Detoksifikasi Royalitas Dalam Tongkrongan
Sumber foto: canva.id
Sepuluh dari sebelas kalian yang membaca ini pasti memiliki suatu circle atau teman yang dimana salah satunya ialah memiliki sifat royal, atau anda sendiri bisa jadi adalah orangnya?
Dan meskipun Anda bukan orangnya, pasti Anda sangat menyukai teman-teman yang seperti itu, bukan?
Bahkan salah satu dari kita mungkin sangat lengket dengannya. Sungguh munafik bila kita tidak mengkui itu.. Demikian pula dengan saya.
Tadinya saya sangat suka teman seperti itu, sebelum akhirnya saya mengumpulkan niat untuk menulis artikel ini, saya jadi sedikit berubah pikiran.
Dewasa ini sudah menjadi fenomena wajar, saat kita berada dalam ruang lingkup tongkrongan atau pertemanan, kita dipertemukan oleh seorang atau lebih yang memiliki sifat royal kepada kita, bahkan mungkin jika kita masuk ke ruang lingkup seperti lingkungan sekitar, termasuk tetangga, atau kerabat hingga keluarga, selalu saja ada yang berperilaku demikian.
Tentu hal ini adalah merupakan kebaikan moral yang patut kita apresiasi dan hormati, selagi itu sangat membantu kita dalam berbagai hal atau dalam momen-momen tertentu. Kenapa tidak?
Namun bagaimana bila, jika dibalik keroyalan seseorang ada sesuatu yang secara diam-diam mampu membuat kita takluk, baik secara sikap maupun prilaku. Sesuatu ini selalu membersamainya, dan kita selalu tidak sadar akan hal ini.
Saya menulis artikel ini dengan sadar ingin mengdisclaimer bahwasannya ini bukanlah semata tentang glorifikasi saya terhadap prilaku moral royalitas tadi kedalam bentuk negatif. Tentunya keroyalan adalah prilaku yang patut dihormati dan diapresiasi. Namun kendati bisa jadi demikian, dalam artikel ini saya ingin mengulasnya sedikit, sesuatu yang secara diam-diam membuat kita takluk dan tunduk yang akan saya kemas kedalam sebuah afirmasi opini saya.
Dan sekiranya dapat saya prediksikan bahwa akan banyak orang keberatan dengan gagasan saya dan mungkin ada yang tidak.
Lalu apakah sesuatu itu? Dan mengapa demikian?
Saya jamin bahwa sesaat sehabis kalian membaca artikel ini, kalian akan memiliki satu diantara dua reaksi; reaksi yang pertama yaitu menyesal dan reaksi yang kedua ialah tidak sama sekali.
Ketika kita membayangkan tentang royalitas, tentu kita akan membayangkan suatu tindakan dan perilaku atau sikap yang penuh dengan hormat dan memiliki tingkat moral tinggi, artinya seseorang yang melakukan hal ini atau mempunyai sifat ini adalah dia yang memiliki surplus budi pekerti.
Sifat atau perilaku ini bisa dibilang jarang dimiliki oleh banyak orang, karena jika saya berspekulasi berdasarkan pengalaman saya dalam kisaran satu sampai tiga dari sepuluh teman-teman yang saya punya adalah mereka yang memiliki sifat tersebut. Namun hal ini dinamis dan tidak menentu tetapi, berdasarkan apa yang saya alami persentasenya mengatakan demikian. Dan sisa dari sepuluh tadi adalah mereka yang meyemuti orang-orang ini. Termasuk saya.
Satu diantara kita alasan yang membedakan tidak memiliki sifat tersebut ialah barangkali karena kita masih berada dalam kubangan ekonomis dan masih bertindak secara hitung-hitungan. Jadi, adalah wajar ketika kita memiliki sesuatu atau berupa nominal yang kita punya kita sering memperhitungkannya terlebih dahulu.
Acap kali tangan kita sedikit berat untuk memberi sebab kita sendiri masih serba pas-pasan.
Sebaliknya, mereka yang merasa tidak berada dalam kubangan itu, ialah mereka yang punya potensi besar dalam memiliki sifat dan perilaku royal. Namun terkadang mereka yang secara kasat, baik berada dalam kubangan ekonomi ataupun tidak ialah bisa jadi memilikinya, sebab faktor ini tidak bisa kita jadikan variabel atau acuan yang pasti untuk mengklasifikasikan mereka yang royal atau yang tidak. Dan pastinya, yang mengatakan ini dan itu adalah diri kita sebagai subjek yang mengalami dan merasakan.
Intinya faktor ekonomi bukan acuan yang tepat untuk menentukan seseorang loyal atau tidak.
Didalam tulisan ini saya tidak akan mempermasalahkan seseorang itu royal atau tidaknya, melainkan saya ingin merumuskan suatu permasalahan dari sifat royal itu sendiri. Suatu rumusan masalah yang mencari masalah
Pernahkah sedari sebelum membaca ini kalian sadar atau setidaknya bertanya bahwa ‘apakah ada yang salah dengan sifat royal?’ atau ‘apakah ada yang memberatkan dalam sifat ini?’ kalau ada berarti apa ya?
Ketika saya memiliki banyak teman yang bersifat royal, saya selalu bergaul dan nongkrong dengan teman-teman itu. Saya seolah lengket dengan mereka. Tatkala dalam banyak momen mereka selalu tidak membiarkan saya mengeluarkan uang yang saya punya, dan itu hampir dalam setiap pertemuan atau quality time. Saat saya sadar atas kebaikan yang mereka berikan betapa bangganya saya waktu itu. Saya adalah satu diantara ribuan orang yang beruntung dikelilingi oleh teman-teman yang selalu royal.
Saat itu juga saya tidak pernah melupakan kebaikan mereka hingga saat ini.
Namun dibalik semua itu saya menemukan sebuah kecenderungan yang berjalan seiringan dengan intuisionis teman-teman saya itu. Dan sayang nya kecenderungan ini sulit kita deteksi tetapi menjadi secara diam-diam mendistraksi.
Saya akan bilang bahwa mungkin ini sedikit lebay, tetapi kelebayian ini akan membawa kita, baik termasuk anda yang setuju maupun yang tidak, menuju pada sesuatu yang saya klaim sebagai antipati dari sifat royal itu. Akan tetapi, antipati yang saya maksud adalah asosiasinya bukanlah suatu penolakan keras, melainkan suatu perasaan menentang terhadap kecenderungan yang membersamai royalitas tadi secara personal dan abstrak.
Dan kecenderungan ini saya akan menjelaskannya kedalam sebuah contoh kasus.
*Dalam suatu circle ada salah seorang teman yang katakanlah si A. Si A adalah salah seorang anak laki-laki dari keluarga kelas menengah yang keadaannya cukup ber’ada. Dia juga termasuk yang paling tebal dompetnya daripada teman-teman yang lain. Dan selain tebal dia juga salah satu yang paling muda di tongkrongan itu. Dalam setiap nongkrong dia merupakan si paling traktir atau yang selalu sering mentraktir, hingga kebutuhan-kebutuhan logistik lainnya yang selalu dibutuhkan saat nongkrong, dia selalu menanganinya. Namun seiring berjalannya waktu teman-temanya si A sudah ter opium oleh sifat keroyalannya si A ini. Alih-alih mengapresiasi royalitas, teman-teman si A selalu bergantung dan bergantung padanya. Hingga si A membiarkannya, karena dia merasa tidak keberatan. Namun dalam tongkrongan itu nama si A lah yang paling eksis, sampai dirinya yang selalu mendominasi. Namun keadaan yang paling umum si A ini adalah dia menjadi effortless. Alih-alih dia menyadari keroyalannya dia secara tidak sadar efek dari kemendominasiannya ia menjadi mempertuankan dirinya atas teman-teman yang lain. Sebab kecenderungan yang di timbulkan teman-teman si A adalah ketergantungan atas keroyalannya.
Dari contoh kasus di atas hal yang paling menonjol yang ditimbulkan adalah ketergantungan dan kecenderungan. Mulai dari kecenderungan teman-teman si A hingga si A sendiri. Bisa kita lihat bahwa masing-masing dari mereka memiliki kecenderungan yang saling berhubungan erat dan tidak terpisahkan.
Namun kecenderungan yang di miliki si A adalah yang berbeda, dan hal ini juga yang akan saya jadikan sebagai sebuah saripati permasalahan dari point artikel ini.
Kecenderungan yang ditampilkan si A ialah sebuah kecenderungan yang selalu membersamai dalam sifat royal nya. Ia tahu dirinya digandrungi dan disukai oleh teman-teman yang lain dan ia juga tahu bahwa teman-temanya sedang bergantung padanya. Jadi pada intinya efek dari kecenderungan si A ialah memberikan suatu afirmasi terhadap dirinya secara tidak sadar bahwa dia berhak atas apa yang menjadikan dirinya tuan.
Lalu kenapa tuan?
Kenapa muncul asumsi si A mempertuankan dirinya?
Padahal kan dia hanya royal dan tidak lebih, lalu apa yang salah?
Pasti dalam benak kalian tersangkut pertanyaan seperti itu, setidaknya salah satu diantaranya.
Baik, kenapa tuan? Atau mempertuankan?
Suatu ciri ketika si A mempetuankan dirinya adalah pada saat mulai timbul kecenderungan seperti effortless, contoh nya dia selalu merasa legowo untuk tidak melakukan apa-apa sebab dirinya adalah kunci dana atau peyumbang atas biaya nongkrong circle nya.
Dan kasus itu sangat relate atas apa yang terjadi didunia tongkrongan sekitar, termasuk yang pernah saya alami.
Dan yang paling parah efek dari kecenderungan ini adakalanya seseorang bertindak semena-mena karena telah merasa dirinya royal, hingga dia sudah tidak memperdulikan yang namanya adab seperti dia selalu menjadi mesin pesuruh atas teman-temannya meski teman-temannya sendiri lebih tua darinya.
Saat sebelum saya menulis ini, saya memikirkannya bahwa ini akan sedikit lebay dan cukup lemah jika kita lihat. Namun peneguhan saya hingga sekarang adalah bahwa jika kita menyadari hal ini, kita akan tahu bahwa ketika keduanya saling berkecenderungan dalam hal ini katakanlah antara si royal dan si lengket, maka kecenderungan ini akan menjadi kemenangan bagi si royal.
Dan bahayanya si royal akan sangat menjadi-jadi ketika dia secara tidak sadar mempertuankan dirinya maka, teman-teman di dekat nya khususnya yang lengket, akan sangat patuh dan tunduk. Dan inilah yang saya sebut sebagai sesuatu yang secara diam-diam itu. Karena pada kenyataannya sesuatu ini tidak pernah kita gugat atau keluhkan sama sekali.
Jika kita metaforkan bagaikan antara sibudak dan sipura-pura tuan.
Kepatuhan dan tunduk ini adalah sebuah gambaran bahwa untuk kita bila ingin menjadi tuan, ternyata kita bisa membelinya. Yaitu, dengan cara menjadi royal secara terus menerus, maka selamat Anda adalah seorang kandidat yang kuat untuk menjadi seorang tuan atas teman-teman Anda.
Dan kurang lebih dimensi tongkrongan hari ini sependek pemahaman saya ialah seperti itu. Dan ini juga merupakan salah satu faktor yang menjadi cikal bakal membikin dimensi sosial kita semakin cenderung monopolistik. Dimana orang yang berduit banyak, bertahkta, berjabatan tinggi selalu kita patuhi dan tunduk. Karena akibat kecenderungan tersebut membuat para tuan-tuan di dimensi sosial ini memiliki sifat kecenderungan monopolistik. Begitulah dunia saat ini bekerja barangkali.
Detoksifikasi royalitas adalah sebuah agenda penawar racun royalitas dalam tongkrongan yang racunnya sendiri adalah yang secara diam-diam membikin tunduk, takluk dan juga legowo hingga menjadi tuan atas teman-temannya. Juga suatu kampanye untuk kita sendiri-sendiri agar menyadari apa yang selama ini tersembunyi rapat dan tidak pernah digugat dan diusik tetapi menjadi cikal bakal kita untuk menciptakan suatu kultus yang monopolistik.
Hal yang saya teguhkan disini bukanlah suatu penolakan atas royalitas melainkan bagaimana cara kita melihat, menanggapi, dan mengelola royalitas itu sendiri.
Jadi, saat setelah saya sedikit berubah pikiran hal ini menyegarkan saya bahwa ternyata suatu fenomena yang kita anggap yang paling sehat ternyata memiliki racun bagaikan parasit.