MENEMUKAN EKSISTENSI ‘ILAHI’ DALAM BUDAYA LAMAHOLOT[1]; Sebuah Refleksi Filosofis-Teologis
Pengantar
Manusia disebut sebagai “homo religious”, mahkluk beragama. Sebagai mahkluk beragama, manusia sejak awal mula mempunyai keterarahan kepada Yang Ilahi[2]. Keterarahan kepada Yang Ilahi itu lahir dari pengalaman manusia akan suatu realita kekuatan adikodrati. Pengalaman itu menggerakan manusia untuk mengarahkan dirinya dengan mengambil sikap menyembah kepada kekuatan adikodrati tersebut melalui ritual-ritual keagamaan. Dalam ritual-ritual keagaaman peran simbol-simbol, baik lewat kata-kata khususnya penyebutan untuk sosok Yang Ilahi, ungkapan-ungkapan terkhususnya doa-doa, tata gerak, sajian-sajiaan, dan lain-lain, dapat membantu manusia untuk menghayati kehadiran Yang Ilahi di tengah-tengah mereka.
Masayarakat suku Lamaholot sejak dahulu kala sudah menyadari adanya sosok supernatural atau adikodrati, Yang Ilahi, dalam hidup mereka. Dalam hidup harian, masyarakat Lamaholot yakin bahwa sosok Yang Ilahi selalu menyertai perjalanan sejarah hidup mereka. Kesadaran itulah yang melahirkan sikap ‘menyembah’ yang terungkap dalam ritual-ritual keagamaan serta simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan kehadiran Yang Ilahi. Karena itu dalam artikel ini penulis akan berusaha untuk menjelaskan beberapa gejala atau unsur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat Lamaholot akan Yang Ilahi. Sebagai catatan bahwa tulisan ini bukan untuk mau mempromosikan atau merendahkan budaya tertentu. Tulisan ini bermaksud mengajak kita semua untuk melihat kehidupan manusia zaman dahalu dalam kaitannya dengan Yang Ilahi atau Tuhan. Maka harapannya tulisan ini dilihat dari sudut pandang filsafat agama.
Isi
Masyarakat Lamaholot meyakini adanya eksistensi Yang Ilahi. Keyakinanan itu hadir dalam gejala-gejala atau unsur-unsur yang berkaitan dengan hal-hal rohani/ilahi dalam agama budaya Lamaholot. Berikut beberapa gejala atau unsur yang membuktikan eksistensi Yang Ilahi dalam sistem kepercayaan Lamaholot.
- “Korke”: Rumah Kudus
Dalam kepercayaan Lamaholot alam raya beserta isinya memiliki roh.[3] Roh-roh tersebut mendiami setiap benda. Dari semua roh, masyarakat Lamaholot meyakini bahwa ada satu roh yang memiliki kekuatan paling tinggi. Roh tersebut merupakan Wujud Tertinggi yang diyakini sebagai pencipta langit dan bumi. Semua mahkluk di alam raya ini adalah ciptaannya. Karena itu semuanya tunduk dan taat pada perintahnya.
Roh yang diyakini sebagai Wujud Tertinggi dalam agama Lamaholot disebut sebagai Rera Wulan-Tanah Ekan.[4] Secara etimologis kata Rera Wulan-Tanah Ekan berarti matahari-bulan-bumi/alam. Dengan menyebut Rera Wulan-Tanah Ekan masyarakat Lamaholot mau mengungkapkan bahwa alam raya ini memiliki kekuatan. Kekuatan alam raya ini melampaui kekuatan manusia. Sosok yang diyakini memiliki kekutan supernatural, yang menciptakan langit dan bumi beserta seluruh isinya, dan yang mengendalikan semua dinamika kehidupan di alam raya, tidak dapat dialami secara langsung. Sosok atau Wujud Tertinggi tidak dapat didefinisikan oleh masyarakat Lamaholot. Karena itu masyarakat Lamaholot hanya dapat mengungkapkan Wujud Tertinggi dalam agamanya sebagai sosok Rera Wulan-Tanah Ekan.
Artinya bahwa allah orang Lamaholot itu sangat tinggi kedudukan, pengetahuan dan sebagainya. Dia berada di langit dan seperti matahari allah memberikan penerang dan memberi semngat kehidupan kepada seluruh mahkluk, khususnya manusia. Dia tidak hanya menguasai siang tapi juga malam. Rera-Wulan mau mengungkapkan bahwa dialah penguasa siang (rera = matahari) dan juga penguasa malam (wulan = bulan). Sekalipun sosok tertinggi itu bersifat transenden (rera-wulan) namun ia juga dapat dialami di bumi atau bersifat imanen. Kehadirannya itu diungkapkan melalui kata tanah ekan. Dengan demikian dalam sistem kepercayaan Lamaholot, wujud tertinggi yang memiliki kekuatan supernatural itu berada di tempat yang tinggi, yang tak dapat dialami secara indrawi tapi ia hadir di tengah-tengah seluruh masyarakat Lamaholot untuk memberikan kehidupan dan mengendalikan kehidupan masyarakat Lamaholot.
Wujud tertinggi yang jauh namun dekat. Begitulah kesimpulan sederhananya. Kedekatan antara pencipta dan ciptaan itu membuat masyarakat Lamaholot sangat menaruh hormat kepadanya dalam bentuh sesembahan. Karena merasa sangat dekat maka, atas petunjuk Rera Wulan-Tanah Ekan, didirikan rumah kediaman baginya. Rumah kediaman Rera Wulan-Tanah Ekan dalam bahasa Lamaholot disebut korké[5]. Masyarakat Lamaholot sangat meyakini bahwa dalam korké, Rera Wulan-Tanah Ekan hadir. Ia yang jauh kini berada di tengah-tengah ciptaannya.
Sadar akan kehadiran Rera Wulan-Tanah Ekan, masyarakat sangat menghormati korké. Rumah korké menjadi rumah kudus. Masyarakat menjadikannya sebagai rumah kudus karena di dalam rumah ini, korké, Sang pencipta yang kudus hadir. Kehadiran Rera Wulan-Tanah Ekan sendirilah yang menguduskan korké, bukan semata-mata dikuduskan oleh pihak masyarakat setempat. Maka tidak boleh sembarang orang yang masuk dalam korké, kecuali orang-orang khusus seperti molang (orang yang memiliki kekutan khusus untuk berkomunikasi dengan Rera Wulan-Tanah Ekan. Dialah sebagai pengantara yang mempersembahkan kurban serta sebagai dukun), dan kepala-kepala suku. Setiap orang yang lewat harus memberi hormat kepada korké. Tidak boleh ada kata-kata kotor yang keluar saat berada di dekat korké, apalagi kata-kata sumpah, mengolok atau memaki korké.
Rumah kudus, korké, mesti diberi penghormatan khusus. Bentuk penghormatannya diungkapkan dalam bentuk mempersembahkan kurban. Pada zaman dahulu, sebelum Kekristenan masuk, untuk mendirikan sebuah korké harus dipersembahkan adalah sebuah kepala manusia yang baru dibunuh.[6] Kepala manusia dipakai sebagai dasar di bawah tiang utama korké. Dalam perjalanan, setelah kekeristenan masuk bahan persembahannya diganti dengan kambing. Meski bahan persembahannya diganti, namun pada intinya mesti ada kurban persembahan, suasana kampung harus sunyi dan tenang. Jika dalam pembangunan korké tidak ada kurban atau tidak ada suasana hening dan tenang maka Rera Wulan-Tanah Ekan akan marah dan kemarahan itu diungkapkan melalui bencana alam dan penyakit bahkan kematian. Jika pembangunan korké tidak sesuai dengan perintah Rera Wulan-Tanah Ekan maka akan dituntut kurban nyawa untuk menebus kesalahan dalam pembangunan tersebut.
Korké, sebagai tempat kediaman Rera Wulan-Tanah Ekan- rumah kudus, menjadi tempat pertemuan para kepala-kepala suku dan molang. Pertemuan itu terjadi ketika hendak melakukan perang, ada penyakit atau bencana alam yang melanda kampung, dan urusan-urusan keagamaan lainnya. Pertemuan dilakukan dalam korké karena ketika pertemuan Rera Wulan-Tanah Ekan hadir beserta mereka. Maka dalam pertemuan itu mereka, melalui molang, mereka memohon kekuatan Rera Wulan-Tanah Ekan menyertai mereka. Dalam pertemuan ini semua warga sekampung harus menciptakan suasana hening dan tenang karena Rera Wulan-Tanah Ekan sedang hadir dan berbicara bersama para kepala-kepala suku.
Berikut salah satu contoh doa yang diucapkan seorang molang ketika para kepala-kepala suku berada dalam korké. Ketika mereka, para ketua-ketua suku dan molang, masuk dalam korke semua warga menciptakan suasana hening, tanpa ada bunyi-bunyian. Setelah itu mereka duduk melingkar lalu sang molang menyembelih kambing atau babi di nubanara lalu darahnya direciki di nubanara dan dalam korke. Setelah itu mereka melakukan ritus bau lolon (memberi makan dan minum kepada Rera Wulan-Tanah Ekan dan roh para leluhur. Sambil melakukan ritual bau lolon, molang molang mengucapkan doa berikut dengan berbisik-bisik dan cepat:
Lera Wulan lodo hau tobo nobo, Tanah Ekan gere haka, pae nela lodo hau suleng nubung, gere haka terang baran nubun lega rae lewo, baran nolen rae tanah. (Datanglah Lera Wulan duduklah di anjung batu, hadirlah Tanah Ekan tempatilah kayu sandinganmu, datanglah memperhatikan semua anak, hadirlah kemari menilik segenap anak cucuk yang menghuni lewo tana[7]). Lera Wulan tobo tukan Tana Ekan pae bawan, tobo modi gating pati pae modi holing béda, géré gating téti koten, lodo hola lali liman, pati béra tupa nuso béda géré gowa katang. (Lera Wulan yang duduk di tengah Tanah Ekan yang mengapiti mengayomi, berilah semangat kepada anak-anak muda, berilah gairah kepada para perjaka, semangatilah kepalanya serta tangannya, agar segera turun ke medan perang, serta segera menyulut perjuangan. Inak pia kebarek béle, ama pia tenobo tua tobo pia puan tukan paé pia moting lolong, malu nala leta tonga mara nala héréng gelé, béra-béra penung kébang, béra-béra boran arang, éhing béra taku kébang, waing béra dokang arang. (Ibu yang semakin tua dan bapa yang duduk dalam renta, yang menduduki pilar utama dan menempati tempat tinggi, yang meminta karena kelaparan dan memohon karena dahaga, maka segera penuhilah lumbung dan timbunkan kelimpahan dalam pondok, panen segera mengisi lumbung, kelimpahan segera memadati pondok). Koté naén to lodo, wuli naén nadong géré, joné naén suka dike, matik naén radang saré, suka dike noon nubun, radang saré noon baran, nubun ola nala éhing, barang herén nala waing, nubung aja nala béle, barang baga nala ba. (Kepalanya mengangguk merestui, lehernya mengangguk setuju agar dapat membesarkan hati dan meliputi sukma dengan sukaria, kebesaran hati bagi purtaku dan sukaria bagi anak-anakku, kiranya jeri payah puteraku membawa hasil dan sadapan anak cucuku kelimpahan agar mereka menjadi banyak dan bertumbuh menjadi besar.
2. “Nubanara”: Batu Persembahan
Nubanara adalah satu onggokan batu-batu kecil, sebesaran kepalan tangan (ada juga berupa bongkahan batu besar), bentuknya bundar dan licin, diletakan di tengah-tengah pelataran tempat orang-orang menari dan membawakan persembahan (naming).[8] Biasanya nubanara diletakan di depan korké. (Tapi di beberapa tempat di Lamaholot ditemukan batu nubanara dalam ukuran besar dan terletak di dalam hutan suci/kramat dan berada di luar di setiap penjuru kampung). Jadi korké, nubanara dan namang merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebab pusat ritual keagamaan Lamaholot terjadi di ketiga tempat ini.
Secara etimologis kata nubanara terdiri dari dua kata, yakni nuba dan nara. Nuba berarti timbul, berkembang, subur. Nara berarti anggota, sekutu, keturunan, anak.[9] Namun ada juga mengatakan bahwa nubanara berasal dari kata “nubun nela”[10]yang berarti tempat duduk. Nubanara merupakan tempat duduk bagi Lera Wulan-Tanah Ekan. Sosok Lera Wulan-Tanah Ekan yang jauh hadir juga di tengah-tengah masyarakat Lamaholot. Selain ia hadir dalam rumah kudusnya, Rera Wulan-Tanah Ekan juga hadir dalam nubanara. Di batu nubanara, Rera Wulan-Tanah Ekan duduk. Karena itu dari nubanaralah Lera Wulan-Tanah Ekan menciptakan (melahirkan) kehidupan, menjaga dan melindungi orang Lamaholot dari berbagai penyakit, sakit, bencana alam dan kematian. Kehadiran Lera Wulan-Tanah Ekan dalam nubanara turut menyucikan batu nubanara.
Dalam ritual keagamaan Lamaholot batu nubanara mempunyai kedudukan yang sangat penting, khususnya dalam hal mempersembahkan kurban. Batu nubanara diyakini memiliki kekuatan karena menjadi tmpat duduk bagi Lera Wulan-Tanah Ekan. Masyarakat Lamaholot meyakini bahwa ketika dipersembahkan kurban di atas nubanara dan diikuti permohonan-permohonan maka nubanara akan menjawab permohonan kita. Tentunya yang menjawab bukanlah nubanara melainkan Rera Wulan-Tanah Ekan. Ketika hendak berperang, setelah berkumpul dalam korké, para prajurit akan mengelilingi nubanara dan diadakan ritual kurban berupa darah kambing atau babi, hati kambing atau babi, dan juga gading kecil, yang dipimpin oleh seorang molang. Sedangkan nubanara yang berada di dalam hutan menjadi pelindung hutan tersebut dan nubanara yang berada di setiap penjuru kampung berfungsi sebagai pelindung kampung. Di atas batu nubanara ini juga dipersembahkan kurban kepada Lera Wulan-Tanah Ekan. Upacara di nubanara juga dilakukan ketika para prajurit mengaglami kemenangan dalam berperang, ketika sesorang atau kampung tersebut diserang penyakit atau bencana alam. Selain itu ritual kurban di atas batu nubanara juga berfungsi untuk mendamaikan hubungan antara Rera Wulan-Tanah Ekan dengan masyarakat Lamaholot akibat pelanggaran terhadap kesucian nubanara atau kesalahan-kesalahan lainnya.
Sebagai tempat persembahan, nubanara merupakan tempat suci kedua setelah korké. Karena merupakan tempat suci, tidak sembarang orang menyentuh batu nubanara. Orang juga tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor atau mengolok-olok nubanara atau bersikap yang tidak sopan di sekitar nubanara. Apabila ada orang melanggar perintah dari Lera Wulan-Tanah Ekan dengan menyentuh, berkata tidak sopan di depan nubanara akan mendapat kutukan dari Lera Wulan-Tanah Ekan berupa penyakit atau juga kematian. Hal ini terjadi karena dianggap tidak menghormati kesucian nubanara.
Berikut doa yang diucapkan saat para prajurit hendak pergi berperang.[11] Biasanya hewan kurban/persembahan di sembelih di atas batu nubanara. Darahnya dibiarkan membasahi batu nubanara. Lalu dipersembahkan juga dipersembahkan gading kecil kepada nubanara. Saat menyembelih, sang molang akan membacakan doa berikut dalam suara berbisik dan cepat:
Ina ama bapa nene nepa goé pana kai seba wulung koli haéka, moé molo goé dore. (Ibu bapa serta nenek moyang, sekarang saya pergi mencari rezeki berupa sayuran dan bahan makanan (membunuh musuh), berjalanlah di depanku dan saya mengikutimu. Béto mio di géng, kamé juga mekan, tekan bohu ténu seba uli kaé! (kelak kamu makan kami juga makan, makan hingga kenyang dan terpuaskan sebagaimana sediakala!).
3. Bumi: ibu kehidupan
Masyarakat Lamaholot meyakini bahwa bumi memiliki roh dan merupaan mahkluk hidup. Daya kekutan bumi menghidupkan seluruh mahkluk, termasuk manusia. Bumi menumbuhkan tanaman, memberi makanan kepada tumbuhan. Ketika manusia membuka kebun, diyakini bahwa manusia sedang menelanjangi bumi, sumber kehidupan. Karena itu semak belukar yang tumbuh merupakan pakaian dari bumi. Karena menjadi sumber kehidupan bumi disebut sebagai nini atau nini dayang.[12] Dialah ibu yang memiliki kekutan untuk menghidupi.
Bumi berjenis kelamin perempuan dan suaminya adalah cakrawala. Bumi adalah ratu kehidupan sehingga disebut sebagai Tanah Ekan dan rajanya adalah Lera Wulan. Ketika dalam doa disebut Rera Wulan-Tanah Ekan mau mengungkapkan suatu pribadi yang memiliki kekutan untuk menguasai langit dan bumi. Bumi dan langit kawin dan melahirkan anak-anaknya di bumi, termasuk manusia.
Dalam bumi dudukla ina nini Tana Ekan.[13] Ina Nini Tanah Ekan duduk dan memangku bumi. Artinya bahwa penguasa bumi setiap saat menjaga dan merawat kehidupan di bumi. Jika penguasa bumi, Tana Ekan, melihat bumi semakin berat karena banyaknya manusia dan dosa-dosanya maka akan mengerakan bumi sehingga terjadilah gempa bumi yang dahsyat. Kekutan ibu bumi ina nini Tana Ekan ini bisa menghidupkan jika manusia setia pada perintah-perintah Tanah Ekan dengan mau menjaga dan merawat bumi. Kekutan ibu bumi juga dapat membinasakan jika manusia tidak mau taat dan setia pada perintah-perintah ibu bumi.
Jika gunung-gunung sedang mengeluarkan asap maka diyakini bahwa itu adalah nafas bumi.[14] Penguasa bumi sedang memasak makanan mereka sehingga asap keluar melalui gunung-gunung. Ada juga meyakini bahwa para penguasa bumi sedang marah karena melihat dosa dan kesalahan umat manusia. Jika melihat gunung-gunung sedang berasap maka para kepala-kepala suku beserta molang segera melakukan sesembahan. Sesembahan itu dilakukan untuk memberi makan penguasa bumi yang ada di gunung tersebut. Persembahannya bisa berupa kambing atau babi lalu disembelih di gunung tersebut. Di sana ada batu nubanara sebagai batu perembahan. Di atas batu itulah darah hewan persembahan ditumpahkan agar penguasa bumi tidak marah. Ketika mereka mendapat persembahan itu mereka akan bahagia dan tidak mau mendatangkan malapetaka bagi seluruh bumi dan isinya. Akan tetapi jika para kepala-kepala adat dan molang tidak melakukan sesembahan maka bumi akan marah. Kemarahan bumi terjadi karena para penguasa bumi merasa tidak dihiraukan oleh warga setempat lagi. Karena itu mereka mendatangkan bencana berupa asap dari gunung yang tidak berhenti dan akan mengeluarkan api dari perutnya beserta belerang yang dapat mendatangkan kematian.
Kemarahan bumi tidak hanya melalui bencana gunung meletus. Bumi bisa marah dan mendatangkan air bah.[15] Sesungguhnya air bah tidak hanya terjadi karena kemarahan para penguasa bumi melainkan juga karena kemarahan Lera Wulan Tanah Ekan. Dia marah karena melihat dosa-dosa manusia yang semakin hari membebani bumi, ciptaannya. Maka Lera Wulan Tanah Ekan akan menjadikan bumi baru dengan membuat bumi menjadi lautan. Bukit-bukit diruntuhkan, gunung-gunung roboh, langit ikut runtuh dan awan-awan tercerai-berai. Sebelum menghancurkan bumi Lera Wulan-Tanah Ekan akan mewahyukan diri dan mengingatkan kepada molang bahwa aka nada bencana alam. Maka diminta agar molang segera mengumpulkan kayu dan membuat menjadi sebuah perahu besar.[16] Perahu itu akan menjadi rumah bagi manusia selama bumi hancur. Maka dalam perahu itu diisi dengan berbagai hewan, tumbuhan dan harta benda lainnya.
Selanjutnya Lera Wulan Tanah Ekan akan mengeringkan lagi bumi dan menumbuhkan bumi yang baru. Setelah bumi baru tumbuh maka Lera Wulan Tanah Ekan menyuruh molang untuk menerbangkan burung kukak. Burung itu terbang ke dan tidak kembali lagi. Melihat itu molang akan membuat sesembahan kurban untuk Lera Wulan-Tanah Ekan karena telah menjadikan bumi baru bagi manusia. Artinya bahawa air telah surut dan mereka dapat keluar dari perahu dan bercocok tanam di bumi yang baru. Bumi baru menjadi ibu baru yang akan melahirkan kehidupan baru.
Refleksi Pribadi
Sebagai manusia, setiap orang memiliki keterarahan kepada Yang Ilahi, bahkan seorang yang belum mengenal Tuhan sekali pun. Masyarakat Lamaholot, dari sudut pandang filsafat agama, termasuk dalam agama budaya. Meskipun masih tergolong agama budaya, mereka mengakui eksistensi Yang Ilahi, yang oleh agama wahyu disebut Tuhan atau Allah. Sosok Ilahi yang menjadi wujud tertinggi dalam sisitem kepercayaan masyarakat Lamaholot disebut “Lera Wulan Tana Ekan”. Mereka menyebut “Lera Wulan Tana Ekan” karena keterbatasan bahasa untuk melukiskan sosok Yang Ilahi yang diyakini orang Lamaholot sehingga mereka tidak sampai pada kata ‘Tuhan’.
Pengakuan akan eksistensi Yang Ilahi oleh masyarakat Lamaholot berangkat dari pengalaman harian mereka akan kekuatan supernatural melalui alam dan gejala-gejalanya. Hal ini mengajak saya untuk bermenung, apakah saya dapat menemukan sosok Yang Ilahi dalam pengalaman hidup saya sekarang. Saya mengakui bahwa zaman ini telah melumpuhkan daya reflektif manusia. Budaya instan membuat manusia tidak lagi berpikir ada apa di balik alam dan gejalanya. Manusia reflektif akan menemukan ‘ada apa’ di balik semua unsur dan gejala alam. Mereka menemukan Tuhan dan kasih-Nya dalam setiap perjalanan hidupnya, bahkan ia dapat menemukan Tuhan di setiap nafas dan detakan jantungnya.
Budaya instan hanya mengajarkan apa yang ada di alam adalah baik dan dapat dimanfaatkan. Budaya instan telah mengubah pola pikir manusia dari ‘ada apa’ menjadi ‘apa ada’. Apa ada sesuatu yang dapat dikonsumsi? Dengan demikian terciptalah manusia penikmat dan jatuh pada keserakahan. Mereka tidak lagi menemukan Tuhan dalam setiap hidupnya. Bagi manusia dewasa ini adalah sebuah kebodohan bila memikirkan ‘ada apa’. Bagi mereka yang penting ‘apa ada’ harta yang dikejar, ‘apa ada’ makanan yang harus disantap, ‘apa ada’ kedudukan yang dicari, itulah yang menjadi sumber dan tujuan hidup.
Budaya instan yang tidak disertai dengan kemampuan berefleksi menghantar manusia kepada kekeringan hidup. Mereka akan meninggalkan Tuhan karena mereka tidak lagi menemukan-Nya dalam setiap langkah hidupnya. Mereka tidak mampu melihat eksistensi di seberang sana. Eksistensi Tuhan dipertanyakan bahkan mereka jatuh dalam ateisme.
Keterbatasan bahasa untuk mengungkapkan eksistensi Yang Ilahi (Tuhan) yang dialami masyarakat Lamaholot, mengajarkan kepada saya bahwa eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan cara apa pun. Hakekat Tuhan adalah TAK TERBATAS. Ia, Tuhan, melampaui segala daya kemampuan manusia. Meskipun demikian Ia akan memperkenalkan diri kepada setiap orang yang mau membuka diri untuk-Nya. Tuhan hanya membutuhkan keterbukaan diri kita untuk mengakui eksistensi-Nya melalui pengalaman-pengalaman harian kita. Tuhan itu ada, Dia bereksistensi. Dia hanya dikenal orang yang mau terbuka pada-Nya, dan Ia tetap ada bagi orang yang menutup dirinya.
Sebagai penutup saya mengajak kita semua untuk mampu berefleksi atas setiap pengalaman hidup kita di tengah zaman yang berbudaya instan. Refleksi memampukan kita untuk melihat ‘ada apa’ di balik semua pengalaman itu; ada apa di seberang sana. Dari pengalaman itu kita akan mengamini eksistensi Tuhan. “Apakah aku dapat menemukan Tuhan dalam pengalamanku?”
CATATAN KAKI
[1] Lamaholot adalah salah satu etnis yang mendiami pulau Flores bagian timur. Etnis Lamaholot meliputi kepulauan Solor, yakni pulau Solor, pulau Adonara, daratan Larantuka (Flores bagain timur) dan pulau Lembata. Dalam pemerintahan wilayah ini termasuk dalam Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
[2] Penulis menggunakan kata ‘Yang Ilahi’ karena sistem kepercayaan orang Lamaholot termasuk dalam ‘agama budaya’ bukan ‘agama wahyu’. Dari sudut pandang filsafat agama-agam, Agama budaya artinya agama yang lahir dari inisiatif manusia akan sosok Yang Ilahi. Agama wahyu artinya agama yang lahir karena Yang Ilahi yang berinisiatif untuk mewahyukan diri kepada manusia karena itu Dia disebut Tuhan, Allah.
[3] Paul Ardnt, Falsafah dan Aktivitas Hidup Manusia di Kepulauan Solor, dalam Seri Etnologi Candraditya No. 5. Maumere: Puslit Candraditya, 2003, hlm 93-123.
[4] Paul Ardnt, Agam Asli di Kepulauan Solor, dalam Seri Etnologi Candraditya No. 4. Maumere: Puslit Candraditya, 2009, hlm. 1-45.
[5] Paul Ardnt, Agam Asli…, hlm. 119-153; 167-169.
[6] Paul Ardnt, Agam Asli…, hlm. 125.
[7] Lewo tanah diartikan sebagai kampung halaman. Lewo tanah diyakini memiliki kekutan dari Rera Wulan Tanah Ekan.
[8] Paul Ardnt, Agam Asli…, hlm. 170-174.
[9] Paul Ardnt, Agam Asli…, hlm. 173.
[10] Ernst.Vatter, Ata Kiwan (Ende: Nusa Indah, 2015), hlm. 172.
[11] Paul Ardnt, Agam Asli…, hlm. 171.
[12] Paul Ardnt, Falsafah dan Aktivitas Hidup…, hlm. 110.
[13] Paul Ardnt, Falsafah dan Aktivitas Hidup…, hlm. 111.
[14] Paul Ardnt, Falsafah dan Aktivitas Hidup…, hlm. 112.
[15] Paul Ardnt, Falsafah dan Aktivitas Hidup…, hlm. 113-115.
[16] Paul Ardnt, Falsafah dan Aktivitas Hidup…, hlm. 114.