Sati: Ritual Pengorbanan Janda di India Kuno, Tradisi atau Penindasan?
Sati adalah salah satu ritual paling kontroversial dalam sejarah India. Dalam praktik ini, seorang janda akan membakar dirinya sendiri di atas tumpukan kayu pemakaman suaminya sebagai bentuk kesetiaan dan pengabdian terakhir.
Bagi sebagian orang, Sati dianggap sebagai tindakan mulia dan sakral. Namun, bagi banyak orang lain, Sati adalah bentuk penindasan terhadap perempuan yang mengakar dalam sistem patriarki. Praktik ini telah dilarang sejak abad ke-19, tetapi masih menyisakan jejak dalam budaya India hingga saat ini.
Bagaimana sebenarnya asal usul ritual ini? Apakah benar semua janda harus melakukannya? Dan kapan praktik ini benar-benar berakhir, termasuk di Indonesia? Mari kita telusuri lebih dalam.
1. Asal Usul Praktik Sati
Kata "Sati" berasal dari nama dewi dalam mitologi Hindu, yaitu Dewi Sati, istri Dewa Siwa. Menurut legenda:
- Dewi Sati merasa terhina setelah ayahnya, Raja Daksha, tidak menghormati Dewa Siwa.
- Sebagai bentuk protes, Sati membakar dirinya sendiri dalam api suci.
- Dewa Siwa yang marah kemudian membawa tubuh Sati dan melakukan tarian kehancuran (Tandava).
Legenda ini berkembang menjadi konsep bahwa seorang istri yang setia seharusnya ikut mati bersama suaminya. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa praktik ini mulai dikenal pada periode Gupta (abad ke-4 hingga ke-6 Masehi) dan semakin meningkat dalam periode Rajput dan Mughal.
Awalnya, Sati dilakukan secara sukarela oleh para istri bangsawan untuk mempertahankan kehormatan suami mereka, terutama setelah perang. Namun, seiring waktu, praktik ini berubah menjadi kewajiban sosial yang sering dipaksakan kepada janda, terutama dalam kasta tinggi.

2. Jenis Praktik Sati dalam Budaya Hindu yang Paling Mengenaskan
Tidak semua praktik Sati dilakukan dengan cara yang sama. Beberapa metode yang paling mengenaskan termasuk:
1. Janda Dibakar Hidup-hidup di Tumpukan Kayu Pemakaman
- Ini adalah bentuk Sati yang paling umum.
- Janda duduk atau berbaring di atas jenazah suaminya sebelum api dinyalakan.
- Kadang-kadang, janda diikat agar tidak melarikan diri saat api mulai membakar.
2. Janda Melompat ke dalam Api Sendiri
- Dalam beberapa kasus, janda melompat ke dalam tungku kremasi suaminya.
- Ini dianggap sebagai bentuk pengorbanan "sukarela," meskipun tekanan sosial membuatnya sulit untuk ditolak.
3. Janda Dicekik atau Diberi Racun Sebelum Dibakar
- Jika janda menolak untuk melakukan Sati, beberapa komunitas akan membunuhnya terlebih dahulu sebelum membakar tubuhnya.
- Ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan bahwa janda akan mencoba melarikan diri.
4. Janda Ditenggelamkan sebagai Alternatif Sati
- Dalam beberapa kasus, jika pembakaran tidak memungkinkan, janda akan ditenggelamkan di sungai suci seperti Gangga.
- Ini dianggap sebagai "pembersihan jiwa" sebelum bertemu dengan suaminya di kehidupan setelah mati.
Praktik ini sangat mengerikan, terutama karena banyak janda yang tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti tradisi ini demi menjaga kehormatan keluarganya.
3. Siapa yang Terbebas dari Praktik Sati?
Meskipun praktik Sati sering dianggap sebagai kewajiban bagi janda, tidak semua janda diharuskan melakukannya. Ada beberapa kelompok yang terbebas dari kewajiban ini:
1. Janda yang Sedang Hamil
- Jika seorang janda sedang mengandung, dalam beberapa kasus dia dibebaskan dari Sati agar anaknya bisa lahir.
2. Janda dari Kasta Rendah
- Sati lebih umum terjadi di kasta Brahmana (pendeta) dan Kshatriya (prajurit/bangsawan).
- Wanita dari kasta Sudra (pekerja) dan Dalit (kelas paling rendah) jarang mengalami tekanan untuk melakukan Sati.
3. Janda yang Memiliki Anak Laki-laki
- Jika seorang janda memiliki anak laki-laki dewasa, dia lebih mungkin dibiarkan hidup karena anaknya dianggap sebagai penerus keluarga.
4. Janda yang Kabur atau Dilindungi
- Beberapa janda berhasil melarikan diri sebelum upacara Sati dilakukan.
- Ada juga keluarga yang menolak mengikuti tradisi ini dan melindungi janda dari pemaksaan.
Meskipun beberapa janda bisa menghindari Sati, banyak dari mereka yang tetap dipaksa karena tekanan sosial dan budaya yang kuat.

4. Kronologi Pelarangan Praktik Sati di India
Meskipun Sati sudah dianggap tidak manusiawi sejak lama, praktik ini baru secara resmi dilarang setelah perjuangan panjang. Berikut adalah beberapa tonggak penting dalam pelarangan Sati di India:
- Abad ke-16: Kaisar Mughal Akbar mencoba melarang Sati, tetapi gagal karena penolakan dari para Brahmana.
- Abad ke-18: Kolonial Inggris mulai mencatat kasus Sati dan menganggapnya sebagai praktik yang harus dihapus.
- 1829: Gubernur Jenderal Lord William Bentinck mengeluarkan hukum resmi yang melarang Sati di seluruh India Britania.
- 1987: India mengeluarkan Undang-Undang Pencegahan Sati, yang memberikan hukuman berat bagi siapa pun yang memaksa atau mendukung praktik ini.
Meskipun sudah dilarang, ada beberapa kasus Sati yang masih terjadi hingga abad ke-20, terutama di daerah pedesaan dengan kepercayaan kuat terhadap tradisi.
5. Praktik Sati di Indonesia dan Kapan Diakhiri?
Meskipun Sati lebih dikenal sebagai tradisi India, praktik serupa juga pernah terjadi di Indonesia, terutama di kalangan kerajaan Hindu di Bali dan Jawa.
Sati dalam Budaya Indonesia
- Di Bali, praktik ini dikenal sebagai Mesatya, yang berarti "kesetiaan terakhir seorang istri".
- Istri seorang raja atau bangsawan akan membakar dirinya sendiri saat suaminya meninggal sebagai tanda kesetiaan.
- Dalam beberapa kasus, selir dan pelayan juga ikut dikorbankan bersama raja.
Kapan Praktik Ini Berhenti?
- Praktik ini mulai berkurang seiring dengan masuknya Islam dan kolonialisme Belanda.
- Pada abad ke-19, Belanda secara resmi melarang praktik Mesatya di Bali, meskipun beberapa kasus masih terdokumentasi dalam catatan sejarah.
Hari ini, Mesatya sudah sepenuhnya ditinggalkan, tetapi tetap menjadi bagian dari sejarah dan budaya Hindu di Indonesia.

Kesimpulan
- Sati adalah praktik mengerikan yang berkembang dalam budaya Hindu sebagai bentuk "kesetiaan istri kepada suami".
- Janda dari kasta tinggi paling sering dipaksa melakukan Sati, sementara beberapa kelompok sosial lainnya terbebas.
- Praktik ini dilarang pada tahun 1829 oleh Inggris dan sepenuhnya dihentikan pada 1987 oleh pemerintah India.
- Di Indonesia, praktik serupa bernama Mesatya juga pernah terjadi di Bali dan akhirnya dilarang oleh kolonial Belanda.
Saat ini, meskipun Sati telah menjadi bagian dari sejarah, praktik ini masih menjadi simbol perjuangan melawan patriarki dan kebebasan perempuan di India dan dunia.
Bagaimana menurut kita? Apakah Sati benar-benar warisan budaya, ataukah bentuk penindasan yang harus dihapuskan selamanya?