Sisi Gelap Sosial Media: Sarana Memainkan Mental Seseorang dari Jarak Jauh

profile picture Antonia Dian

Generasi saat ini sudah sangat akrab dengan apa yang disebut dengan teknologi. Teknologi ada di mana-mana, berkembang begitu pesat dan masif hingga berhasil mendudukan dirinya sebagai bagian penting bagi masyarakat global. Salah satu teknologi yang kini menjadi penting itu ialah ponsel pintar atau smartphone. 

Memang, pada mulanya ponsel diciptakan untuk memudahkan komunikasi antar individu yang sedang tidak berdekatan secara fisik, tetapi semakin lama ponsel semakin canggih dan aplikasi di dalamnya kian beragam. Tidak hanya sebatas berkomunikasi, seseorang dapat melihat ‘dunia’ lewat kacamata sosial media, yakni hasil pemikiran, opini, khayalan, bahkan penerapan suatu ilmu tertentu.

Namun, seperti halnya penemuan-penemuan di masa lampau, hal-hal baru di masa sekarang akan membawa dampak baru pula. Jika diamati dengan jangka waktu yang cukup, kita dapat melihat bahwa sosial media telah memberikan dampak pada para penggunanya. Ironisnya, sosial media yang diciptakan untuk membantu seseorang berkomunikasi dengan dunia – yang mana sesungguhnya baik untuk kesehatan mentalnya – justru membuat seseorang malas berkomunikasi dengan dunia sesungguhnya.

Ajang mengadu mulut, memamerkan kekayaan, mengomentari kekurangan orang lain, hingga menipu dan memeras pengguna lain marak terjadi sehingga pengalaman traumatis sulit untuk dihindari. Akan tetapi, apa sesungguhnya yang menciptakan dorongan kejahatan tersebut dan mengapa korban sering kali merasa sangat tidak berdaya di sosial media?

Sosial Media membentuk Alternate Universe 

Jika kita melihat perkembangan sosial media dari masa ke masa, kita akan menyadari bahwa sosial media menciptakan ‘dunia baru’ untuk setiap penggunanya. Di media sosial seseorang mampu memanipulasi dirinya untuk ditampilkan pada orang lain. Kecenderungan ini tanpa sadar membawanya pula untuk menciptakan manipulasi di dalam otaknya tentang orang lain. Hal yang paling sederhana adalah tampilan wajah yang menjadi begitu berbeda ketika menggunakan filter tertentu. Seseorang akan tampil lebih ‘wah’ setelah menggunakan ‘sihir’ yang tersedia di dalam aplikasi tersebut. Tentu saja hal ini akan segera berdampak pada mereka yang melihat hasilnya dan ikut menggunakan ‘sihir’ instan itu.

Sayangnya, kegiatan ini kemudian ikut berpengaruh pada mental penggunanya secara berkala. Seseorang akan merasa tertinggal apabila tidak mengikuti standar publik yang secara tidak langsung dipromosikan oleh sosial media; contohnya warna kulit, bentuk tubuh, cara bersikap, hingga cara berpikir. Kebanyakan akan terus berjuang untuk memenuhi standar yang dianggap ideal itu dan kadang malah melupakan kehidupannya di dunia nyata demi menunjukan eksistensi dirinya di dunia maya.

Dunia maya menciptakan jejaring sosialnya sendiri, ia berbeda dengan sosial yang ada di dunia nyata dan ‘peraturan’-nya pun berbeda. Seorang individu yang merasa kuat di dunia nyata belum tentu merasa diterima di dunia maya, pun sebaliknya orang-orang yang kurang bisa menyelaraskan dirinya di dunia nyata mungkin menjadi yang paling superior di dunia maya. Karena itu, munculah kejahatan-kejahatan baru yang mungkin agak mencengangkan apabila kita mengetahui siapa sosok di baliknya, tetapi hal tersebut menjadi salah satu poin yang tidak bisa kita lewatkan untuk menyadari bahwa sesungguhnya sosial media – yang mana diciptakan untuk mempersatukan manusia – juga bisa memisahkan manusia dengan dunia nyatanya.

Peran Kita sebagai Manusia Pemilik Media Sosial

Sebagai Manusia, yang memiliki kelengkapan akal budi, menjadi sangat disayangkan apabila kita tidak segera menyadari pengaruh media sosial terhadap diri kita sendiri. Kita tentu boleh menggunakannya sebagaimana adanya, tetapi menjadikannya sebagai sebuah ketergantungan adalah hal yang salah dan justru dapat membuat kita mengalami kecacatan sebagai manusia yang utuh. 

Adakalanya, kita perlu menarik dan menahan diri kita untuk tidak menggunakan media sosial secara berlebihan. Menjadi baik bagi kita untuk melepaskan diri dari cengkeraman dunia maya dan kembali melihat diri kita di dalam dunia nyata yang selama ini kita hidupi. Cara tersebut akan membuat kita tidak terbelenggu sosial media dan kehidupan di dalamnya, apalagi membuat kita melupakan kehidupan sosial kita yang nyata dan mengisolasi kita dari orang lain. 

Sebagai manusia yang utuh, salah satu tantangan terbesar kita adalah memanusiakan manusia, termasuk memanusiakan diri kita sendiri. Bukan melalui media sosial tetapi melalui diri kita sendiri terhadap orang lain di dunia nyata dan menjadikan diri kita utuh dan ‘sempurna’ berkat orang lain yang secara nyata ada bersama kita. 

Memang, menghadapi dunia nyata kadang akan terasa jauh lebih berat dan menyesakkan dibanding mengenalnya lewat sosial media. Akan tetapi, menyadari bahwa kita mengenal dunia lewat sosial media dan bukan dunia nyata pada akhirnya akan membuat kita merasa lebih hampa dan menderita karena mengenalnya lewat segala manipulasi yang ada dan tidak mengetahui keasliannya. 

Selama hidup di dunia, hiduplah dengan melihat segala hitam putihnya. Tidak mudah, tapi lebih baik daripada hidup dalam kepalsuan yang ‘mencelakakan’.

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By Antonia Dian

This statement referred from