Paylater, Konsumtif Kemudian?
Perkembangan teknologi saat ini semakin mempermudah kita dalam memenuhi segala kebutuhan sehari-hari. Melalui ponsel pintar yang kita miliki, semuanya seperti sudah ada dalam satu genggaman. Siapa yang menyangka 10 tahun setelah tahun 2002, kita menjadi terbiasa berbelanja tanpa perlu keluar rumah? Membeli baju keluaran terbaru di Makassar, sampai empat hari kemudian di Denpasar. Tentu kondisi semacam ini tidak pernah kita bayangkan pada saat itu. Meskipun sebenarnya pada tahun 2000an beberapa e-commerce sudah mulai muncul di Indonesia.
Sekarang ini, kita seakan-akan dimanjakan oleh teknologi. Kehadiran berbagai macam e-commerce menjadi “surga” bagi mereka yang gemar berburu produk keluaran terbaru setiap minggunya. Tanpa perlu ini dan itu, tinggal rebahan, masukkan ke keranjang, dan transfer uang kemudian. Bahkan fenomena yang terjadi saat ini adalah tidak sedikit dari kita yang membeli suatu produk atau jasa bukan atas dasar kebutuhan dan fungsinya. Namun, lebih kepada keinginan karena takut tertinggal dengan segala hal yang sedang viral. Istilah jaman sekarang sering menyebutnya sebagai Fear Of Missing Out (FOMO). Kondisi tersebut menunjukkan adanya ekosistem baru dalam sistem pasar yang sudah terbentuk saat ini. Bahkan, mungkin ada yang awalnya menentang segala kemudahan yang ada, justru berubah menjadi ketagihan. Kita bisa prediksi dengan perkembangan teknologi yang cepat saat ini, tidak berlebihan jika mengatakan semuanya akan jauh lebih mudah di masa yang akan datang.
Kemajuan dalam bidang ini tentu memiliki dampak positif dan negatif. Saya rasa dampak positifnya sudah terpapar jelas di awal tulisan ini. Berbagai kemudahan transaksi telah ditawarkan oleh masing-masing e-commerce untuk berlomba-lomba menjual produk yang dipasarkan di tempat mereka. Salah satu bentuk kemudahan transaksi yang ditawarkan kepada konsumen adalah paylater. Beli sekarang, bayar belakangan (paylater) adalah metode pembayaran digital yang memungkinkan kita sebagai konsumen untuk menyicil pembayaran sebuah produk atau jasa. Sistem pembayaran semacam ini memungkinkan konsumen untuk mendapatkan barang atau jasa tanpa perlu membayarnya terlebih dahulu. Konsumen biasanya diwajibkan membayar dalam tempo tertentu yang disesuaikan dengan kebijakan masing-masing e-commerce.
Namun, sadarkah kita bahwa ekosistem yang terbentuk tersebut justru membentuk kebiasaan yang mengarah pada hal yang negatif? Hal yang dimaksud negatif itu adalah perilaku konsumtif. Mungkin tidak tepat jika dikatakan perilaku konsumtif ini muncul karena adanya paylater. Karena bibit perilaku konsumtif ini pada dasarnya sudah ada di lingkungan sosial masyarakat sebelum paylater muncul. Lebih tepatnya mungkin kita bisa mengasumsikan bahwa keberadaan paylater ini dapat menjadi pemantik tumbuh dan berkembangnya perilaku konsumtif di masyarakat. Mari kita coba refleksikan melalui tulisan ini. Apakah kita sudah menunjukkan tanda-tanda mengarah pada sifat tersebut?
Terkadang sebagai konsumen kita tidak sadar seberapa banyak pengeluaran yang kita gunakan melalui e-commerce. Meskipun kita tidak berbelanja dalam nominal yang besar namun jika dengan intensitas yang tinggi menjadikan semuanya terlihat sama saja. Kita berfikir mengeluarkan uang dengan jumlah besar di awal terasa sangat berat untuk dilakukan. Padahal dalam sudut pandang perilaku konsumtif, berbelanja dengan nominal yang rendah sekalipun namun dalam intensitas yang tinggi, pikiran yang berat di awal tersebut seakan-akan bisa hilang. Biasanya pikiran yang terasa berat tersebut akan muncul kembali saat kita mengkalkulasi total pengeluaran yang sudah kita gunakan.
Konsumtif dalam KBBI sendiru diartikan sebagai konsumsi, yaitu hanya memakai dan tidak menghasilkan sendiri. Sehingga bisa disimpulkan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku yang menggunakan uang tanpa didasari atas aspek kepentingan dan kebutuhan. Lantas mengapa paylater dapat dikatakan sebagai pemantik tumbuh suburnya perilaku konsumtif?
Kita sepakat bahwa kebutuhan itu selalu ada. Tentu saja berbelanja dengan kemudahan yang ada saat ini berdampak besar pada kehidupan kita. Sehingga, tidak etis juga jika kita menyalahkan kemajuan teknologi yang ada ini sebagai sebuah bencana seutuhnya. Namun, satu hal yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana kita sebagai manusia yang dipenuhi oleh rasa keinginan menyikapi untuk mengendalikannya. Tendensi yang menunjukkan pergeseran antara kebutuhan dan keinginan itu terlihat jelas dari perilaku konsumtif ini. Hal-hal yang sifatnya kebutuhan mulai kalah dengan hal-hal yang sifatnya adalah keinginan. Keberadaan paylater saat ini semakin memfasilitasi keinginan kita yang jumlahnya tidak terbendung itu. Secara konsep sudah jelas metode transaksi paylater mempermudah kita untuk mendapatkan barang dan jasa yang kita inginkan. Secara aspek etis, tentu saja hal yang dilakukan oleh e-commerce dengan menyediakan metode paylater ini tidaklah salah. Karena konsep mereka dirancang untuk memudahkan konsumen dan mampu menjual produk sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat. E-commerce dalam hal ini mampu melihat perilaku konsumen yang sudah terbentuk. Mereka sadar bahwa keputusan konsumen untuk membeli suatu produk atau jasa bisa berubah dalam waktu sepersekian detik. Sehingga, konsep paylater ini mampu menghilangkan keraguan konsumen untuk berbelanja karena masalah uang atau nominal barang yang diperjual belikan terlalu mahal.
Rasa ingin yang dimiliki oleh konsumen juga merupakan hasil konstruksi sosial. Kita tinggal di lingkungan sosial yang memiliki dinamika yang sangat cepat saat ini. Sifat tidak mau kalah dan selalu berkompetisi adalah sifat alamiah dalam hal bertahan hidup yang dimiliki oleh manusia. Karena dua sifat tersebut secara tidak langsung menuntun kita untuk mampu “bertahan hidup” di dalam lingkungan sosial. Unsur kemewahan dan rasa tidak puas diri menjadi hal yang semakin banyak kita temukan saat ini di masyarakat.
Adanya media baru juga menjadikan konsumen menghadapi tsunami informasi yang di dalamnya tidak bisa dipungkiri terkandung nilai-nilai yang mendorong terbentuknya perilaku konsumtif. Nilai-nilai kemewahan dan hedonisme tersebar secara masif melalui tayangan di media baru. Konten bernuansa pamer kekayaan sudah menjadi hal yang lumrah saat ini. Seakan-akan keputusan untuk menjadi pribadi yang sederhana dan berkecukupan adalah hal yang munafik untuk dilakukan.
Namun, kita sebagai konsumen sebenarnya mampu untuk mengendalikan perilaku ini. Karena pada konsepnya, kita sebagai pribadi memiliki hak penuh atas kendali terhadap tubuh dan pikiran kita. Jangan sampai kita sebagai konsumen terbawa arus perilaku konsumtif ke depannya hanya karena berbagai kemudahan transaksi yang ada saat ini. Semakin bijak kita menyikapi kemudahan, maka semakin baik juga kedepannya.
Mungkin hal terkait pengeluaran adalah ranah privat masing-masing pribadi. Sehingga benar atau salah sebuah keputusan pembelian kembali lagi pada diri kita masing-masing. Akan tetapi, tidak ada salahnya sejak era digital dengan berbagai kemudahan transaksinya saat ini, kita bisa menyikapi masalah perilaku konsumtif ini tidak hanya sebatas hal yang normatif semata. Namun ada baiknya juga kita bisa menyikapinya sebagai bentuk pengendalian diri.
Daftar Pustaka:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konsumtif
Laili, I.N. (2022). Memahami arti konsumtif indicator dan dampaknya. Diakses pada 29 September 2022 di https://katadata.co.id/safrezi/berita/61ef7e4f41753/memahami-arti-konsumtif-indikator-faktor-dan-dampaknya