Terjaminkah Kesejahteraan Psikologis Anak Ketika Aturan Tindak Kekerasan Seksual Dilaksanakan di Indonesia?
Kasus Kekerasan Seksual menjelang akhir tahun 2021 ini masih menjadi banyak perbincangan masyarakat, terutama ketika berita tersebut tersebar luas di internet. Sebagai contoh, kasus kekerasan seksual di Blitar yang naik dalam situasi pandemi COVID-19 beberapa waktu ini dilakukan oleh orang dekat. Setidaknya sampai bulan Oktober 2021 terdapat 37 kasus kekerasan seksual pada anak dengan 20 kasusnya terjadi pada anak perempuan (Riady, 2021). Kasus-kasus tersebut terjadi selama pandemi disebabkan adanya interaksi anak dengan keluarga dan lingkungannya sehingga kerapkali korbannya adalah orang terdekat anak. Kasus yang serupa juga terjadi di Jakarta Selatan yang menginformasikan guru les bahasa Inggris laki-laki telah mencabuli 14 anak tetangganya disebabkan gangguan trauma masa lalu dan kecanduan (Tim Detikcom, 2021). Jika merujuk pada kasus-kasus ini, berita tersebut semakin diyakinkan oleh data KemenPPA mengenai survei kekerasan pada anak yang berjumlah 12.566 kasus yang terjadi di tahun ini yang berdampak pada psikis dan fisik (INDONESIA, 2021).
Urgensi kasus-kasus yang terjadi pada saat ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Selain karena lingkungan yang kurang terjaga terjadi disebabkan oleh lemahnya hukum yang kurang mengikat pelaku, kurang pengawasan orang tua, dan Pendidikan yang minim (Sri Hertinjung, 2012). Pendidikan yang minim mengenai pengetahuan seksualitas telah menjadi persoalan yang paling urgensi karena pengetahuan semacam ini dianggap tabu oleh masyarakat kita yang memegang norma-norma. Akan tetapi, jauh lebih penting akan hukuman yang kurang dirasakan oleh pelaku yang melakukan kekerasan seksual kepada anak-anak. Tidak jarang pelaku-pelaku ini melakukan pelecehan kembali karena masih ada sesuatu yang tidak terselesaikan oleh badan Hukum. Lalu, ketika hukum ini tidak ditegakkan dengan baik, kebanyakan korban yang tahu bahwa pelaku hanya diberikan hukuman ringan, psikologisnya akan kembali menjadi tidak stabil yang disebabkan akan trauma.
Dampak kesejahteraan Psikologis anak ketika pelaku tidak ditindak tegas terutama setelah terjadi pelecehan seksual. Situasi yang dirasakan setelah itu ialah terjadinya trauma dan merasa tidak berdaya. Mereka anak-anak yang telah menjadi korban, khususnya perempuan, memiliki trauma dalam berhubungan dengan orang lain di lingkungan, dan tidak bisa percaya pada pasangannya ketika mulai menjelang masuk ke kehidupan masa dewasa (Zahirah, Nurwati, & Krisnani, 2019). Dampak berikutnya, ketidakberdayaan akibat adanya rasa takut di kehidupan anak yang terbawa sampai tidurnya dengan ditandai mimpi buruk. Phobia kerap kali terjadi pada korban ketika mereka menemukan hal-hal yang berhubungan dengan pelaku bahkan berlaku bebas sampai membuat anak tertekan. Dengan adanya pelaku yang berkeliaran membuat ketidakberdayaan dalam menjalani hidup dan sering mengalami kecemasan yang selalu menghantui. Misalnya saja kasus Saipul Jamil yang terbebas dari penjara dengan disambut banyak orang kerapkali menimbulkan trauma pada korbannya (Ansori, 2021).
Menegakkan hukum kekerasan seksual di Indonesia dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah sebuah langkah preventif dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis anak. Hukum yang jelas dan penanganan yang benar-benar dilakukan dengan serius setidaknya membuat korban akan percaya bahwa mereka selalu dilindungi keadilan dan negara. Kasus kekerasan seksual pada anak anak yang telah diberitakan kepada masyarakat baru permukaan saja yang disebabkan oleh ketakutan korban yang mendapatkan stigma oleh masyarakat dan keringanan hukum yang tidak telalu menjerat. Belum lagi, hampir kebanyakan hukum kita berasal dari KUHP yang belum diperbaharui sejak zaman colonial Hindia Belanda (Redaksi Liputan6.com, 2019). Artinya perlu ada penegasan hukum baru yang bisa menangani kasus baru pula di lapangan. Bagaimana bisa kesejahteraan korban kekerasan seksual pada anak bisa meningkat jika hukumnya belum ada peningkatan terutama dalam cara penanganan?
Kasus yang terjadi pada anak dari tahun ke tahun akan terus meningkat dan selalu berkembang di lingkaran setan tanpa solusi. Anak yang seharusnya melaksanakan sekolah dan bermain dengan normal harus berhenti begitu saja karena trauma yang berkepanjangan akibat pencabulan yang terus menerus terjadi pada dirinya. Mereka ketakutan dalam mengambil langkah baru tanpa dukungan orang-orang sekitar dan hukum yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Beruntung apabila anak tersebut bisa melalui hidupnya dengan lingkungan yang baik dan bisa melupakan hal yang terjadi begitu saja sebagai koping strateginya. Hanya saja, itu tidak berlangsung lama dan akan muncul di waktu tertentu ketika mereka bertemu kembali kepada masalalunya yang meyeramkan akibat pelaku yang berkeliaran bebas.
Hukum UU Penghapusan kekerasan seksual bukan serta merta untuk keadilan saja, tapi menjamin identitas dan psikologis anak sampai di masa depan. Pelaku yang terjerat hukum ini apabila dilakukan dengan kejelasan aturan yang mengikat dan juga adanya langkah mendalam sudah pasti membuat para korban di luar akan terjamin keamanan hidupnya. Hal ini pun perlu dilakukan atas persetujuan masyarkat dan pemerintah yang tidak terlepas dalam kehidupan korban. Perlu ada kerja sama dalam menjamin hukum ini, mulai dari rehabilitasi, konseling, sampai penanganan berat pada pelaku tingkat berat sampai benar-benar merasakan bahwa melakukan pencabulan adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Artinya pemberian hukum agar pelaku jera adalah menjamin hidup keamanan dan kesejahteraan psikologis anak.
Sebagai garis besarnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual haruslah diputuskan bersama oleh pemerintah maupun masyarakat untuk kesejahteraan psikologis anak. Anak adalah sumber kekayaan paling jelas untuk kemajuan peradaban di negara kita. Jika korban kekerasan seksual pada anak tidak dijamin oleh hukuman yang terikat erat pada pelaku yang mencabuli mereka, hidupnya tidak akan aman. Bahkan bisa dihantui oleh trauma kekerasan seksual dan tidak bisa menjalani hidup dengan normal.
Daftar Pustaka
Ansori, A. N. Al. (2021). Kebebasan Saipul Jamil Bisa Picu Trauma bagi Korban, Psikolog Sarankan Intervensi Psikologis. Liputan 6, p. Konsutasi Psikologi. Retrieved from https://www.liputan6.com/health/read/4648814/kebebasan-saipul-jamil-bisa-picu-trauma-bagi-korban-psikolog-sarankan-intervensi-psikologis
INDONESIA, C. (2021). KemenPPPA: Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Meningkat di 2021. Cnn Indonesia, p. Peristiwa.
Redaksi Liputan6.com. (2019). Menengok Sejarah KUHP, Produk Hukum Belanda Berumur Lebih dari 100 Tahun. Liputan 6, p. Peristiwa. Retrieved from https://www.liputan6.com/news/read/4070780/menengok-sejarah-kuhp-produk-hukum-belanda-berumur-lebih-dari-100-tahun
Riady, E. (2021). Ngerinya Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Blitar Selama Pandemi. Detiknews, p. Berita Jawa Timur.
Sri Hertinjung, W. (2012). THE DINAMYC OF CAUSES OF CHILD SEXUAL ABUSE BASED ON AVAILABILITY OF PERSONAL SPACE AND PRIVACY, 1–10.
Tim Detikcom. (2021, November). Dalih Jadi Korban Pedofil Bikin Guru Les Cabuli Belasan Anak Kecil. Detiknews, p. Berita.
Zahirah, U., Nurwati, N., & Krisnani, H. (2019). Dampak Dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak Di Keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 10. Retrieved from https://doi.org/10.24198/jppm.v6i1.21793