Ketika Permendikbud No.30 Tahun 2021 Menjadi Pintu Terungkapnya Noda-noda Hitam Lingkungan Intelek di Indonesia
Sudah lama kurikulum Indonesia menggembor-gemborkan pendidikan karakter serta moral terhadap peserta didiknya. Tetapi, jika guru merupakan akronim dari digugu lan ditiru yang diperibahasakan sesederhana “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, maka berarti sudah selama itu pula, pemerintah memungkiri fakta bahwa para pendidik pun memerlukan adanya sertifikasi dan kualifikasi atas mata pelajaran tersebut.
Selain sekolah tingkat, sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam rangka memajukan mutu sumber daya manusia di Indonesia, kampus diduduki oleh jajaran orang penting yang mayoritas telah memiliki tiga gelar di belakang nama mereka. Tidak sedikit dari mereka tercatat sebagai lulusan perguruan tinggi ternama baik di dalam maupun di luar negeri. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka juga yang ternyata selama masa kuliahnya, hanya fokus memakan buku-buku tebal berlabel pendidikan formal dan mengesampingkan pendidikan karakter juga moral yang memiliki dampak lebih luas serta aplikatif dalam bermasyarakat.
Berangkat dari maraknya kasus pelecehan seksual di lingkungan kaum intelek yang ternyata banyak dilakukan justru oleh tenaga pendidik itu sendiri, selama puluhan tahun, kasus-kasus tersebut hanya ditutup-tutupi layaknya bangkai binatang agar tidak tercium busuknya. Beberapa di antara pelaku tersebut bahkan hanya menganggap trauma-trauma seumur hidup yang telah ia ciptakan pada korban sebatas bahan lelucon, sebatas angin lalu.
Tidak jarang, orang awam yang tidak punya hati—atau mungkin hanya karena mereka belum mengalami pelecehan itu sendiri—justru menormalisasi, “Wajar. Cowok mah, emang nafsuan! Lagian, kucing dikasih ikan asin kok, nolak? Enggak mungkin, lah!” Beberapa oknum justru lebih parah lagi, menganggap segala peristiwa yang telah terjadi merupakan kesalahan korban yang dianggap menggoda pelaku terlebih dahulu dan mengenakan pakaian yang terlalu terbuka. Padahal, data yang ada memaparkan bahwa 17% korban pelecehan seksual mengenakan pakaian tertutup.
Faktor eksternal ini yang kemudian menyebabkan banyak korban memilih untuk bungkam, selain sebab faktor internal seperti perasaan sedih, malu, merasa dirinya tidak berharga, dan takut akan dihakimi atau tidak lagi diterima oleh orang lain. Sementara pelaku justru bisa menghirup udara bebas seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Berkaca pada kasus L, mahasiswi Universitas Riau yang pada November lalu menghebohkan jagat maya Twitter. Melalui akun @komahi_ur, L secara terang-terangan mengaku memeroleh pelecehan secara verbal dan fisik dari Dekan Fakultasnya pada saat bimbingan skripsi. Dari kasus ini, kita dapat dengan jelas meneropong adanya ketimpangan kekuasaan antara dosen dengan mahasiswa yang lantas memosisikan mahasiswa sebagai “yang lemah dan tidak berdaya”.
Kemudian berita yang masih hangat, seorang demisioner Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melakukan pemerkosaan kepada tiga mahasiswi yang sedang dalam keadaan haid. Saat kejadian, para korban masih berstatus mahasiswa baru yang tengah mengikuti rangkaian seleksi pengurus Badan Ekeskutif Mahasiswa. Dari kasus ini, kita juga dapat menyimpulkan adanya posisi “si kuat dan si lemah”, mengingat jabatan pelaku dapat dibilang terpandang di kampusnya.
Akan sangat melelahkan apabila ingin mengabsen satu per satu kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus di negeri Ibu Pertiwi ini. Sebutlah salah satunya yang sempat ramai diperbincangkan 2017 lalu, yakni kasus Agni dari Universitas Gadjah Mada yang justru berakhir dengan jalur “kekeluargaan”. Agni hanya memeroleh dana bantuan serta bimbingan konseling dari institusi tempatnya menganyam sejuta mimpi.
“Ya ngapain diperbesar, ini masalah mereka berdua, kalau mereka berdua sudah damai apa yang dipermasalahkan, okelah, saya kira bagus itu," ujar Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta, Irjen Pol Ahmad Dofiri, yang saat itu turut menangani kasus tersebut.
Mungkin terlihat semudah itu bagi korban berdamai dengan pelaku, namun hingga detik di mana tulisan ini diketik, tidak ada yang pernah tahu apakah korban telah berdamai dan menerima dirinya sendiri.
Menilik cacatnya pendidikan di Indonesia ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim kemudian menelurkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini terdiri dari lima puluh delapan pasal yang secara lengkap mengatur mulai dari bentuk kekerasan seksual hingga upaya -upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lingkungan kampus, termasuk sanksi administratif bagi para pelaku serta hak-hak yang akan diperoleh korban. Beberapa poin-poin penting dalam peraturan tersebut, di antaranya:
1. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 memaparkan definisi kekerasan seksual serta klasifikasi dan bentuk-bentuk yang sangat jelas, yakni secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi komunikasi.
2. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 memprioritaskan hak-hak korban
3. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 menyasar bukan hanya kepada mahasiswa, namun juga pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, serta masyarakat umum yang berinteraksi dengannya.
4. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 mewajibkan adanya penanganan terhadap kasus pelecehan seksual dalam lingkungan kampus berupa pendampingan korban, perlindungan hak-hak korban, pengenaan sanksi administratif untuk pelaku, serta pemulihan korban.
5. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 mewajibkan perguruan tinggi membentuk satgas.
Meskipun menimbulkan berbagai pro dan kontra, saya menganggap bahwa kelahiran Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini membawa perubahan yang sangat baik. Bukan semata-mata bagi wajah pendidikan Ibu Pertiwi, namun juga untuk keberlanjutan serta kelangsungan hidup putra-putri terbaik, generasi penerus bangsa ini. Sudah betapa banyak putra-putri Indonesia yang kehilangan mimpi-mimpi yang telah mereka rajut helai demi helai sejak kecil. Sudah betapa banyak orang yang kehilangan orang tercintanya sebab mereka memutuskan untuk menggantikan posisi malaikat maut, mencabut nyawanya sendiri hanya karena nafsu sampah nan bejat sang pelaku.
Tak terhitung berapa banyak cuitan warga dunia maya yang secara positif mendukung disahkan serta diberlakukannya Permendikbud PPKS ini. Bahkan, dampak nyata sudah mulai dirasakan dibuktikan dengan banyaknya pintu-pintu berisi noda hitam yang kini terbuka secara gamblang di media sosial. Sebutlah kasus pelecehan oleh guru besar Universitas Indonesia yang ternyata sudah selama tiga puluh tahun menjadi kisah di bawah tanah. Tak ketinggalan, kasus pelecehan oleh dosen di Universitas Sriwijaya.