusia tinggal ini seringkali terjadi.
Sebagian kalangan yang percaya bahwa bumi itu datar, seakan ingin meruntuhkan teori ‘paten’ yang sudah dipercaya beratus-ratus tahun lamanya. Mereka ingin menumbangkan penemuan Aristoteles (330 SM), Phytagoras (500 SM), dan Eratosthenes (276 SM - 194 SM) yang sampai tahap mengukur jari-jari serta keliling bumi.
Pada era modern, penduduk dari Benua Amerika dan Eropa lah yang mengawali perselisihan sengit ini di tahun 2013. Berbagai konten video, secara meyakinkan memberi gambaran bentuk bumi itu tipis layaknya sepotong cookies. Salah satunya dalam seri video 16 episode bertajuk Flat Earth101. Di Tanah Air sendiri, fenomena ini baru merebak sekitar tahun 2017.
Dasar Logika Cari Realita
Sesungguhnya, konsep bumi datar bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Banyak tokoh kosmologi kuno yang menerapkan prinsip ini hingga sekitar abad keempat sebelum masehi. Hipotesis serupa di zaman modern dicetuskan oleh pria berkebangsaan Inggris, Samuel Rowbotham (1816-1884). Ia menafsirkan ayat-ayat Alkitab menjadi sebuah buku Earth Not a Globe.
Dalam pandangannya, ia memperkenalkan sistem Astronomi Zetetis, dengan uraian berupa bumi berwujud cakram datar yang berpusat di Kutub Utara. Serta dikelilingi oleh pagar es Antartika. Benda luar angkasa lainnya, seperti matahari dan bulan, hanya terpaut 4800 kilometer dari bumi. Setelahnya, Samuel Shenton membangun International Flat Earth Society sebagai penerus Universal Zetetic Society di tahun 1956.
Tak ingin disebut sebagai sosok pembuai belaka, Shenton menekankan pada alternatif ilmu pengetahuan dan teknologi dibandingkan agama. Pasca pendirian komunitas itu, ilmuwan NASA malah meluncurkan satelit buatan pertama ke atmosfer. Berbagai bukti tangkapan foto bumi melengkung nyatanya belum mampu membuat penyintas flat earth tersungkur.
Salah satunya, dugaan berawal dari rumusan hukum yang dicetuskan Newton. Setelah mengamati buah apel yang jatuh dari pohonnya, ia mengeluarkan rumus bernama gaya gravitasi. Secara sederhana, benda yang berada di bumi akan mengalami tarikan ke inti planet setelah Venus ini. Mereka para flath earther menyebut bahwa mustahil air laut tidak merembes apabila bumi berbentuk bulat.
Mereka juga memperdebatkan soal horizon alias garis cakrawala yang memisahkan bumi dari langit. Hal inilah yang hampir membuat saya murtad beralih prinsip. Melupakan pengalaman 12 tahun belajar IPA di sekolah, ditambah 4 tahun mempelajari biologi khususnya ilmu kelautan. Apa yang mereka lontarkan memang seolah-olah nampak benar adanya.
Namun, peneliti LAPAN dapat meruntuhkan kepercayaan itu, juga sama-sama menggunakan dasar teori gravitasi. Penikmat dogma bumi datar terus-menerus mengatakan foto bumi dari NASA yang beredar hanyalah efek CGI (computer generated imaginary) bahkan hoax. Ribuan satelit yang mengorbit juga mereka mantapkan hanyalah proyek khayalan. Katanya, seharusnya satelit yang tersebar bisa dilihat dari balik layar teleskop.
Mencari Akar Bumi Datar
George Orwell, seorang penulis pernah berkata, “semua propaganda perang, semua teriakan, kebohongan, dan kebencian selalu datang dari mereka yang tidak pernah ikut berperang”.
Saya begitu mengamini dengan apa yang diucapkan Orwell. Hal ini dapat dibuktikan dari terbentuknya tim Rusia vs Ukraina beberapa waktu ke belakang di Nusantara. Masyarakat kita tak pernah tahu bagaimana perasaan penduduk kedua negara tersebut. Di sisi lain, bangsa Indonesia justru berbondong-bondong membuat komunitas fans Putin. Karena serangan rudal yang ditembakkan negara adidaya tersebut merupakan sesuatu yang terlihat keren.
Bahkan topik pencarian Putin di mesin pencarian Google menjadi trending. Kata ‘Rusia’, 64% lebih banyak dicari dibandingkan ‘Ukraina’, yakni 36% pada periode 2021-2022. Bahkan kata kunci (keyword) ‘Putin’ menempati peringkat keempat pencarian teratas atau 5 ribu per 30 Mei 2022. Artinya, minat warga Indonesia terhadap Rusia relatif lebih besar.
Bukan saya bermaksud melenceng membahas Rusia dan Ukraina. Sama, perilaku tim bumi datar juga memang tak beralasan layaknya penggemar tim ‘Uraaa’. Mereka tidak melakukan trial dan error, tetapi seakan-akan menjadi yang paling mengetahui. Bukan hanya orang-orang yang putus sekolah. Banyak pula tamatan pendidikan tinggi yang bikin melongo karena tak mau ketinggalan menjadi seorang flat earther.
Adu argumen antara dua kubu bumi bulat dan bumi datar seolah tak ingin usai. Ironisnya, semua ujaran opini yang dilontarkan komunitas flat earth bermula dari kebencian. Ketidaksukaan pada NASA atau lebih tepatnya terhadap dunia Barat yang selama ini selalu mengungguli berbagai aspek kehidupan. Mulai dari ekonomi, teknologi, dan juga sains.
Tak heran, sebagian kalangan bumi rata di Indonesia juga melabeli para peneliti kebumian dengan gelar kafir. Hanya karena berbeda kepercayaan atas asas ketuhanan alias tak seiman.
Padahal, jika dirunut, apakah mereka penganut ‘bumi datar’ mampu menjawab pertanyaan dimanakah letak ujung bumi rata? Apakah bumi datar berbentuk oval, persegi, atau bentuk yang erat dengan penganut illuminati, yakni segitiga? Seandainya bumi datar, mengapa terjadi perbedaan waktu siang dan malam? Bagaimana menjelaskan proses gerhana pada bumi yang serupa cakram?
Dari silang pendapat antara bumi globe dan bumi datar, saya berani menyimpulkan. Pertama, gagalnya sistem pendidikan dalam negeri untuk menyeleraskan kemampuan nalar siswa-siswanya dengan teori sains. Hal ini terbukti dari sebanyak 7.407 pengikut akun Instagram @flat_earth_community_. Itu hanya satu dari sekian banyak akun lain yang serupa. Artinya, ragam pengetahuan galaksi yang diajarkan seakan tidak mempan bagi mereka.
Kedua, memaknai agama yang hanya setengah-setengah. Misalnya, dalam Al-Quran, kitab suci umat Islam. Para penganut bumi datar memandang kata ‘menghamparkan bumi’ sebagai bentuk bumi yang melebar dan luas (berdasarkan surah Al-Hijr ayat 19). Sedangkan dalam Al Kitab Daniel 4:11, “pohon tersebut bertambah besar, tinggi sampai ke langit, dan dapat dilihat hingga ke ujung bumi”. Mereka menafsirkan bahwa tidak mungkin pohon terlihat jika bumi tidak datar.
Ketiga, atas dasar kecemburuan terhadap lembaga-lembaga sains yang mencuri perhatian dunia. Seperti pada NASA yang selalu saja berhasil menyajikan informasi spektakuler seputar angkasa. Mereka para pengagum flat earth, kebanyakan menyatakan kebencian luar biasa terhadap organisasi Amerika Serikat itu.
Terakhir, untuk menjawab pertanyaan siapa yang terbaik, tim bumi bulat atau bumi layaknya sepotong pancake? Maka hanya satu solusinya, jadikan pengetahuan sebagai modal beragumen. Jangan hanya karena sebatas ikut-ikutan tren yang menjerumuskan. Atau Anda ingin nasibnya berakhir seperti Mike ‘Mad’ Hughes bersama roketnya?