Benarkah Fenomena Fandom Berpengaruh Pada Kesehatan Mental?
Setiap orang mungkin memiliki perspektif tersendiri terhadap sosok idolanya. Ketampanan, kecerdasan, dan kegigihan dalam bekerja adalah beberapa alasan yang mampu mengubah seorang manusia biasa menjadi sebuah objek untuk diidolakan. Penggemarnya, tidak hanya satu dua orang, melainkan sampai ratusan bahkan ribuan orang. Istilah ini sering kita dengar dengan sebutan fandom.
Beberapa tahun belakangan ini, trend mengidolakan artis kulit putih berhidung mancung serta memiliki paras yang tampan dan cantik sedang digandrungi. Siapa lagi kalau bukan para oppa dan ahjussi Korea. Tak hanya kalangan remaja yang hanyut dalam trend ini, ibu-ibu golongan penggemar Mas Al dalam serial ikatan cinta pun banyak yang mulai tertarik untuk bergabung ke dalam fandom idolanya masing-masing. Awalnya hanya penasaran, tapi lama-lama mungkin membuat ketagihan juga.
Bagi yang tidak tertarik dengan fenomena ini, fandom mungkin dianggap sebagai suatu perkumpulan yang tidak bermanfaat dan membuang-buang energi. Voting idola, streaming drama, mendengarkan lagu, bahkan sampai rela mengeluarkan uang demi mendapatkan merchandise dari idolanya dianggap sebagai kesenangan yang semu saja. Selain itu, fandom sering disebut-sebut sebagai pencemar nama baik idolanya karena sikap fanatisme mereka.
Memang tidak semua fandom memiliki sikap fanatisme. Namun, yang sering terdengar dan terlihat oleh kebanyakan orang adalah perilaku yang merusak citra idolanya.
Sikap fanatisme yang melekat pada fandom menyebabkan seseorang haus akan kebahagiaan. Kehausan inilah yang membuat mereka rela melakukan segala cara agar keinginannya terpenuhi. Itu artinya, perilaku celebrity worshipping atau pemujaan selebriti sudah melekat pada sebuah fandom. Perilaku fandom yang sudah mencapai titik fanatisme ini terdiri dari 3 dimensi. Menurut Maltby dkk (2005), terdapat 3 dimensi yang kontinum berdasarkan oleh intensitasnya, yang terdiri dari:
- Entertainment Social, yaitu penggemar tertarik pada selebriti favorit mereka karena selebriti tersebut dapat menghibur dan menjadi pusat fokus sosial. Pada dimensi ini, penggemar mencari informasi mengenai selebriti favorit mereka dan senang membicarakan selebriti favorit mereka dengan orang lain terutama dengan orang yang memiliki idola yang sama.
- Intense Personal, yaitu penggemar merasakan perasaan yang lebih intim dan kompulsif terhadap selebriti favoritnya dan memperlihatkan rasa obsesif terhadap selebriti idolanya. Pada dimensi ini penggemar memiliki empati yang tinggi terhadap idolanya. Seperti, penggemar ikut merasakan kesedihan idolanya atau penggemar ikut merasakan kebahagiaan jika idolanya bahagia atau mengalami sesuatu hal yang baik.
- Borderline Pathological, yaitu penggemar menampilkan perilaku yang tidak terkendali dan mulai mengembangkan fantasi terhadap idolanya. Hal ini ditambah dengan gambaran bahwa penggemar bersedia melakukan apa saja demi idola mereka meski hal tersebut melanggar hukum sekalipun. Pada dimensi ini penggemar memiliki keyakinan bahwa idola mereka akan melakukan hal yang sama terhadap mereka. Perlu disadari bahwa kegemaran yang berubah menjadi obsesi atau fanatisme adalah hal yang tidak sehat lagi untuk diteruskan.
Akan tetapi, jika dilihat dari sisi positifnya, fandom ternyata juga baik untuk kesehatan mental. Hal ini dibuktikan dalam sebuah jurnal Psikoislamedia Jurnal Psikologi. Singkatnya, interaksi yang terbentuk dari para anggota fandom bisa memunculkan kepercayaan diri. Kepercayaan diri ini timbul karena adanya ikatan batin antara sesama anggota fandom sehingga mampu menciptakan semangat dalam mencapai tujuan hidup. Selain itu, bertemu orang baru yang memiliki kesamaan hobi bisa menjadi sebuah support system untuk diri sendiri. Hal tersebut akan memicu keberanian untuk bergerak dan menghilangkan segala ketakutan. Dengan demikian, orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi akan lebih mudah mengenali potensi dirinya sendiri sehingga bisa lebih produktif dalam mencapai tujuan hidupnya.
Saya sendiri juga setuju jika sebuah fandom bisa menjadikan orang-orang di dalamnya lebih produktif. Buktinya, sudah banyak karya yang tercipta karena terinspirasi dari idolanya. Kegigihan, ketampanan, perilaku baik, dan semua pencapaian yang dimiliki oleh idola mampu memotivasi para fansnya untuk melakukan hal yang sama. Syaratnya, sebagai fans kita harus paham porsi, tidak berlebihan dan tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Lisa Bahar si terapist remaja pernah mengatakan, “Pastikan agar menjadi penggemar tidak berkembang menjadi obsesi. Obsesi itu meleburkan fiksi dengan kenyataan dan itu mengganggu kualitas hidup seseorang serta berpengaruh pada kesehatan mental.”
Obsesi merupakan satu hal yang mampu menghancurkan manusia karena bisa mengacaukan nalar dan kemampuan berpikir. Dari sinilah kita seharusnya paham hal apa yang betul-betul menjadi hobi dan apa yang menjadi obsesi. Supaya hobi tidak berubah menjadi obsesi, maka kita harus cermat dalam memilih lingkungan. Fandom akan bermakna positif jika lingkungan yang kita pilih juga positif. Namun, fandom akan bermakna negatif jika lingkungan yang kita pilih berisi orang-orang toxic yang selalu mengajak pada perpecahan.
Referensi:
Dr. Indrawan Nugroho. (2021). Fandom: Antara Kesehatan Mental dan Penyakit Patologis. Diakses pada tanggal 28 Januari 2022, dari https://www.youtube.com/watch?v=kRNz_xf9Hcc
Nurfadiah, R. T., & Yulianti, A. (2017). Konformitas dengan kepercayaan diri pada remaja komunitas pecinta korea di Pekanbaru. Psikoislamedia Jurnal Psikologi, 2(2), 1-12.
Gumelar, Sandy Agum, dkk. (2021). Dinamika psikologis fangirl K-Pop, 9(1), 18.
Maltby, J., Houran, J., & McCutcheon, L. (2003). A clinical interpretation of attitudes and behaviours associated with celebrity worship. The journal of nervous and mental disease vol.191, 25-29.