Bagaimana Rasa Sepi Mampu Melawan Stigma “Relawan” di Tengah Pandemi; Hanyalah Seorang Pengangguran Berkualitas?
Pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa musim lalu telah banyak membuat perubahan besar. Perubahan itu bukan hanya terjadi pada sektor industri, ekonomi, budaya, dan pendidikan, namun juga pada bidang sosial pemberdayaan, salah satunya adalah kerelawanan.
Pandemi Covid-19 secara tidak langsung juga meningkatkan angka pengangguran besar-besaran. Namun, ada satu yang menarik dari masalah itu. Salah satunya adalah munculnya istilah profesi “relawan berkualitas” untuk menutupi kata pengangguran berkelas di kaula muda.
Peralihan dari masa pandemi ke masa endemi, kata “relawan berkelas” seakan-akan menjadi isu hangat. Namun, sebagai mahkluk sosial, tentu manusia juga membutuhkan hubungan kuat dalam rangka memelihara kesehatan mental maupun psikologis dan fisik tiap-tiap individu. Dalam rangka proses pemulihan dan pembiasaan itu, diperlukan kekuatan tubuh dan kejernihan pikiran yang kuat dalam memelihara berbagai macam-macam tekanan. Salah satu cara yakni dengan menjaga relasi sosial dengan menjadi relawan.
Bagaimanapun, istilah relawan berkelas, menarik apabila kita lihat dari sudut pandang sebagai seorang mahkluk sosial, dimana menjadikan wadah untuk tetap upgrade diri, bangun relasi sosial, meminimalisir stress relief, dan mencegah penyakit mental seperti rasa sepi walaupun dilakukan dengan dan tanpa adanya bayaran.
Namun, setelah penjelasan di muka, ironinya, masih banyak juga yang salah dalam mengartikan kata relawan dalam konteks tersebut. Justru relawan dipandang sebagai bentuk pengangguran yang berkualitas. Dengan kata lain, relawan merupakan kata lain daripada bentuk pengangguran berkualitas atau istimewa. Tapi, yang menjadi pertanyaan saya. Lalu bagaimana istilah relawan berkualitas ini bisa berkaitan dengan pengangguran berkelas?
Pengangguran Bukan Hanya Mengisi Waktu Kosong
Akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, secara tidak langsung telah meningkatkan rasa kesepian bahkan kesehatan mental yang dialami orang-orang. Kontra akan resiko itu, hal tersebut sendiri telah ditetapkan pemerintah bertujuan untuk mengurangi interaksi langsung antar sesama untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan menerapkan pembatasan sosial.
Namun, upaya pembatasan gerak itu justru menimbulkan dampak yang lain seperti menurunnya tingkat interaksi sosial dan menimbulkan gangguan psikologis manusia sebagai mahkluk sosial. Selain itu juga, pembatasan ruang gerak yang ditetapkan pemerintah beberapa musim lalu menciptakan rasa kesepian bagi banyak orang.
Dalam rangka mencegah dan mengatasi rasa sepi itu, penting halnya kemudian kualitas hidup manusia atau individu dapat sepenuhnya dijalankan secara optimal selama masa peralihan. Hal itu juga didukung dari sejumlah riset yang menyatakan kesepian berkaitan erat dengan memburuknya kondisi fisik, psikis, bahkan kematian.
Faktor lain akibat dari rasa sepi juga berdampak pada peningkatan penduduk yang tinggal sendiri, menurunnya jumlah pernikahan, menurunnya jumlah kelahiran anak, dan berkurangnya angka relawan yang terlibat dalam kegiatan komunitas.
Eva Suryani, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, dan Nicholas Hardi, Peneliti dan Psikiater, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya mengungkapkan bahwa, intervensi untuk mencegah dan mengatasi kesepian menjadi penting agar kualitas hidup manusia dapat optimal selama masa pandemi COVID-19. Salah satu cara utama ialah dengan menjadi relawan.
Pentingnya Membentuk Pikiran Yang Positif Mengenai Kata Relawan
Salah satu cara mengimplementasikan rasa sepi di tengah pandemi adalah dengan memahami dan mempraktekkan nilai-nilai tersebut melalui pengabdian atau dengan menjadi relawan.
Memilih menjadi relawan bukanlah stigma negatif untuk menutupi kata pengangguran berkelas. Sederhananya, relawan bukan hanya sekedar mengisi waktu luang, namun juga dapat diartikan sebagai bentuk atau sikap melawan rasa sepi di tengah peralihan masa pandemi ke endemi.
Dalam konteks yang lain, seseorang yang memilih menjadi relawan juga bertujuan untuk upgrade diri dan perlu merefleksi diri mengenai pengalaman kesepian dan suasana perasaannya. Artinya, kesepian merupakan proses yang wajar bagi manusia, terutama pada masa pandemi COVID dan proses ini akan berlalu setelah berani menjadi relawan.
Seharusnya, sebagai mahkluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, sudah semestinya perlu terus mencoba berbagai upaya dalam rangka mengatasi kesepian dengan cara menjadi relawan.
Dilansir dari akademirelawan.id, adapun manfaat menjadi relawan adalah; mampu meningkatkan rasa percaya diri. Kepercayaan diri itu tentu dibentuk dari dan dengan menjadi relawan. Sebab, dalam mengahdapi berbagai pekerjaan proyek dan tantangan yang sulit, menjalani kemampuan baru tentu menjadikan seseorang lebih percaya diri terhadap kemampuan diri masing-masing.
Salah satu tujuan menjadi relawan adalah untuk merasa lebih baik dari sebelumnya. Membantu orang lain juga bisa membuat rasa percaya diri dengan kemampuan seseorang.
Selain itu, dengan menjadi relawan bertujuan untuk memperluas networking. Pastinya, networking sangat diperlukan bagi relawan yang ingin mendapatkan informasi seputar kerelawanan. Makanya, kamu harus mencari orang-orang yang sudah berpengalaman menjadi relawan. Sementara itu, jika networking kamu lebih luas lagi dengan relawan, maka kamu akan mendapatkan informasi terbaru mengenai relawan. Bukan hanya itu, networking juga sangat berpengaruh pada karier kamu selanjutnya. Caranya, dengan menjalin relasi dengan baik. Belajar dari orang yang memiliki pengalaman akan membantumu agar bisa lebih adaptif dalam menjadi relawan. Dengan menjadi relawan kamu akan banyak bertemu orang dengan berbagai latar belakang membuka kesempatan munculnya ide-ide baru. Disamping itu, networking juga membantu dalam personal branding.
Tentu saja membangun jaringan yang baik juga sangat penting bagi relawan yang ingin belajar lebih banyak tentang kerelawanan. Karena itu, seorang individu harus mencari seseorang dengan pengalaman sukarelawan yang mumpuni. Sementara itu, dengan tetap mengikuti perkembangan relawan agar jaringan relawan semakin berkembang. Tidak hanya itu, jaringan memiliki dampak besar pada karir seseorang. Selanjutnya, tinggal bagaimana implementasinya dapat membangun hubungan yang baik. Belajar dari orang yang berpengalaman akan membantu seseorang beradaptasi dengan pekerjaan sukarela. Menjadi sukarelawan membuka peluang bagi untuk bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang dan menghasilkan ide-ide baru. Jaringan juga membantu membangun personal branding.
Sehingga dari sini, dapat diartikan bahwa pada dasarnya menjadi relawan harusnya dipandang sebagai suatu upaya maju bagi setiap orang dalam mengatasi masalah. Jadi, apabila stigma kata “Relawan” di tengah Pandemi ini merupakan seorang pengangguran berkualitas yang kerjaannya hanya mengisi waktu kosong, tentu telah salah diartikan.
Bicara Data Akan Dampak Rasa Sepi
Setelah pandemi melanda hampir setiap negara tak terkecuali Indonesia dalam satu setengah tahun terakhir, pengalaman rasa sepi menjadi tak terelakkan, Sebab itu pantas saja relawan merupakan profesi baru yang bermanfaat untuk bisa menjaga keseimbangan.
Selama pandemi, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mendorong pemerintah untuk memperhatikan isu fenomena kesepian pada saat berbagai pembatasan diberlakukan. Isolasi sosial dan kesepian meningkatkan risiko masalah fisik dan psikologis. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah berupaya untuk mendorong pemerintah guna menyikapi fenomena “kesepian” akibat pembatasan yang telah diterapkan. Akibat kebijakan itu, pembatasan sosial dan rasa kesepian secara tidak langsung meningkatkan tekanan fisik dan psikologis yang berisiko.
Sebuah survei tahun 2012 di Jerman, jauh sebelum pandemi, mengungkapkan bahwa sekitar 10,5% orang dewasa dengan usia rata-rata 54,9 melaporkan mengalami kesepian. Kesepian yang dialami itu dikaitkan dengan risiko depresi, pikiran untuk bunuh diri, dan gangguan kecemasan.
Lebih lanjut, dari tulisan Eva Suryani, dan Nicholas Hardi, Peneliti dan Psikiater, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya mengungkapkan, sebuah survei di Indonesia pada Mei dan Juni 2021 menemukan 98% dari 5.211 orang dari enam provinsi di Pulau Jawa merasa kesepian dalam sebulan terakhir sebelum dilakukan survei.
Diketahui, faktor resiko yang membuat seseorang rentan mengalami kesepian bahkan depresi berat disinyalir dapat berupa orang dengan masalah kejiwaan, gangguan fisik kronis, dan jarang berinteraksi sosial. Bisa juga karena masalah ekonomi selama situasi pandemi seperti menurunnya penghasilan pegawai, meningkatnya angka pengangguran.
Oleh sebab itu, menjadi relawan, dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan mental dan rasa sepi juga sangat membantu mengatasi masalah tersebut. Terlepas dari itu juga, dengan menjadi relawan juga dapat menunjang karir maupun tingkat kepercayaan diri suatu individu.
Menjalin Relasi Sosial Dengan Menjadi Relawan
Perlunya untuk menjangkau dan membangun lingkaran sosial dengan menjadi relawan termasuk upaya yang bermanfaat guna meminimalisir proses penyakit kesepian. Selain menangkal anggapan bahwa menjadi relawan hanyalah seorang pengangguran berkualitas. Relasi sosial dengan menjadi relawan juga mampu menambah wawasan serta pengalaman yang mungkin tidak orang lain dapatkan.
Interaksi ini bisa dimulai dari hal-hal yang sifatnya sederhana, seperti dengan mengucapkan salam secara rutin kemudian melanjutkan percakapan hingga interaksi sosial dapat dipertahankan. Proses komunikasi yang telah berjalan membantu mengurangi rasa sepi sekaligus argumentasi relawan hanyalah penggangguran yang istimewa pun terbantahkan dengan elegan dan penjelasan yang logis. Jadi, sudah sepantasnya stigma pengangguran berkelas yang ditutupi dengan kata relawan telah salah diartikan melihat berbagai macam manfaat dan kegunaan seperti dijelaskan di atas.