Konsep Tuhan dan Laku Sipiritual Penghayat Kapribaden

profile picture untung
Humaniora - Other

Inti dari ajaran Kapribaden ialah Panca Gaib dan Laku Pangumbahing Rogo, yang mampu menentramkan pribadi dan hati. Ketika sudah tentram, maka tidak akan terpengaruh urusan dunia yang selalu berubah-ubah. Dengan harapan agar bisa manunggal sempurna antara hidup dengan yang membuat hidup, jadi jika badan sudah sampai batasnya dan rusak, hidup dapat kembali kepada yang membuat hidup. Yang berawal dari suci akan kembali ke suci, itu adalah tujuan akhir dari semuanya. Jika hidup (Urip) telah benar-benar nanunggal dengan yang memberi kehidupan (Urip kang Nguripi), maka akan sabdo dadi apa yang diucapkan itu sama dengan yang diucapkan Gusti. Tetapi hal itu terjadi, bila telah menghilangkan keinginan, angan-angan, hawa nafsu pribadi, sehingga sudah terlepas dari unsur salah, karena semuanya adalah keinginan hidup (urtip/roh/jiwa).

  1. Konsep Tentang Ketuhanan Yang Maha Esa

Tuhan dalam kepercayaan Penghayat Kapribaden disebut Gusti Ingkang Moho Suci, atau Dat Hidup. Merupakan suatu substansi yang tidak dikenal dalam ilmu pengetahuan. Dat Hidup tersebut membuat, mengatur dan menggerakan alam semesta beserta isinya, baik yang bersifat materiil maupun immateriil. Seperti gerak proton dan neutron dalam atom, lalu gerak atom membentuk molekul dan seterusnya.

Sebutan Maha Suci yang dipakai telah meliputi segala sifat Maha-Nya. Seperti Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Adil dan seterusnya. Dan segala yang ada, tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan Tuhan, dapat juga dikatakan segala keberadaan itu sesungguhnya berada di dalam Tuhan itu sendiri. Pengertian tentang Tuhan, bagi Penghayat Kapribaden pada umumnya tidak dijelaskan. Hal ini bertujuan agar si penghayat dalam mencari, menemukan dan menyembah tidak didahului dengan gambaran tentang Tuhan. Jika telah didahului dengan gambaran dikhawatirkan adanya obsesi terhadap gambaran yang ada dalam benak. Maka laku harus benar-benar dijalani sampai menemukan sendiri.

Setelah dapat menemukan, biasanya justru tidak mampu memberikan gambaran tentang APA, SIAPA, atau BAGAIMANA Tuhan itu sesungguhnya. Gusti Ingkang Moho Suci iku tan keno kinoyo ngopo (Tuhan tidak dapat di gambarkan dengan cara dan bentuk yang bagaimanapun), karena segala apa yang dapat digambarkan oleh otak manusia, sesuai dengan yang pernah diketahuinya, tidak ada yang menyerupai, mirip, apalagi menyamai Nya.

Dari Dat Hidup tersebut pulalah adanya dat Hidup yang juga disebut Roh Suci, yang diturunkan Nya ke dalam wadah (rogo) dan menjadi Hidup (Urip) dalam diri manusia. ROMO atau MOHO SUCI itu satu tetapi ada dimana-mana, juga ada di dalam diri manusia, akan tetapi juga melingkupi alam semesta.

2. Konsep Tentang Manusia

Manusia terdiri dari dua unsur pokok, yaitu:

a. Hidup, Urip atau Soul ialah Dat Tuhan, yang belum menyatu dengan raga (materiil), disebut Roh Suci.

b.  Raga (badan) yang bersifat materiil:

1). Asal Raga berasal dari benda-benda materiil, yaitu: Tanah (Zat-zat kimia organik dan anorganik), Air atau segala cairan tubuh (70% badan manusia terdiri dari air), udara atau gas (segala yang bersifat gas dalam tubuh), Api (kalori atau energi).

2). Proses Raga, Ayah dan ibu yang hidup dari sumber bahan, yaitu tanah, air, hawa, dan api tersebut menghasilkan bahan yang disebut Sel Mani dan Sel Telur (Sperma dan Ovum). Pertemuan Sel Mani dan Sel Telur, akan terus hidup dan berkembang apabila ke dalam bahan itu dimasuki Roh Suci. Dat Hidup yang berasal dari Maha Suci. Maka berkembanglah menjadi mudigah, janin, bayi dan lahir menjadi manusia hidup.

3). Komposisi Raga terdiri dari 7 lapis (istilah simbolik) yaitu : a) Rambut, b) Kulit, c) Daging (dalam istilah ilmiah otot), d) Otot (yang dimaksud disini ialah syaraf, baik susunan syaraf pusat maupun susunan syaraf periter), e) Balung atau tulang belulang, f) Sungsum, Getih atau darah (yang dimaksud adalah segala cairan tubuh).

Maka dalam pengayatan Kapribaden segala yang ada dalam tubuhnya dengan 7 lapis tersebut digolongkan sebagai Raga. Jadi pikiran atau ratio, logika, emosi, alam bawah sadar, memori, insting, refleks-refleks dan lain-lainnya digolongkan Raga. Kerjanya otak yang kita kenal dengan sebutan Psyche atau jiwa juga digolongkan raga. Bahkan yang dikenal sebagai ilmu Para Psikologi seperti telepati, clairvoyance, psikokenesis, exstra sensory perception,juga kami golongkan ragawi.

Raga yang berasal sari zat-zat atau bahan-bahan materiil tersebut dengan sendirinya tidak bersifat langgeng atau kekal. Maka setiap orang, pada suatu saat raganya akan rusak dan tidak dapat lagi menjadi tempat dan alatnya Hidup (Urip) untuk menjalankan Tugas Hidup. Raga harus kembali ke asalnya, yaitu tanah, air, hawa dan api (hancur di dalam tanah, gas-gas menguap dan menyatu dengan hawa, energy atau kalori berubah bentuk). Itulah saat yang dinamakan Raga menjadi mayat. Seorang yang telah meninggal, jika Dat Hidupnya tidak dikotori selama di dunia akan kembali manjadi Roh Suci, untuk manunggal dengan Maha Suci, dan kembali ke sumbernya atau asalnya.

Jika manusia hidup menginginkan mencapai Kasampurnan, artinya Hidupnya (urip) dapat Manunggal dengan Super Hidup (Sing Nguripi), dalam perjalanan di dunia ini, jangan sampai terbalik. Biasanya, manusia di dunia atau di alam madyo ini, memaksa, bahkan memperbudak Hidupnya, agar selalu menurut dan menuruti segala kebutuhan dan kehendak raganya (pikiran). Padahal yang benar-benar mengetahui Sangkane, hanane lan Parane Dumadi (Asalnya, adanya dan tujuannya) hanyalah Hidup itu sendiri, karena Hiduplah yang berasal dari SUMBER atau ASAL HIDUP, SUMBER SEGALANYA. Maka sesudah menyadari hal itu seyogyanya Manusia Hidup berani NYUNGSANG BAWONO BALIK, NGGELAR JAGAT ANYAR (Membalik dunianya, microcosmos, dirinya dan memulai sebagai manusia baru). Tidak mau lagi memaksa dan memperbudak Hidup, tetapi sebaliknya justru raga (termasuk pikiran) pasrah dan selalu menurut segala Karsa Sang Urip (Kehendak Hidup / roh suci). Karena Sang Hidup itu yang tahu pasti dan bisa menerima Petunjuk dan Tuntunan dari SUMBERnya yaitu, TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian, manusia Hidup tidak akan salah dalam menjalani tugas dan kewajibannya di dunia ini. Jadi, tugas dan kewajiban manusia itu tinggal menurut dan mengikuti Tugas Hidup. Hidup kita sendiri yang paling tahu Raganya. Maka hidup seseorang pasti akan menyuruh Raganya melakukan tugas dan kewajiban sesuai dengan situasi dan kondisi si Raga itu.

Manusia, sejak kecil pada umumnya yang dikembangkan hanyalah raganya, hal tersebut meliputi dua pokok yaitu: Pertama, Fisik, sehingga naluri atau instink dan nafsunya berkembang pula sesuai perkembangan umurnya. Kedua, Jiwa, dalam arti Psychonya berupa peningkatan kecerdasan dan pengisian otak dengan berbagai ilmu, berbagai pengertian tentang baik buruk, benar salah, termasuk pengetahuan tentang alam sekitar. Bahkan tentang nilai-nilai kehidupan yang disusun pendahulunya, berdasarkan pengalaman, yang semakin lama disempurnakan. Dalam hal ini termasuk nilai-nilai Budhi Pekerti yang bagaimanapun dikatakan baik dan luhur, tetap bersifat dinamis dan terus berubah (owah-ngingsir) menurut keadaan dan jamannya. Karena perbuatan manusia selalu disetir oleh dua hal di atas. Kebutuhan-kebutuhan biologis dan Kebutuhan-kebutuhan psikologis, yang didasari kemampuan otak. Dibatasi oleh nilai-nilai, moral, hukum dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yang semuanya merupakan buatan manusia. Maka bersifat selalu berubah.

Oleh karena itu pada dasarnya manusia memiliki sifat-sifat bawaan antara lain : a. Egoistis dan egosentris, b. Angkara murka,  c. Kesombongan, d. Nafsu-nafsu, termasuk nafsu untuk dianggap baik, e. Masa bodoh, f. Malas yang sering ditutupi dengan dalih prinsip ekonomi. Semuanya menjadi satu dalam penghayatan Kapribaden dilukiskan sebagai AKU, Unsur Hidup (Urip /Roh / Jiwa)-nya sejak kecil sampai tua, biasanya diabaikan dilupakan, “Kadyo, kleyang kabur kanginan, kesampar kesandung”

Padahal tanpa Hidup (Urip / jiwa / roh ) segala yang dimiliki Raga, termasuk kepandaian, kehebatan, ketenaran, kedudukan dan kekuasaan, kekayaan akan lenyap dan tidak ada lagi atau tidak berarti dan tidak berguna. Maka menurut ajaran Kapribaden tujuan orang hidup yang utama adalah mencapai kesempurnaan. Dengan selalu berjalan di jalan Sang Hidup, Selalu menuruti dan mengikuti kehendak Hidup, maka sifat manusianya akan mewujudkan sifat Hidup itu sendiri. Otak yang pandai, dan segala kemampuan yang dimiliki Raga, diperlukan, tetapi bukan sebagai unsur yang memerintahkan dan menguasai manusia.

Sebaliknya semua itu menjadi alat manusia dengan Karsanya Urip (kehendak Tuhan) sebagai Sumber Hidup. Untuk bisa melakukan hal itu, manusia harus mengalahkan AKU nya sendiri. Dan memenangkan INGSUN-nya, yaitu Sang Hidup (Roh Suci). Manusia yang demikian itu tidak menjadi pribadi yang materiil, tetapi menjadi sosok pribadi spiritual. Jadi bukan menjadi seonggok daging dan tulang yang bernyawa, tetapi hidup yang mengejawantah atau maujud.

3. Konsep Tentang Alam Semesta

Alam semesta bukan hanya bumi atau system matahari kita, tetapi seluruhnya yang hingga saat ini belum ada seorang pun yang mengetahui secara menyeluruh. Alam semesta diciptakan oleh Sumber Hidup atau Tuhan Yang Maha Esa, yang dihidupi, ditata dan digerakan oleh Tuhan. Dan antara sumber sebagai penciptanya dengan ciptaannya, baik yang tertangkap oleh Indera manusia maupun yang tidak, tidak pernah terlepas dari ikatannya atau hubungannya.

Atas dasar pandangan yang demikian itu maka penghayat Kapribaden menganggap semua yang ada di alam semesta ini selama masih ada Gerak-nya berarti “dilenggahi” Urip. Segala yang sudah ditinggalkan Hidup (Urip) gerakan akan berhenti. Termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Maka manusia yang selalu mengikuti jalan dan karsanya Hidup, merasa dirinya menjadi satu dengan alam semesta. Melalui penghayatan yang sungguh-sungguh, benar-benar bisa dirasakan bahkan dibuktikan , menyatunya diri kita dengan alam. 

Sekedar sebagai gambaran, bisa kita sebutkan sebagai berikut : 

Diri kita, nampak terpisah dari alam sekitar kita, sebenarnya hanyalah karena keterbatasan kemampuan panca indra kita, terutama penlihatan. Seandainya mata kita setajam microskop electron, kita akan melihat bahwa atom-atom dikulit kita sangat erat berhubungan dengan atom-atom yang ada di udara dan seterusnya sambung menyambung menjadi satu. Karena rasa satu dan bagian dari alam semesta itu maka si penghayat dalam memperlakukan alam, seperti memperlakukan dirinya sendiri dengan penuh cinta kasih.

Apapun yang akan diperbuatnya terhadap alam dan isinya, selalu dia tanyakan dulu kepada Hidup. Baru apabila dibenarkan oleh Hidup, maka sesuatu perbuatan atau tindakan akan dilakukannya.

4. Konsep Tentang Kesempurnaan

Istilah kesempurnaan di sini tidak diartikan sebagaimana dipakai secara umum yaitu dari sempurna = perfect. Kesempurnaan di sini sebagai terjemahan bahasa Jawa “Kasampurnan”. Kesempurnaan dalam arti “Kasampurnan” bagi penghayat Kapribaden adalah kondisi manusia, apabila dapat memanunggalkan Hidup (Urip) di dalam dirinya dengan HIDUP (Urip sing nguripi) YANG MELIPUTI MENATA DAN MENGGERAKAN ALAM SEMESTA SEISINYA (URIP KANG NGALIMPUNDHI JAGAD ROYO SAISINE) Tuhan Yang Maha Esa. Benar bahwa Kasampurnan itu hanyalah ada pada Tuhan. Maka bagaimanapun upaya manusia sepanjang ia masih mengikuti kehendak raganya, sekalipun menurut ukuran manusia hal-hal yang terbaik tidak akan mencapai kesempurnaan itu. Oleh karena itu hanya manusia yang sepenuhnya, artinya dalam segala hal, segala aspek kehidupan, penghidupan dan dalam berbuat apa saja, semata-mata hanya melakukan kehendak Tuhan yang dapat mencapai kesempurnaan.

Kesempurnaan Sejati atau Kasampurnan Jati itu akan dicapai bukan oleh Manusia Hidup, tetapi oleh Hidupnya yang apabila raganya sudah tidak terpakai dan Hidupnya tidak dikotori oleh perbutan-perbuatan salah raganya sehingga kembali menjadi Roh Suci, dapat mencapai kesempurnaan. Artinya kembali ke asalnya, ke sumbernya dan menyatu kembali dengan sumber atau asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Selama manusia masih hidup, yang dapat dilakukan ialah menelusuri dan mengenal jalan ke kesempurnaan, sampai menemukan yang benar-benar disembahnya, yaitu Tuhan. Merasakan sendiri kondisi dan menyatunya Hidup dengan HIDUP, Hidup dengan Tuhan atau kawulo dengan Gusti. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan terus-meneru. Jika menginginkan mencapai kasampurnan maka bukan laku untuk menunjang kebutuhan dan kehendak raga, tetapi sebaliknya segala kemampuan raga (termasuk pikiran, segala miliknya dan lain-lain) digunakan untuk menunjang laku. Raga (dengan pikirannya) menjadi abdi dan alat untuk melaksanakan kehendak atau Karsa Hidup.

5. Laku Spiritual

Penghayat aliran kepercayaan Kapribaden, dalam melakukan lakunya, menggunakan Panca Gaib. Panca Gaib merupakan sarana untuk memperkenalkan manusia pada Hidup “Urip”. Menurut aliran kepercayaan Kapribaden, penghayatan dapat dilakukan sejak kanak-kanak. Tetapi sesuai ketentuan dari sesepuh (Romo Semono), untuk menjadi warga paguyuban haruslah berusia minimal tujuh belas tahun. Dalam proses pengenalan diri kepada Hidup, sarana gaib pertama yang digunakan ialah Kunci. Dengan cara; seseorang yang meminta Kunci dengan sungguh-sungguh, akan diberikan oleh penghayat yang telah mampu memberikannya (dalam hal ini dapat dikatakan yang dapat memberikan Kunci ialah para sesepuh). Sebenarnya bukan manusianya yang memberikan Kunci tersebut, tetapi Hidup yang memberikan kepada manusia yang meminta agar Kunci yang diberikan dapat benar-benar berfungsi “Mahanani”.

Dalam melakukan laku tersebut, Kunci dibaca tujuh kali dengan sikap menyembah. Disini dapat diartikan; raga yang terdiri dari tujuh lapis atau tujuh unsur, seluruhnya menyerah dan pasrah kepada Hidup “Urip” yang ada dalam raga itu sendiri. Kunci berfungsi menembus tujuh lapis raga untuk bertemu dengan Hidup.

Setelah benar-benar dirasakan getar keberadaan Hidup, apabila yang bersangkutan bertekat melanjutkan penghayatan, kemudian ia akan diberikan Asmo “nama” dari hidup “Urip”-nya. Asmo hanya dapat diberikan oleh penghayat Kapribaden yang karena proses

mengahayatannya, sehingga membuat ia telah mampu memberikan Asmo. Cara member Asmo ialah Hidup si pemberi berkomunikasi dengan Hidup orang yang diberi Asmo. Dengan memohon kepada Gusti Ingkang Moho Suci atau Tuhan Yang Maha Esa. Jika Asmo diberikan oleh penghayat yang belum diijinkan memberikan Asmo, maka akan merugikan dan mencelakakan yang bersangkutan. Asmo merupakan Panca Gaib kedua, yang diberikan setelah Kunci.

Dengan Hidup-nya seseorang telah diberi Asmo, berarti ia telah siap untuk Mijil. Maka sarana untuk Mijil pun diberikan, untuk pertama kali Mijil, seseorang akan dituntun atau dilakukan di depan kadhang yang telah memberi Asmonya Hidup.

Jadi setelah mendapat Kunci yang bersangkutan merasakan keberadaan Hidup, setelah itu Hidup-nya diberi Asmo, dan ia mendapat Mijil. Maka yang bersangkutan dapat berkomunikasi dengan Hidup-nya sendiri. Selanjutnya Hidup-nya penghayat yang bersangkutan berguru kepada Guru Sejatinya sendiri, yaitu Hidup-nya sendiri. Sejak saat itu ia telah resmi menjadi Kadhang dalam kalangan penghayat Kapribaden yang memiliki kedudukan sama seperti yang lain.

Penghayat yang bersangkutan selanjutnya melakukan: Bagun tidur Kunci, mau tidur Kunci, ada apa-apa Kunci, tidak ada apa-apa Kunci.

Mau melakukan apa saja Mijil lebih dulu. Maksud dari semua itu ialah agar mengetahui karsanya Hidup.  Seorang penghayat sebelum melakukan kegiatan apapun dan bahkan setiap saat, selalu melakukan Mijil terlebih dahulu. Ini berarti seorang penghayat melakukan penghayatan spiritual sekaligus pengalamannya yang tidak dapat terpisahkan. Dalam ajaran Kapribaden, semua yang bersifat spiritual disebut dengan Gulung, sedangkan yang bersifat lahiriah disebut Gelar. 

Untuk meningkatkan lakunya, penghayat Kapribaden selalu berusaha membersihkan Raganya, dengan laku Pangumbahing Rogo. Laku Pangumbahing Rogo (Laku Mencuci Raga), yaitu;

a. Sabar

Sabar disini tidak hanya dalam arti tidak mudah marah, tetapi dalam menghadapi apapun yang terjadi, dan tidak mempercepat proses (ora nggege mongso). Seperti lakunya atau terjadinya manusia sendiri. Tentunya paling baik jika cukup umur dalam kandungan ibunya, tidak dipercepat. Jadi tidak mempercepat waktu yang dikehendaki Tuhan. Maka sabar akan hadir dengan sendirinya bila sungguh-sungguh menjalani Kunci, Asmo dan Mijil.

b. Narimo

Sebagai manusia diwajibkan untuk berusaha seoptimal mungkin sepanjang tidak bertentangan dengan karsanya Hidup, tetapi apapun hasil usaha itu sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Hal tersebut didasari keyakinan bahwa Tuhan merupakan tempat kebaikan. Oleh karena itu semua ketentuannya pasti baik dan benar, sehingga akan membuat temtram serta berfaedah.

c. Ngalah

Harus pandai mengalah kepada siapapun, karena mengalah tidak berarti kalah. Sebenarnya orang yang mengalah ialah orang yang menang. Mengalah disini tidak boleh karena terpaksa, harus benar-benar bisa merasakan betapa nikmat yang diterima karena mengalah.

d. Tresno Welas Asih Marang Sopo Wae (Sepodo Padane Tumitah) Cinta kasih kepada semua makhluk Tuhan. Seperti cinta kasih Tuhan yang tulus terhadap semua makhluknya tanpa membeda-bedakan apapun, bahkan kepada hewan dan tumbuhan.

e. Ikhlas

Ikhlas ialah menyadari sepenuhnya bahwa segala yang ada pada dirinya adalah milik Tuhan. Maka manusia harus siap setiap saat apapun yang terjadi pada dirinya.

Ikhlas tidak hanya bersifat fisik materiil tetapi juga imateriil. Si penghayat akan diuji oleh Hidup, keikhlasannya berkorban harga diri, korban perasaan dan lain-lain.

Penghayat yang selalu ingat Kunci, Asmo, Mijil dan dapat Sabar, Narimo, Ngalah, Tresno Welas Asih Marang Sopo Wae dan Laku Ikhlas, masih mempunyai tugas berat, yaitu berusaha untuk mengalahkan Aku-nya sendiri. Mengalahkan Aku juga berarti harus dapat mengalahkan segala yang berakhiran Ku, seperti milik Ku, kekuasaan Ku, kebenaran Ku, dan sebagainya. Oleh karena itu untuk mengalahkan Aku-nya sendiri, tidak cukup hanya dengan tekad. Maka si penghayat diberikan sarana Gaib keempat yaitu Singkir. Dengan malatih diri pada saat-saat tenang menggunakan Singkir, Aku dengan segala Ku-nya, akan semakin menipis. Jika manusia telah makukan semua seperti Kunci, Mijil, Singkir dan Pangumbaheng Rogo. Maka ia akan selalu dalam keadaan tentram. Artinya manusia tidak akan terpengaruh oleh keadaan lahiriah yang berubah-ubah. Baik yang terjadi pada dirinya maupun lingkungannya. Keheningan selalu ia rasakan, tanpa terpengaruh keadaan fisik,keadaan lingkungan serta tempatnya. Segala yang tertangkap panca indranya, langsung ia Gulung dan ditangkap dengan Rasa Jatinya, sehingga ia tahu makna yang terkandung di dalam kejadian. Sebaliknya apap pun yang dia terima melalui Rasa Jati, segera dia laksanakan tanpa bantahan dari akal pikirnya. Dia tidak lagi berpegangan pada ukuran baik dan benar tetapi, selalu berpegang kepada ”beciking-becik lan benering-bener”.

Manusia yang telah dapat menjalani hidup demikian, maka ia dapat menggunakan sarana Gaib yang kelima yaitu Paweling. Dengan sarana Paweling manusia yang dilukiskan di atas, dapat me-Manuggal-kan Hidup dalam dirinya, dengan Hidup yang menhidupiserta menggerakkan alam semesta dan Hidup yang menjadi sumber segala Hidup, yaitu Tuhan Yang Maha Esa atau Gusti Ingkang Moho Suci.

Tidak ada tingkatan-tingkatan dalam Kapribaden untuk memberikan Panca Gaib, karena untuk mengenal Hidup(Urip) tidak mengenal duluan atau belakangan, dan tidak mengenal tua atau muda. Bahkan orang-orang yang dianggap pinisepuh pun tidak menjamin bahwa ia mampu memberikan Panca Gaib. Orang-orang yang mampu memberikan panca gaib adalah ia yang sudah sampurno. Artinya ia mampu mendengarkan suara dan merasakan Hidup (Urip), karena seperti Asmo muncul bukan dari otak, tetap asmo gaib yang muncul dari Tuhan (seng nggawe urip). Penilaian mampu dan tidaknya seseorang kadang Kapribaden, bukan ia sendiri yang mengatakan mampu atau mempromosikan diri. Tetapi dinilai oleh kadang-kadang yang lain, semua penilaian tersebut didasarkan pada tindakan seorang kadang dalam kesehariannya. Apakah ia mampu menjalankan wulang wuruk romo dengan baik atau tidak. Tidak ada penunjukan secara formal siapa yang memberikan panca gaib, tetapi dia yang mampu dan sanggup.

Referensi : https://www.kapribaden.org/

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By untung

This statement referred from