Sisi Lain Kaum Flat Earthers yang Patut Dijadikan Pelajaran

profile picture Zann

Berbagai artikel, baik yang ilmiah maupun tidak, sudah banyak menjelaskan bahwasannya teori bumi datar adalah gagasan yang belum bisa merepresentasikan realitas secara objektif dan empiris. Respon dari berbagai pihak, mulai dari ilmuwan, filsuf, akademisi, sampai masyarakat umum, mayoritas membantah adanya teori bumi datar.

Seperti misalnya fakta seorang penjelajah, Ferdinand Magellan yang mampu berlayar mengelilingi bumi dari barat, hingga akhirnya ia kembali lagi di titik berangkatnya. Atau seorang filsuf dan matematikawan, Eratosthenes dengan tongkatnya yang berhasil menjustifikasi bentuk bumi bulat lewat perbedaan bayangan dari kedua tongkatnya, dan masih banyak lagi bukti maupaun argumentasi empiris yang tidak cukup kalau ditulis di artikel ini. Semua fakta-fakta itu menunjukkan bahwa bentuk bumi itu bulat, ‘sejauh ini’ masih tetap yang akurat. 

Sebagai salah satu kaum yang kontra dengan teori bumi datar, penulis mengakui perdebatan itu memang secara substantif tidak perlu lagi untuk dibahas. Akan tetapi, kalau menelaahnya lebih lanjut, sebenarnya ada sisi lain yang agaknya bisa diambil dari fenomena munculnya kaum flat earthers. Meskipun objektivikasi kaum flat earthers mengenai bentuk bumi secara ilmiah tidak bisa ditelan, namun ada beberapa poin dari personalisasinya yang bermanfaat untuk dijadikan pembahasan, bahkan pelajaran.  

Kesadaran dan Kuriositas

Secara historis, kaum flat earthers muncul jauh ratusan tahun yang lalu sebelum masehi. Pada saat itu, argumentasi bumi datar menjadi ciri khas kosmologi kuno, sebelum akhirnya filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles mengajukan argumentasi bahwa bumi itu bulat. Kemudian pergulatan mengenai bumi datar kembali muncul di era modern, tepatnya di abad ke-19. Pelopor pertamanya adalah Samuel Rowbatham dengan tafsirannya mengenai Alkitab, hingga dikembangkan menjadi buku yang berjudul “Astronomi Zetetis”. 

Sekelumit asal-usul munculnya kaum flat earthers tersebut menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang on going, atau kalau dalam bahasa agama, “ihdinas sirotol mustaqim”Maksudnya adalah di samping sebutan hewan yang berakal, manusia memiliki kesadaran dan kuriositas tentang sesuatu yang belum tiba. Meskipun kesadaran dan kuriositas kaum flat earthers mengenai bentuk bumi pada akhirnya gagal, tetapi mereka punya nilai instrinsik, yaitu bahwa sebagai manusia itu harus sadar akan eksistensinya yang memiliki kemampuan untuk menelisik ihwal kehidupan yang penuh misteri ini. Jika kita hanya sebatas hidup tanpa punya kesadaran dan kuriositas, maka apa bedanya dengan hewan yang menjalani rutinitas, tapi tidak membawa perubahan. 

Ya, meskipun perubahan yang dihasilkan oleh kaum flat earthers tidak bersifat eksponensial, tetapi dengan adanya kaum flat earthers, teori bumi bulat semakin mempunyai nilai. Bayangkan jika tanpa adanya hipotesis bumi datar, apakah tafsiran mengenai bumi bulat itu mungkin? Salah satu fitrah semesta selalu menyediakan oposisi biner: sesuatu akan ada dan bernilai, ketika ia memiliki lawan.  

Fanatisme dan Konservatisme

Setelah muncul buku Astronomi Zetetic, Rowbatham dan para pengikutnya meneruskan argumentasi bumi datar dengan menantang para saintifik untuk bertarung masalah keilmuan. Pada saat itu, seorang naturalis, Alfred Wallace menerima tantangan tersebut. Pertarungan ilmiah berlangsung pada tahun 1870 di sungai Old Belford. 

Singkatnya, Rowbatham kalah dengan refraksi yang dilakukan Wallace. Atas kekalahan itu, Rowbatham kemudian tidak terima dan menuduh Wallace sebagai penipu. Sampai akhirnya, Rowbatham dipidana atas pencemaran nama baik. Setelah kejadian itu, masyarakat Inggris sudah tidak lagi percaya teori-teori bumi datarnya kaum Rowbatham, dan seiring berjalannya waktu, teori itu hilang di ruang publik. 

Kisah singkat Rowbatham dan pengikutnya menunjukkan bahwa sikap fanatik dan konservatif adalah penyakit yang ironi untuk eksistensi pengetahuan. Perihal pengetahuan sangatlah kompleks, jika sikap yang diambil untuk berpengetahuan adalah fanatik dan konservatif, maka nilai manusiawinya pun hilang. Manusia selain punya kesadaran dan kuriositas, ia juga punya keterbatasan. Oleh sebab itu, keterbukaan pikiran pun harus ikut andil dalam berpengetahuan. Itulah mengapa manusia fitrahnya adalah makhluk sosial; makhluk yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. 

Etika dan Pragmatisme

Di tahun 1956, kaum flat earthers kembali bangkit dengan munculnya komunitas “International Flat Earth Research Society” yang didirikan oleh seorang ahli konspirasi, Samuel Shenton. Mereka memperkuat teori bumi datar dengan mengambil penemuan fisikawan Amerika, James Van Allen, yang biasa disebut sabuk radiasi Van Allen. 

Tapi kemudian Van Allen mengkonfirmasi kelakuan kaum flat earthers bahwa, mereka hanyalah membual dan argumentasinya sebatas omong kosong. Pasalnya, Samuel Shenton hanya mengambil bagian-bagian tertentu dari penemuan Van Allen untuk memperkuat argumentasinya tanpa mengindahkan penjelasan lebih lanjut mengenai sabuk Van Allen. Bahkan, Samuel Shenton dan pengikutnya tidak bilang terlebih dahulu kepada Van Allen kalau mau mengutip penemuannya. 

Hal itu menunjukkan bahwa Samuel Shenton dan pengikutnya itu terbilang kaum-kaum yang pragmatis. Dengan kata lain, mereka hanya mengambil bagian-bagian yang menurutnya bisa relevan dengan teorinya, tetapi tidak peduli dengan bagian yang lain karena terlalu kompleks dan tidak relevan. Pikiran semacam itu dalam filsafat merupakan subjektivitas, yang fungsinya sebagai pembenaran suatu gagasan. Kaum pragmatisme memandang fakta yang ada itu bersifat pribadi dan tidak bersifat umum. Maka tak ayal, jika kaum flat earthers pikirannya tidak bisa mencapai objektivitas dan sifatnya yang selalu konspiratif.

Perihal ilmu tidak lebih tinggi dari etika. Kasus Samuel Shenton menjadi bukti bahwa sekalipun ia terbuka dengan pemikiran di luar dirinya, tetapi kalau mengambilnya tanpa izin, maka ilmu dan pengetahuannya tidak ada artinya. Hukum alam akan berjalan ketika manusia tidak menyadari hal baik-buruk di dalam tindak-tanduknya. 

Begitupun dengan pragmatis. Sesuatu yang pragmatis ada proporsinya, tidak semua hal bisa ditafsirkan menggunakan perspektif pragmatis. Apalagi yang menyangkut sains, haruslah bersifat objektif dan empiris. Kita bisa berkaca pada kasus Samuel Shenton bahwa, jangan serampangan dalam menyimpulkan ataupun menyederhanakan pengetahuan. Telaah terlebih dahulu secara kritis dan mendalam apa-apa yang menyangkut pengetahuan umum. Perhitungkan antara tendensi dan konsekuensi dengan tanggung jawab yang akan diterima. 

Catatan Kaki

Munculnya kaum flat earthers dan segala pergumulannya adalah fenomena dalam peradaban manusia. Sebuah fenomena yang muncul pasti membawa ‘keterarahan’ pada kualitas tertentu. Kita tidak bisa menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan yang sifatnya di luar diri. Adanya kaum flat earthers, mungkin bisa dibilang mereka adalah kumpulan manusia yang dungu. Akan tetapi, kedunguannya justru mendapati posisi penting dalam kemajuan peradaban manusia, khususnya di bidang kosmologi. Oleh sebab itu, kita jangan terlalu kaku terhadap segala fenomena yang seolah tidak relevan. Terima dan amatilah sebagai modal untuk menciptakan peradaban yang baru. 

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By Zann

This statement referred from