Harus Dibenahi!! Aksi Demonstrasi Sebagai Bentuk Mengkritisi, Bukan Ajang Eksistensi

profile picture Galih Priyo

Tidak bisa dipungkiri bahwa di rezim presiden ke 7 ini sering sekali terjadi aksi demonstrasi. Terhitung sejak tahun 2019 hingga saat ini saja aksi demonstrasi sudah terjadi hingga puluhan kali di berbagi daerah dan temanya lagi-lagi tidak lepas dari masalah "Ekonomi".

Kilas balik sejarah aksi demo yang hingga kini tidak bisa dilupakan diantaranya adalah demonstrasi Tritura (1966) dan Demonstrasi Reformasi (1998), Aksi demo yang begitu mengguncang pemerintah memberikan dampak yang luar biasa bagi bangsa Indonesia hingga mampu menggulingkan sebuah rezim. Lebih dari itu dampak yang diakibatkan dari aksi demonstrasi bagi para demonstran sendiri juga tidak bisa di anggap sepele tidak hanya sekedar susah payah menguras tenaga dan pikiran, hingga diantara mereka ada yang harus menjadi korban yang hingga kini pun masih menjadi catatan sejarah tragedi kelam yang sebagian orang masih menggugat keadilan atas tragedi tersebut. 

Dewasa ini banyak orang menyayangkan aksi demonstrasi sekarang tidak seganas dulu dan terkesan hanya untuk mencari sensasi. Terlihat di media sosial ketika ada sebuah postingan atau konten yang menampilkan aksi demonstrasi tidak sedikit netizen mengomentarinya dengan ungkapan yang menunjukkan keraguan, prihatin bahkan bullyan dan membanding-membandingkan dengan aksi demonstrasi di era dulu. "Jangan naikan BBM naiki saja aku, ada yang berdiri tegak tapi bukan keadilan" (salah satu tulisan di poster milik demonstran) belum lagi kata-kata yang dikeluarkan beberapa terdengar nyleneh sehingga menyeleweng dari tujuan aksi demonstrasi. Hal semacam ini agaknya kurang pantas jika dijadikan sebagai bahan kritikan terhadap pemerintahan, alih-alih mendapat pujian malah menuai bullyan, kritik yang seharusnya kritis malah menggelitik. Demonstrasi yang seharusnya sebagai bentuk mengkritisi malah dijadikan tempat eksistensi. Apa yang akan terjadi ? Dampak yang terjadi adalah menurunnya marwah demonstrasi dimata publik yang digadang-gadang sebagai "penyambung lidah rakyat". Demonstrasi dilakukan atas dasar kepentingan dan nasib rakyat ketika pemerintah memberikan sebuah kebijakan yang dirasakan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Kalau sudah hilang kepercayaan masyarakat terhadap aksi demonstrasi maka bisa-bisa tidak ada lagi yang membela nasib rakyat nomor dua setelah DPR, betul apa betul. 

Demonstrasi itu memang aksi yang bersifat keras serta memaksa dan kalau boleh saya menyebutnya upaya terakhir yang paling pamungkas, mengapa demikian? Karena ada upaya yang sudah mereka lakukan sebelumnya seperti membuat surat terbuka dan mengajak untuk musyawarah. Namun karena tidak didengar apalagi dilaksanakan maka akhirnya mereka melakukan tindakan pamungkas tadi yang lebih tegas dan mendesak yaitu seruan untuk turun ke jalan. Dan barulah ketika sudah turun kejalan mereka para pejabat pemerintahan mau bergerak. Berkaca pada peristiwa Rengasdengklok dimana ketika golongan muda bermusyawarah dengan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta untuk meminta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, namun karena menolak akhirnya golongan muda dengan nekat membawa Ir. Soekarna dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok untuk di desak agar bersedia segera memproklamasikan kemerdekaan, hingga akhirnya tanggal jumat 17 Agustus 1945 menjadi hari dimana pertama kali proklamasi kemerdekaan dibacakan. Jika tidak ada desakan (tindakan yang lebih tegas) oleh golongan muda saat itu mungkin kita tidak akan memperingati HUT kemerdekaan RI di tanggal 17 Agustus. 

Maka dapat kita pahami bahwa harus ada tindakan yang tegas apabila ingin melakukan kritik terhadap pemerintah. Walaupun demikian, meskipun keras, tegas dan memaksa aksi demonstrasi harus tetap mengedepankan yang namanya etika sehingga tidak ada unsur pelecehan dan penghinaan. Sudah terjadi beberapa demonstran dari beberapa aksi demonstrasi yang diamankan oleh aparat karena terlalu berlebihan dalam aksinya seperti mengeluarkan kata-kata "toxic" yang seharusnya tidak perlu sama sekali, lebih parahnya lagi setelah diamankan kemudian ditanya tujannya apa melakukan demonstrasi tidak bisa menjawab, entah karena takut, kurang paham, kehabisan kata-kata atau gimana. Ini problem yang harus dibenahi.

Dari kejadian tersebut serta menilik berapa banyak kerugian akibat aksi demonstrasi seperti terganggunya mobilisasi masyarakat, kerusakan materiil, sampai terjadi kekerasan fisik akibat bentrokan dengan aparat yang mencoba menertibkan demonstran. Maka saya rasa penting untuk kita kembali melakukan refleksi dan diskusi melalui forum, organisasi maupun komunitas dengan mengusung tema "pembenahan aksi demonstrasi" dengan tujuan lebih mematangkan para demonstran agar dapat berdemonstrasi dengan baik sehingga pandangan negatif terhadap aksi demonstrasi kembali jernih di mata publik, tidak ada lagi yang menyebut aksi demo hanya untuk eksistensi saja, demonstrasi itu harus tertib, bersih, murni dari hati nurani untuk kepentingan rakyat. Karna saya sendiri sedikit gusar kalau tidak ada lagi aksi demonstrasi, jika negara masih terasa carut marut. Tetapi jika tidak ada aksi demonstrasi dikarenakan negara sudah istiqomah untuk sejahtera, damai, sentosa seperti Finlandia dan Konoha, mungkin bisa menenangkan hatiku.

3 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
3
0
profile picture

Written By Galih Priyo

This statement referred from