Gaya Elit Ekonomi Sulit, Remaja Indonesia Terjun Ke Dunia Scammer Alias Tipu-Tipu
Usia remaja merupakan kesempatan sekali seumur hidup, di mana kita bisa mengeksplorasi berbagai pengalaman dan suasana baru dalam kehidupan. Semangat dan rasa ingin tahu akan suatu hal selalu menggebu-gebu.
Di era modern seperti saat ini, tentunya kaum remaja merasakan perkembangan yang begitu pesat, baik teknologi maupun budaya. Tak heran, sumber ilmu pengetahuan dan ekplorasi yang mereka dapat juga semakin luas ruang lingkupnya.
Media sosial yang dulu hanya bisa diakses melalui televisi pun, kini semakin elit dengan adanya gadget serta aplikasi seperti Instagram, WhatsApp, Twitter, Youtube, dan banyak lagi.
Seluruh informasi mengenai pendidikan dan pekerjaan pun dapat diakses dengan mudah lewat media sosial tersebut, contohnya banyak remaja yang memanfaatkan aplikasi tersebut untuk berjualan online.
Namun, seiring berjalannya waktu, persaingan ekonomi yang begitu ketat mengharuskan para remaja memutar otak dalam menghasilkan keuntungan lewat media sosial.
Yang menjadi tren saat ini adalah membuka grup online atau GO yang isinya dijadikan tempat transaksi jual beli antara pedagang dan pembeli. Barang yang dijual pun biasanya berasal dari luar negeri.
Jika kalian mengenal istilah K-popers atau penggemar idola dari Korea Selatan, tentunya istilah jual beli lewat GO ini tidaklah asing di telinga.
Para penggemar biasanya akan membeli album idola mereka dan perlengkapan lainnya lewat GO.
Pemilik GO akan melakukan transaksi dengan penjual di luar negeri, mengurus pembayaran dari rupiah ke mata uang negara tempat barang berasal, memberi informasi pengiriman barang dari luar negeri ke Indonesia pada customer, serta melakukan proses packing barang untuk dikirim pada customer.
Namun, akhir-akhir ini begitu banyak postingan di Twitter yang menyoroti kasus penipuan atau scammer yang dilakukan oleh pemilik GO. Bukan main, penipuan ini bisa membuat kerugian sampai puluhan juta.
Modus yang digunakan para penipu ini biasanya sama, mereka berpura-pura menjual barang di grup online, merayu pembeli untuk melakukan pembayaran via transfer ke rekening bank atau metode pembayaran apapun.
Setelah pembeli mengirim uang mereka, si penipu akan langsung menghilang dan memblokir akun media sosial si pembeli agar sulit berinteraksi.
Ribuan kasus seperti ini sudah dibeberkan lewat Twitter, namun belum ada penanganan yang cepat, atau jaminan bagi korban agar uangnya dapat kembali. Inilah faktor para scammer atau penipu tidak merasa kapok.
Meskipun identitas mereka disebar luaskan tanpa sensor, para penipu tidak merasa takut sebab tidak ada penanganan hukum yang langsung menjerat tindak kriminalitas mereka.
Penipu malah bisa mengganti nama pengguna atau user name media sosial mereka dengan nama lain untuk menarik lebih banyak korban, sedangkan untuk nomor rekening yang mereka gunakan, kebanyakan tidak diganti.
Ada satu kasus yang sempat menggemparkan kalangan remaja, yaitu kasus GO dimana pemiliknya ini terkenal kaya raya dan royal pada idolanya. Namun, setelah diusut ternyata uang yang digunakan si pemilik GO adalah uang customernya.
Bahkan kafe yang dibangun oleh si pemilik GO bukanlah uang pribadinya, melainkan hasil menipu dari barang yang harusnya dia tebus dari luar negeri, tapi malah dibiarkan terbengkalai tanpa adanya tebusan.
Ratusan customer yang barangnya tak kunjung datang dan selalu diberi janji manis saja pun akhirnya buka suara dan meminta pertanggung jawaban, mereka bersama-sama meminta uang mereka dikembalikan.
Yang luar biasanya adalah si pemilik GO malah memasang wajah tebal, tanpa rasa malu justru memarahi balik para customer. Kasus ini semakin keruh dan membuat para remaja menjadi was-was untuk bertransaksi jual beli online.
Bukan hanya itu, kasus penipuan seperti scammer ini semakin banyak caranya. Ada yang menggunakan modus want to trade atau penukaran, misalnya ada orang yang mempunyai saldo shopeepay, tapi ingin menukarnya dengan saldo dana, maka cara WTT ini lah yang bisa digunakan.
Scammer yang melancarkan aksinya lewat WTT akan berpura-pura mencari orang yang mau bertukar saldo dengannya, tapi saat orang tersebut sudah transfer duluan maka scammer akan kabur tanpa mentransfer kembali saldo yang akan ditukar.
Tragis, tapi inilah faktanya, remaja di Indonesia sudah terjerumus lembah hitam penipuan. Demi gaya elit, meskipun ekonomi sulit mereka siap menempuh segala cara asalkan gaya hidup mereka bisa tercukupi.
Sebagai pemerhati, tentunya kita memiliki kewajiban mengedukasi remaja disekitar kita, memutus rantai dunia tipu-tipu agar tidak banyak korban berjatuhan, utamanya di era ekonomi paceklik seperti sekarang.
Perbanyak literasi dengan bacaan-bacaan yang positif, bijak dalam bersosial media, menghargai kerja keras orang lain dan menanamkan nilai moral yang baik dalam diri sendiri, itulah langkah yang dapat dilakukan remaja agar menjadi generasi yang sehat dan jauh dari lembah hitam penipuan.