Tajam atau Tumpul? Kasus Sambo Bukti Adanya Oligarki Dalam Hukum

profile picture agishadid

Kasus Bak Drama, Buat Masyarakat Dilema

Tepat 53 hari kasus pembunuhan aparatur negara, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, yang membuat kalang-kabut seluruh masyarakat Indonesia, serta menjadi pusat utama pemberitaan media massa selama dua bulan terakhir ini.

Baik Tua, maupun muda, semua ikut prihatin dengan kasus yang ternyata didalangi oleh sesama polisi, Irjen Ferdy Sambo. Bersama kedua ajudannya, Bharada Eliezer dan Bripka Ricky Rizal, asisten rumah tangga, Kuat Ma’ruf, dan yang terakhir ditetapkan sebagai tersangka adalah Putri Candrawathi, istri dari Irjen Ferdy Sambo.

Terkuaknya para pelaku, tak lain dan tak bukan adalah hasil kerja keras dari jajaran kepolisian yang diketuai oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Meski di awal sempat dibingungkan oleh sandiwara baku tembak, berdasarkan keterangan Bharada Eliezer. Namun, sebenarnya masyarakat awam pun dapat menilai bahwa kasus ini terlalu janggal dan tidak ada transparansi, baik dalam bukti maupun motif dibalik terjadinya pembunuhan Brigadir J.

Seperti yang kita tahu, polisi dan tim penyidik di Indonesia sangatlah baik dan patut di acungi jempol ketika memberantas berbagai kasus dalam negeri, namun mengapa untuk kasus penembakan Brigadir J ini harus memakan waktu yang cukup lama?

Bertele-tele, padahal pelaku dan korban ada dalam satu ruang lingkup yang sama dengan kepolisian. Seharusnya baik secara motif maupun bukti itu mudah diperoleh oleh aparat penegak hukum, mengingat pembunuhannya pun terjadi di rumah dinas, bukan di hutan belantara atau tempat antah-berantah yang sulit dievakuasi.

Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat. 

Bak peribahasa tersebut, Pihak Kepolisian jelas kecolongan oleh oknum-oknum dalam badan mereka sendiri dalam kasus ini.

Hilangnya bukti CCTV dan beberapa barang pribadi milik Brigadir J, proses autopsi yang harus diulang, serta dibungkamnya motif pembunuhan yang didasari oleh menjaga perasaan, serta harkat martabat pelaku, terkesan begitu dramatis di telinga masyarakat.

Keinginan Presiden Ditanggapi Setengah-Setengah Oleh Polri

Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya, jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan.

Permintaan Presiden Jokowi ini sangat penting, selain demi menjunjung tinggi hak kemanusiaan dari Brigadir J, transparansi yang dikatakan Presiden RI ini juga akan berpengaruh terhadap kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

Sayangnya, permintaan Presiden Jokowi ternyata bertolak belakang dengan prinsip Polri yang tetap bersikukuh menjaga motif pembunuhan secara rapat-rapat. Seakan menjadi sebuah rahasia yang semakin membuat masyarakat bertanya-tanya, ada rahasia apa sebenarnya di dalam badan Polri?

Transparansi Tidak Ada, Warga Terpaksa Berburuk Sangka

Selasa 30 Agustus, 2022 telah dilakukan rekontruksi dalam pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat, melalui penjagaan ketat oleh tim penyidik, serta pendampingan oleh Komnas HAM dan Kapolnas.

Sebanyak 78 adegan reka ulang akan dilakukan oleh 5 tersangka, guna menghasilkan titik terang dari berbagai fakta yang telah disusun selama penanganan kasus. Kapolri juga menggaris bawahi rekonstruksi ini dilakukan secara transparan.

Namun, yang masyarakat saksikan dalam pemberitaan adalah ketidak-adilan, serta janji palsu dari Kapolri yang dilakukan pada pihak korban yaitu, Komaruddin Simanjuntak, pengacara Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, yang tidak diperbolehkan masuk untuk melihat proses rekonstruksi ini.

Padahal pengacara korban juga berperan sama dengan para penegak hukum yang lain, lalu mengapa pengacara tersangka boleh masuk, sedangkan pengacara korban tidak boleh?

Hal ini memancing emosi masyarakat dan memunculkan spekulasi bahwa Kapolri hanya menggunakan rekonstruksi ini sebagai formalitas bukan untuk menegakkan hukum.

Muncul juga dugaan, mungkin saja kematian Brigadir J bukan hanya sekedar menutupi borok dari Irjen Ferdy Sambo, tetapi borok semua anggota kepolisian negara Indonesia, sehingga Kapolri begitu teguh menutupi motif pembunuhan.

Ketika Oligarki Berkecimpung Dalam Hukum

Tragedi ketir ini tentu tidak menutup mata kita akan fakta bahwa, hukum Indonesia kadang tajam, kadang tumpul. Tajam pada rakyat biasa, tumpul pada pemegang kuasa. 

Sebutlah ini bukti oligarki, dimana yang kuat secara materi dan kekuasaan akan menang, dibandingkan yang tidak memliki apa-apa.

Jika kasus pencurian sandal jepit bisa ditangani sebegitu tegas, mengapa kasus polisi tembak polisi malah ditangani dengan begitu lemas?

Mengapa kasus Sambo yang rumit dan berkelit ini bisa dilindungi oleh alasan sensitif yang tidak profesional?

Disinilah peranan oligarki bisa masyarakat temukan. Karena pada dasarnya pihak korban Brigadir J selalu mendapati kecurangan yang dilakukan Kapolri terhadap proses-proses yang sedang dilakukan tim penyidik.

Mulai dari proses autopsi sampai rekonstruksi semuanya dilakukan secara normatif dibanding kongkrit, juga dilakukan sebelah pihak saja.

Bangkitlah Polri, Berantas Dengan Jujur Dan Amanah

Sebaiknya kasus ini menjadi pembelajaran bagi banyak pihak, baik itu aparat negara, maupun masyarakat untuk lebih jujur. Jangan pernah melibatkan oligarki, kepentingan pribadi dengan penegakkan hukum.

Jangan merasa baper, atau melibatkan perasaan baik itu kekeluargaan ataupun senioritas dalam penyelesaian hukum, semuanya harus adil dan tidak boleh ada unsur obstruction of justice atau penghalangan keadilan.

Tidak ada perdamaian tanpa keadilan. Tidak ada keadilan tanpa kebenaran. Dan tidak ada kebenaran kecuali seseorang bangkit untuk mengatakan yang sebenarnya.

Selaras dengan kutipan Louis Farrakhan, Bangkitlah Polri, tuntaskan kasus ini dengan jujur dan amanah, demi tegaknya hukum yang lebih baik lagi di dalam NKRI.

2 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
2
0
profile picture

Written By agishadid

This statement referred from