Ada berbagai pengertian yang menjadi paham bagi setiap orang di negeri ini. Pun untuk kesehatan. Menurut KBBI, kesehatan adalah baik seluruh badan beserta bagian-bagiannya. Sedangkan WHO mengatakan bahwa kesehatan adalah keadaan yang sempurna baik fisik mental maupun sosial, tidak hanya terbatas dari penyakit atau kelemahan/cacat. Pengertian tersebut menjadi pengingat betapa kesehatan sangatlah penting. Fisik dan mental, keduanya tidaklah perlu siapa yang harus didahulukan atau dibelakangi. Keduanya memiliki kedudukan yang sama. Meski seharusnya seperti itu, namun kenyataanya adalah, stigma dan pandangan masyarakat tentang penderita kesehatan mental sangatlah miris, terlebih untuk pelaku ODGJ yang selama ini hidup dengan stigma buruk di tengah masyarakat.
ODGJ atau Orang dengan Gangguan Jiwa seolah hal tabu yang tak seharusnya menjadi obrolan serius di tengah masyarakat. para ODGJ yang sebenarnya kesepian atas setiap masalah yang dihadapi, semakin menyedihkan dengan ketika dirinya harus benar-benar keluar dari mayoritas masyarakat. Alih-alih ditemani dan diberi ruang, masyarakat justru dengan asyik mengucilkan, mencemooh, menyakiti secara fisik, bahkan ada yang sengaja meramu untuk tingkahnya agar menjadi bahan tawa dan kesenangan mereka. Atas segala duka yang menimpa ODGJ, mereka benar-benar berharga dengan segala hal yang terjadi namun tak pernah melakukan hal buruk pada orang lain.
Sebut saja R, latar belakang tulisan ini. Selain jelangnya hari kesehatan mental dunia Oktober nanti, R menjadi titik balik saya untuk mengulik seberapa jauh sosok ODGJ yang berharga dengan segala dukanya. R tetangga saya, bertahun-tahun menjadi pelaku ODGJ, tak lekas menjadi penyintas, beliau tak sedikit pun berlaku layaknya hal yang harus ditakuti seperti ekspresi anak kecil saat melihatnya. Saat melihat raut wajahnya yang bicara tanpa henti, dan kadang tertawa tanpa sebab. Entah apa yang ia tertawakan, mungkin saja Skizofrenia nya membawa beliau pada jiwa terbang tanpa batas. Menjadi ODGJ dan kehidupannya yang tak merugikan siapapun, tak lekas membuat R dianggap baik di mata masyarakat. Masyarakat kami senang menertawai dan kadang begitu usil meraba-raba tubuhnya, lalu sesekali mencubit atau menarik baju yang ia kenakan. Namun alih-alih membalas, R justru sempat bertahun-tahun menjadi sukarelawan kebersihan desa. Mengumpulkan sampah demi sampah lalu ia jadikan gunung di teras rumahnya. Kebiasaannya yang selalu berjalan jalan, membuat jiwa terbangnya memungut sampah demi sampah dan berhasil membuat desa kami menjadi bersih. Namun, itu tak lantas membuat pandangan masyarakat membaik, anggapan serta perilaku buruk tetaplah R terima. R tetaplah sosok ODGJ yang menjadi korban diskriminasi.
Sekilas tentang R yang menjadi alasan tulisan ini. Bagi saya, R dan para ODGJ lain di luar sana, hanyalah sedang butuh tempat dan orang yang tepat. Mereka, para ODGJ adalah sosok tak tertolong atas masalah hidup yang menimpanya. Mereka tidak memiliki tempat serta penyelesaian dari segalanya, hingga tidak menemukan jalan keluar lalu terperangkap dalam jiwa demikian. Namun, mereka tetaplah sosok berharga yang sepatutnya mendapat perlakuan sama bahkan seharusnya khusus. Mereka tetaplah sosok yang butuh pakaian layak, mereka tetaplah sosok yang butuh makan dengan layak dan enak, mereka tetaplah sosok yang patut merayakan setiap momen besar seperti yang mayoritas lakukan. Ditengah himpitan segala keruwetan negeri dan bumi ini, rasanya mengingat ini semakin tercekik. Rasanya semakin jauh kita melangkah lalu melupakan jutaan jiwa yang sedang mencari jiwanya yang hilang. Mereka, para ODGJ butuh tangan dan ruang dari kita yang berjiwa utuh. Saat ini pun nanti, sampai kapan kita akan menjadi jiwa-jiwa jahat kepada jiwa lainnya.
Dikutip dari dari kemkes.go.id bahwa, untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi Orang dengan Gangguan Jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia mempunyai potensi masalah dengan gangguan jiwa. Masalah ini cukup besar, karena 20% dari dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa. Data ini semakin menjadi kabar buruk saat mengetahui keberadaan Psikiater yang minim, jumlah Psikiater tercatat hanya sekitar 1.503 orang. Ini menjadi bahan obrolan serius, betapa kesehatan jiwa sedang menjerit meminta uluran tangan kita semua. Bahkan pendiri Emotional Health for All, Dr Sandersan Onie menegaskan, seharusnya sebagai individu kita harus mulai sadar jika memiliki tanda-tanda gangguan jiwa. Kesadaran ini menjadi langkah awal kita untuk bahu membahu menyelesaikan permasalahan kesehatan mental yang ada.
WHO menyebutkan dalam Mental Health Action Plan tahun 2013-2030, bahwa khususnya negara berkembang harus memperbaiki perencanaan pelayanan kesehatan mental dengan baik. Hal ini karena sebanyak 80% negara-negara berkembang masih belum memiliki perencanaan pelayanan kesehatan jiwa yang baik. kemudian sebanyak 50% negara berkembang belum memenuhi aspek hak asasi manusia (HAM) dalam mempraktekan pelayanan kesehatan jiwa. Untuk itu kata Celestinus, Indonesia harus menargetkan 20% ODGJ berat akan mendapatkan pelayanan kesehatan mental di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan pada tahun ini, 2022.
Undang-Undang No 18 tahun 2014 mengatakan bahwa, kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Meski demikian, hal yang paling mendukung adalah keterlibatan masyarakat secara intens dengan edukasi serta informasi tentang betapa pentingnya kesehatan jiwa. Agar diskriminasi dan stigma buruk tentang ODGJ lambat laun dapat hilang. Karena bagaimanapun, masyarakat adalah kunci utama bagaimana terealisasinya semua hal baik tentang kesehatan mental. Masyarakat yang memiliki kesadaran dan saling merangkul akan membuat permasalahan kesehatan jiwa mengerucut. Meski dengan segala kabar di negeri ini, harapan agar masyarakat dan siapapun dari berbagai elemen yang terlibat, tidak melupakan jiwa-jiwa mereka yang sedang hilang. Mereka, tetaplah sosok berharga yang menunggu jiwanya untuk kembali pulang dan saling memeluk.