Perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, kata siapa?
Berbicara tentang kepemimpinan, masalah yang seringkali muncul di kalangan kita adalah perbedaan persepsi terkait kesetaraan gender. Hal ini disebabkan oleh latar belakang budaya, peradaban, kedangkalan agama, dan kondisi sosial masyarakat sehingga menyebabkan perbedaan persepsi di kalangan masyarakat terkait permasalahan gender dalam kepemimpinan. Secara umum, perempuan ditempatkan pada urusan rumah tangga, sedangkan laki-laki menempati urusan kemasyarakatan. Oleh karena itu, sebagian besar orang mengatakan bahwa suatu kepemimpinan hanya bisa dipegang oleh laki-laki dan perempuan tidak bisa menempati posisi tersebut. Persepsi ini muncul karena anggapan bahwa perempuan itu lemah sehingga tidak mungkin bisa memegang kepemimpinan seperti laki-laki.
Semakin berkembangnya pemikiran masyarakat, tidak sedikit pula masyarakat yang memiliki persepsi berlawanan tentang kepemimpinan perempuan. Mereka beranggapan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama bisa menduduki kepemimpinan. Tidak ada perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan di muka hukum. Seluruh warga negara Indonesia berhak memilih dan dipilih untuk menjadi pemimpin. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 43 yang menyatakan, “Setiap warga mendapatkan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Kepemimpinan perempuan dalam Islam itu diperbolehkan selama kepemimpinan itu baik dan bisa dipertanggungjawabkan (Fatimah: 2015, dalam jurnal kepemimpinan perempuan dalam perspektif Al-Qur an). Keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan atau merebut kekuasaan dari laki-laki melainkan dimaksudkan agar menjadi mitra sejajar laki-laki. Namun, saat ini masih banyak yang menganggap bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin karena mendahului laki-laki dan dinilai lemah sehingga tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Kepemimpinan perempuan sangat diperbolehkan apabila memenuhi prinsip-prinsip kepemimpinan, diantaranya;
Amanah
Kekuasaan merupakan suatu amanah sehingga harus dilaksanakan dengan penuh amanah. Dalam hal ini, amanah diartikan sebagai sikap yang penuh tanggung jawab, jujur, dan dapat dipercaya.
Adil
Untuk menjadi seorang pemimpin, prinsip yang harus dimiliki adalah adil. Menegakkan keadilan merupakan salah satu hal utama yang harus dilakukan untuk terciptanya kesejahteraan dan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat.
Musyawarah
Dalam mengambil suatu keputusan atau kebijakan, seorang pemimpin hendaklah melakukan musyawarah agar tercipta keputusan bersama sehingga tidak menimbulkan perpecahan.
Amar ma'ruf nahi munkar
Menjadi pemimpin tidak hanya memimpin atau mengepalai suatu negara. Pemimpin juga harus memiliki prinsip amar ma'ruf nahi munkar yaitu menyuruh masyarakat untuk berbuat baik serta mencegah dari perbuatan jahat.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Kitabul Fitan menyatakan bahwa “لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً ” yang artinya "Tidak bahagia suatu kaum bila menyerahkan urusan mereka kepada perempuan". Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari jalur Utsman bin Haitsam yang bersambung pada sahabat Abu Bakrah, dengan namma aslinya Nafi' bin Al-Harits. Para ulama' sepakat bahwa hadits tersebut shahih sehingga bisa dijadikan sebagai hujjah atau dasar hukum dalam syariat. Hadits inilah yang kemudian diartikan dengan pemahaman yang salah kaprah oleh sebagian orang, sehingga menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Akan tetapi, Gus Dur berpendapat bahwa hadits tersebut harus dilihat dari konteks sejarah, bahwa masyarakat pada zaman Nabi adalah masyarakat yang berbentuk suku atau kabilah sehingga seorang pemimpin harus menangani semua urusan dalam kepemimpinannya. Oleh karena itu, yang mampu mengemban amanah ini hanyalah laki-laki. Namun, berbeda dengan kepemimpiman saat ini yang sudah dilembagakan sehingga semua tugas tidak diemban oleh pemimpin saja melainkan dibantu oleh anggota yang bersangkutan dalam bidangnya, sehingga perempuan juga bisa tampil menjadi pemimpin (sumber :Buku Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an). Selain itu, K.H. Ali Yafi juga berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin dengan dua syarat yaitu; kemashlahatan (membawa kebaikan) dan keputusan Ahlul Halli wal Aqdi. Sehingga perempuan masa kini memiliki kesempatan yang besar untuk berkiprah dalam segala bidang, termasuk untuk menjadi pemimpin. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena al-Qur’an tidak membedakan manusia kecuali amal ibadahnya (Novianti: 2008, dalam jurnal dilema kepemimpinan perempuan dalam Islam).
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, saya berpendapat bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki di muka hukum dan politik, baik secara konstitusional maupun legal. Sehingga perempuan boleh menjadi pemimpin selama kepemimpinan tersebut baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Kita tidak perlu mendengarkan pendapat orang yang menyatakan bahwa posisi perempuan hanya ditempatkan pada urusan rumah tangga (domestik), bukan urusan-urusan kemasyarakatan. Padahal pada hakikatnya, laki-laki dan perempuan memiliki hubungan mitra yang sejajar dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kepemimpinan. Jadi, tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin selama masih bisa mengemban tugasnya. Bahkan ada beberapa ayat Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan mitra sejajar dalam berbagai hal. Dengan demikian, perbedaan biologis bukan berarti menjadi faktor ketidaksetaraan gender. Fungsi-fungsi biologis harus dibedakan dengan fungsi-fungsi sosial, artinya laki-laki dan perempuan yang tentu memiliki ciri fisik berbeda dan dengan fungsi yang berbeda pula tidak menjadi alasan ketidaksetaraan gender. Perempuan memilik hak politik sama dengan laki-laki, baik untuk berpendapat, menjadi anggota lembaga perwakilan, dan memperoleh kekuasaan yang benar atas sesuatu seperti memimpin lembaga formal, organisasi, partai dan negara.