Memang Hanya Jadi Pengamat Kebijakan Aja, Salah? Kan Siapa-Siapa Bisa Jajal Pendapat
Terlepas dari gaungan Menteri pariwisata Indonesia, Sandiaga Salahudin Uno tentang Pariwisata Berkelanjutan: Community Based Project bisa jadi obat pelestarian tradisi budaya bau nyale.
Saya sendiri ingin berpendapat tentang dilema ini, polemik pudarnya budaya akibat akulturasi budaya akhir-akhir ini yang terjadi di lingkungan sekitar saya. Sebab itu, berikut saya tuangkan dalam jajal pendapat singkat.
Fokus pemerintah dalam menumbuhkembangkan pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs) pada bidang kebudayaan agaknya harus dipertimbangkan lagi dengan matang. Pemerintah Indonesia dalam cakupan luas telah mengupayakan pembangunan berkelanjutan sejak ditetapkan oleh PBB 2015 lalu.
Pembangunan ditargetkan termasuk dalam hal mengurangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan yang universal, meningkatkan kesetaraan gender, memberdayakan perempuan, mengurangi kematian anak, meningkatkan kesehatan maternal, membasmi HIV, malaria, dan penyakit lainnya, menjamin keberlanjutan lingkungan, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Hal itu ditetapkan dan menjadi rencana global disepakati para pemimpin dunia, termasuk Indonesia dalam rangka mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan serta kebudayaan.
Kontra dengan dampak lain yang kian hari isu-isu pudar bahkan hilangnya budaya semakin rentan terjadi terutama di Indonesia dan di Nusa Tenggara Barat khususnya, tempat tinggal saya.
Sebagai contoh kecil, pada sektor pariwisata Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, dimana saat ini menjadi daerah prioritas pembangunan nasional melibatkan semua mata dunia tertuju pada negara Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan MotoGP terindah di dunia. Dalam sektor pariwisata tersebut, di samping berada di wilayah selatan pulau Lombok, terdapat juga ke-unikan budaya yang dapat memikat wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung.
Sektor pariwisata itu mempertegas pentingnya pelestarian lingkungan kepariwisataan dibingkai dengan pelestarian budaya yang unik dan eksis. Perkembangan pariwisata yang kian maju di daerah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika secara langsung berdampak pada interaksi masyarakat lokal terhadap perubahan perilaku, ekonomi, dan kebudayaannya sendiri.
Dalam penelitian Piartrini (2018), menegaskan jika pariwisata melibatkan interaksi dari individu-individu yang berasal dari daerah dan budaya yang berbeda dengan masyarakat setempat, yang mana kemudian terciptanya suatu hubungan sosial dan ekonomi.
Penting kemudian kolaborasi antara sektor pariwisata dan kebudayaan dilakukan melibatkan langsung peran masyarakat lokal maupun daerah dalam menjaga dan melesatikan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dengan demikian, kearifan lokal yakni tradisi budaya “bau nyale” yang berada tepat di KEK Mandalika menjadi peluang besar dalam mempromosikan daerah khususnya dan negara dalam cakupan luas terhadap dunia melalui sektor pariwisata internasional dengan keterlibatan langsung masyarakat lokal.
Kearifan lokal sendiri yakni tradisi budaya dalam konteks “bau nyale” menurut F,D,K Bosch seorang arkeolog klasik, Quaritch Wales, menjelaskan demikian, “The sum of cultural characteristics which the vast majority of people have in common as a result of their experience in early life”. Menurutnya, lokal genius adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan.
Sehingga dari gesekan itu, terjadilah suatu proses akulturasi budaya, dimana kebudayaan setempat menerima pengaruh kebudayaan asing. Sederhananya, adanya sektor pariwisata atau kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika, program nasional pemerintah yang berada di wilayah itu mengharuskan pelestarian suatu budaya sangat penting agar tidak pudar dan bahkan hilang oleh proses akulturasi budaya.
Tradisi Budaya “Bau Nyale”
Nyale sendiri adalah sebutan bagi jenis cacing laut oleh orang Sasak yang diyakini sebagai jelmaan putri Mandalika yang pada saat itu terjun untuk bunuh diri ke laut akibat banyaknya para pangeran yang ingin merebut dan mempersuntingnya. Sedangkan kata “Bau” adalah sebuah kata kerja dimana dalam silsilah orang Sasak berarti menangkap.
Secara historis, putri Nyale atau Mandalika memiliki kecantikan yang tidak ada bandingannya (waktu itu) membuat banyak pangeran memperebutkannya. Alhasil, agar tidak terjadi peperangan, putri yang dijuluki putri Nyale itu memilih menyeburkan diri ke laut.
Alasan untuk nyebur ke laut konon dikatakan oleh putri Mandalika agar semua pangeran dapat merasakan tubuhnya yakni dalam bentuk jelmaan “nyale” atau cacing laut. Dengan menangkap Nyale, pangeran serta warga mengartikan telah bertemu dengan putri Mandalika yang menjelma sebagai cacing.
Tak heran jika dalam pelaksanaannya, ribuan warga dari berbagai asal datang ke wilayah pantai selatan Lombok untuk mengerumuni laut hanya untuk menangkap cacing tersebut.
Adapun pelaksanaan penangkapan cacing diyakini masyarakat Sasak sebagai jelmaan putri Mandalika (Nyale). Pelaksanaannya sendiri dilakukan waktu dini hari di bulan Februari-Maret atau awal bulan. Nyale sendiri memiliki warna-warni yang mengandung protein yang tinggi sehingga sangat nikmat dan layak untuk dikosumsi.
Pengembangan Sektor Pariwisata Berkelanjutan
Komunitas berbasis tempat (Place-Based Communities) adalah pusat konsep holistik tentang keberlanjutan yang menggabungkan antara pertimbangan lingkungan, ekonomi, politik, budaya, dan sosial. Secara implisit pelestarian lingkungan alamiah harus berdasarkan pada komunitas dan masyarakat yang memanfaatkannya dan bergantung padanya (Richards dan Hall, 2000).
Artinya, pembangunan berkelanjutan melibatkan masyarakat yang membutuhkan dukungan bagi diri mereka sendiri berdasarkan sumber daya yang tersedia. Pada dasarnya keterlibatan masyarakat bukan hanya penting dalam melestarikan lingkungan, tetapi juga melestarikan budaya setempat (local wisdom) yang terdapat di daerahnya seperti contoh nyata yakni tradisi budaya “bau nyale” atau menangkap cacing laut yang harus dijaga dan dilestarikan di wilayah itu.
Pembangunan berkelanjutan berhubungan erat bagaimana pembangunan berdasarkan atas penyelesaian di tingkat lokal. Dari sisi yang lain, pengembangan sektor pariwisata juga tidak lepas dari dampak negative yakni pudar dan dapat menghilangnya budaya lokal setempat akibat pengaruh akulturasi budaya antara budaya lokal dengan budaya asing.
Sebab itu, pengembangan pariwisata yang berkelanjutan harus secara ekologis, ekonomi, sosial, dan juga budaya melibatkan masyarakat setempat bahkan mencakup daerah dalam arti luas. Peran masyarakat sendiri sebagai komunitas sangat penting dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian budaya setempat sebagai owner of the local wisdom, karena menurut dasar pemikiran pengembangan pariwisata yang berkelanjutan terkait dengan kepastian manfaat ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat itu sendiri dan lingkungannya. Tanpa keberlanjutan masyarakat, maka sulit diharapkan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.
Community Based Project
Pemberdayaan sendiri merupakan salah satu sarana untuk pengembangan masyarakat dan dalam hal ini berkaitan erat dan parallel dengan konsep Community-Based Tourism. Sebagaimana yang diungkapkan dalam jurnal yang ditulis oleh Tolkach et al. (2015), bahwa Community-Based Tourism menggambarkan bentuk alternatif dari pengembangan pariwisata yang mengoptimalkan manfaat lokal, mendorong pengembangan kapasitas dan pemberdayaan sebagai sarana mencapai tujuan pengembangan masyarakat.
Ikke Febriandhika dan Teguh Kurniawan turut menjelaskan bahwa, di dalam menciptakan pembangunan yang berkelanjutan terdapat dua dampak yang akan timbul yakni dampak positif dan dampak negative.
Dari sini, penulis menitikberatkan terhadap dampak negative dari pembangunan berkelanjutan tersebut melalui sektor pariwisata dimana suatu kebudayaan atau tradisi dapat hilang akibat proses akulturasi budaya lokal terhadap kebudayaan asing. Oleh Karena hal tersebut, Community-Based Project hadir sebagai solusi di dalam mengantisipasi hal-hal tersebut.
Sebagai salah satu alternative guna mengoptimalkan dan mengembangkan peran masyarakat melalui pemberdayaan tersebut, pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan Kepala Desa serta jajarannya dalam memberikan pelatihan-pelatihan baik itu meliputi hardskill maupun softskill.
Tujuannya, adanya pemberdayaan tersebut, masyarakat diharapkan mampu memahami dan menguasai problematika permasalahan dan melek terhadap dampak negative dari sebuah sektor pariwisata yang berkelanjutan. Community-Based Project dalam cakupan luas sebagai alternative dalam menjaga dan melestarikan budaya-budaya lokal yang terdapat di suatu daerah tersebut meliputi tradisi budaya “bau nyale” yang dimana pantai wilayah selatan pulau Lombok adalah tempat perayaan dan pelaksanaan event tersebut.
Masyarakat dengan komunitas yang terbentuk memiliki tugas mengelola, menjaga, dan mempromosikannya. Sektor pariwisata yang kuat adalah tugas masyarakat yang harus diselesaikan guna meningkatkan pengunjung dengan menjaga kemananannya. Sederhananya, Community Based Project diharapkan sebagai sebuah solusi di dalam memecahkan permasalahan seperti pudar dan bahkan hampir hilangnya tradisi budaya “bau nyale” yang ada di sana. Sehingga dengan adanya program Community Based Project di atas mampu menjaga sekaligus melestarikan kebudayaan itu sendiri. Dalam arti lain, Community Based Project tersebut juga hadir sebagai bentuk kepedulian masyarakat lokal melalui program pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah dalam menjaga, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan dirangkai sektor pariwisata yang kuat.
Sehingga pemerintah dapat mendesain model pelaksanaannya dengan menggunakan structural approach, dimana melalui kerjasama dari atas ke bawah. Dalam program tersebut adapun yang dapat dilakukan, meliputi; sosialisasi program pemberdayaan, program pelatihan softskill maupun hardskill, pembukaan lapangan pekerjaan serta pembuatan Community Based Project guna menjaga, melestarikan, mempromosikan serta mengembangkannya.