Gebrakan Perlindungan HAM bagi Tahanan Perempuan dalam KUHAP Pasca Pro Kontra Penangguhan Penahanan Putri Candrawati

profile picture mkaaiem

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) resmi menangguhkan penahanan salah seorang tersangka kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat (Brigadir J) yakni Putri Candrawati (PC). PC yang tak lain adalah istri dari Ferdy Sambo (FS) mendapatkan kompensasi hukuman atas nama kemanusiaan dan kondisi kesehatan. PC hanya dikenai status tahanan rumah yang wajib lapor dua kali seminggu secara rutin kepada pihak kepolisian. Hal ini disampaikan oleh Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Agung Maryoto pada Kamis (1/9) lalu. Selain alasan kemanusiaan, Polri juga mempertimbangkan kondisi PC yang tengah memiliki balita.

Keputusan Polri ini sontak menuai kecaman dari berbagai pihak. Masyarakat menilai bahwa penangguhan ini terkesan layaknya suatu pengistimewaan. Beberapa bahkan membandingkan kasus PC dengan kasus-kasus lain yang menyeret para perempuan seperti Angelina Sondakh (kasus korupsi) serta Vanessa Angel (kasus prostitusi). Keduanya sempat mendekam di balik jeruji besi meski pada saat itu keduanya juga tengah memiliki balita. Lebih lanjut, pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyebut bila apa yang dilakukan Polri merupakan suatu diskriminasi. Menurutnya, tidak ditahannya PC dapat bermuara pada potensi upaya penghilangan barang bukti, pelarian diri, atau pengulangan kejahatan. Terlebih, kasus yang menjerat PC memiliki hukuman pidana di atas lima tahun yang seharusnya dilakukan tindakan penahanan.

Namun, tanggapan berbeda disampaikan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menuturkan, keputusan Polri merupakan satu langkah yang tepat. Ia berpendapat bahwa tidak seharusnya masyarakat melihat keputusan ini sebagai suatu pengistimewaan atau diskriminasi. Begitu juga dengan upaya membandingkan kasus PC dengan kasus tersangka perempuan pada kasus lain yang telah divonis hakim. Andy justru berharap bahwa kebijakan Polri ini dapat menjadi batu loncatan bagi upaya restorasi sistem hukum dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Menurutnya, KUHAP perlu lebih mempertimbangkan hak-hak serta kebutuhan wanita. Selaras dengan Andy, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti menerangkan bila kebijakan Polri merupakan suatu hal wajar. Ia tidak sepakat bila PC dikhawatirkan melarikan diri atau berupaya menghilangkan barang bukti. Baginya, kasus yang mendera PC telah gamblang terungkap ke publik.

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memilih untuk bersikap netral. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara yang menyampaikan bahwa keputusan tersebut sepenuhnya merupakan wewenang Polri selaku penyidik. Komnas HAM tidak ingin mengintervensi wilayah yang tak semestinya mereka jamah. Meski begitu, Komnas HAM mendorong agar Polri tetap bersikap profesional serta transparan dalam memutuskan perkara ini. Beka mengingatkan bahwa aspek keadilan serta kelancaran proses hukum perlu diprioritaskan.

Di tengah hiruk-pikuk pro kontra penangguhan penahanan PC ini, ada sinyal positif soal gaung urgensi revisi KUHAP. Tak hanya Komnas Perempuan, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang juga menyuarakan hal yang sama. Meski ICJR memiliki fokus pasal yang berbeda dengan Komnas Perempuan, keduanya memiliki keserupaan misi soal perlunya perombakan KUHAP, utamanya dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) bagi perempuan.

Bila diperhatikan, inisiatif Komnas Perempuan yang getol menyuarakan hal ini tentu layak diapresiasi. Sejauh ini, aktivitas penegakan hukum (terutama pemberian hukuman) di Indonesia seringkali menihilkan pemenuhan hak-hak wanita. Fenomena kasus penahanan perempuan yang tengah memiliki tanggungan bayi selama ini sejatinya merupakan ironi tersendiri. Sebagaimana laporan kantor berita Australian Broadcasting Corporation (ABC) pada 2019 lalu, penjara di Indonesia dinilai masih belum memenuhi hak narapidana hamil dan menyusui. 

Betapa tidak, masa-masa yang idealnya dimanfaatkan untuk membangun kedekatan emosi antara ibu dengan buah hatinya justru terputus lantaran pemaksaan hukum penahanan. Tentu tidak mengherankan bila kemudian banyak anak-anak yang tidak mengenal sosok ibunya lantaran dipisahkan oleh jeruji besi. Kemudian, dalam kasus napi hamil dan menyusui, baik ibu maupun bayi tentu memerlukan perlakuan berbeda. Aktivitas tersebut jelas akan sangat terganggu bila dilangsungkan di dalam sel tahanan yang juga ditinggali tahanan lain. Terlebih, fasilitas yang ada di tahanan tidak selamanya layak bagi tumbuh kembang bayi maupun kesehatan sang ibu. Beberapa media menyebut bahwa pemerintah Indonesia masih belum benar-benar memperhatikan kesejahteraan tahanan wanita yang juga dalam kondisi hamil, menyusui, atau merawat balita. 

Tak hanya masalah perkembangan bayi, kebutuhan ekonomi juga menjadi masalah lain yang juga harus diperhatikan. Dengan berstatus tahanan, seorang perempuan tentu tak bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan bayinya. Ia tentu sekadar bisa berharap dari sumbangan keluarga, sanak kerabat, atau donatur dermawan yang iba akan kondisinya. Padahal, jumlah pengeluaran bayi tentu tidaklah sedikit. Apalagi, pengeluaran tersebut belum dapat sepenuhnya ditanggung negara. Hal-hal semacam ini tentu perlu dipertimbangkan penyidik dalam memutuskan penahanan tersangka.Sebab, pelaksanaan hukum yang berkeadilan tak hanya memandang pada nilai hukuman semata, melainkan perlu untuk menyelaraskan dengan proporsi tersangka.

Meski apa yang dilakukan PC dan suaminya (FS) tak bisa dibenarkan, harus diakui bahwa kasus ini membawa gebrakan penting dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Tak hanya soal peningkatan transparansi Polri dan lembaga penegak hukum lain, hak-hak perempuan juga menjadi lebih tersuarakan. Sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan demokrasi, berkaca dari kasus ini Indonesia perlu mendesain kerangka hukum yang lebih kontekstual. Kedepan, permasalahan yang timbul tentu akan semakin kompleks serta membutuhkan penanganan yang berbeda. Alhasil, keberadaan sistem hukum kontekstual yang adil, proporsional, dan tak diskriminatif adalah kebutuhan bersama yang harus tersedia.

Disarikan dari berbagai media seperti ABC, Republika, Kompas, serta Tribunnews.
Sumber gambar: Kompas




 

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By mkaaiem

This statement referred from