Kartini Era Literasi Digital : Jadilah Netizen Perempuan Cakap Literasi Digital
Revolusi Industri 4.0 banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti kita ketahui bahwa era Revolusi Industri 4.0 menitikberatkan pola pada digitalisasi. Tentu saja percepatan digitalisasi perlu perlu dilakukan agar dunia digital bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, khususnya kaum perempuan yang dapat memanfaatkan peluang di era digital. Media digital dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal yang sangat familiar, hampir semua manusia memanfaatkan teknologi internet untuk mengakses platform digital sebagai sumber informasi pengetahuan. Sebagai perempuan, calon ibu atau saat ini sudah berstatus seorang ibu, kita harus cakap berliterasi, seorang ibu merupakan jendela informasi bagi keluarga terkecil kita dan lingkungan sekitar.
Literasi digital ini tentunya saja memiliki peranan sangat penting bagi perempuan, salah satunya adalah dalam pola pengasuhan anak, pengawasan penggunaan teknologi, rendahnya literasi digital berakibat anak kecanduan gadget, kecanduan menjelajahi informasi pornografi, untuk itu kita sebagai perempuan harus memiliki wawasan yang luas, cakap literasi digital yang mampu memberikan pengetahuan dan memberikan perlindungan keluarga.
Jadilah kartini era digital, cerdas dalam memanfaatkan teknologi dalam kehiduapan sehari-hari, jangan sampai sebagai perempuan kita mengalami kekerasan online dan cyber crime, atau justru orang-orang terdekat kita menjadi bagian dari pelaku kekerasan online tersebut. Jangan sampai ketidaktahuan kita, atau media digital yang kita gunakan hanya untuk membullying, menggunankan jari-jari kita dengan literasi yang tidak bertanggung jawab. Jadilah netizen perempuan yang memberdayakan diri melalui literasi, berhati-hati dalam menyampaikan informasi jangan sampai kita termakan berita hoaks.
Sebagai kartini era digital, dengan segala kemudahan teknologi yang ada, gunakanah media social bukan sekedar membagikan foto, tapi manfaatkanlah media social untuk bercerita, membuat konten literasi yang bermanfaat untuk orang lain, mengembangkan diri melalui literasi digital. Berselancar di dunia maya yang tak ada batasan tentu saja harus diimbangi dengan pengetahuan yang luas. Pengetahuan era digital dapat kita peroleh dari mana saja, kalau dulu mungkin kita harus membaca buku, mengikuti penyuluhan, bahkan seminar yang berbayar untuk memperoleh pengetahuan lebih, sebagai contoh dulu untuk mengetahui tentang parenting anak, kita harus membeli buku terlebih dahulu, atau ketika ada seminar mengenai hal tersebut tidaklah gratis, belum lagi kita harus mengeluarkan kocek lebih jika lokasinya jauh dari tempat tinggal kita.
Sangat jauh berbeda dengan era digital saat ini, kita dapat mencari informasi tentang parenting anak di berbagai media, seminar / webinar online secara gratis dapat kita ikuti kapan dan dimanapun,kita dapat bertanya dengan para ahli, serta berbagi informasi yang kita dapat melalui media social, cerdas berliterasi bukanlah dituntut untuk menjadi seorang penulis atau harus menerbitkan buku, cerdas literasi di era digital perempuan dapat menggunakan media social untuk mencari informasi dan membagikan informasi, tentu saja informasi yang kita bagikan haruslah valid, jangan sampai kita disebut penyebar berita hoaks.
Jadilah netizen perempuan yang cakap digital, miris rasanya ketika ada pemberitaan netizen perempuan merupakan porsi terbanyak sebagai pelaku sekaligus korban kekerasan verbal pada media social, rata-rata setiap 30 detik perempuan mengalamai kekerasan verbal di twitter, cuitan bernada pelecehan dan cuitan bermasalah yang ditujukan pada perempuan sejumlah 1,1 juta berdasarkan survey yang dilakukan oleh Amnesty International dan dilansir oleh Geek pada tahun 2018. Seharusnya sesama perempuan tidaklah harus merendahkan, sebagai perempuan kita harus saling support, bahkan ketika ada perempuan lain yang melakukan kesalahan kita tidak patut menghakimi apalagi sampai menuliskan kata-kata yang kasar, kalau dulu pepatah mengatakan mulutmu adalah harimaumu sekarang jarimu adalah harimaumu, kalau masih ada yang beranggapan bagaimana mungkin hanya dengan jari yang kita gunakan bisa menyakiti orang lain, bahkan bisa membuat depresi seseorang, atau masih banyaknya yang beranggapan hal tersebut merupakan risiko bermedia social serta menormalisasi praktik yang meggangaggu secara psikis. Kenyataannya memang luka yang disebabkan kekerasan verbal membutuhkan waktu pemulihan yang lama, luka yang tak nampak oleh mata tersebut tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan seperti luka fisik, kalimat –kalimat yang terus kita lontarkan secara berulang dab berkepanjangan dalam keseharian mampu membunuh jiwa yang kuat sekalipun, mengubah mereka menjadu rapuh, dan tidak percaya diri, depresi yang luar biasa, bahkan bisa saja melakukan percobaan bunuh diri dikarena tidak sanggup lagi mengatasi kekersan verbal yang dialaminya.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika kita sebagai perempuan menjadi netizen yang cakap digital, sudah jelas kita harus berhati – hati dalam bermedia social bahkan hal tersebut sudah diatur dalam Undang-undang ITE No 11 tahun 2008 pasal 27 ayat 3 yang menyebutka melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. rendahnya literasi digital perempuan menjadi salah satu penyebab masih banyaknya perempuan menjadi korban atau justru bagian dari pelaku kekerasan verbal itu sendiri, bahkan rendahnya literasi digital bisa saja membuat kita terjerat undang – undang ITE tersebut.
Cerdas dan bijaksanalah bermedia social, kemudahan dan kebebasan yang kita dapat untuk berliterasi harus diimbangi dengan pengetahuan, jangan sampai kita sebagai perempuan menjadi pelaku atau korbah dari kejahatan dunia maya, sebagai netizen perempuan harus pandai-pandai mencerna dan memahami informasi yang kita dapat pastikan ketika kita menyampaikan infomasi tersebut valid jangan sampai kita menjadi bagian penyebar berita hoaks, hal ini sudah jelas diatur undang –undang ITE, misalnya untuk penyebar berita hoaks, Setiap orang menyebarkan berita bohong atau hoaks yang termasuk dalam pasal 28 UU ITE ini akan dipidana dengan ancaman pidana paling lama enam tahun atau denda paling banyak sebesar satu miliar rupiah, ini jelas terdapat pada Undang-undan ITE Nomor 11 Tahun 2008. Jangan sampai kita terjerat undang – undang tersebut.
Hal – hal yang diatas tentu tidak akan terjadi jika kita menjadi Kartini di era digital, yang cakap berliterasi digital, gunakanlah media social untuk mengembangkan diri, mengeksplor kemampuan yang kita miliki, mulailah dari apa yang bisa kita lakukan untuk orang-orang terdekat kita, lingkungan terdekat kita, dari hal-hal sederhana, membagikan cerita yang bermanfaat untuk orang lain, maksimalkan fasilitas yang ada dengan segala kemudahan yang kita dapat, di era digital ini, jangan sampai kemudahan dan kebebasaan yang kita dapat tidak seimbang dengan kecakapan literasi digital yang kita miliki, ketidakseimbangan itulah yang menjadi penyebab kita sebagai perempuan menjadi korban, bahkan pelaku kejahatan dunia maya, kekerasan verbal, bahkan penyebar berita hoaks. Jadilah bagian dari netizen perempuan yang cakap literasi digital, belajar mengekspresikan pendapat yang bernada positif, yang perlu diingat perempuan merupakan jendela informasi bagi keluarga terkecil kita dan masyarakat sekitar.