+62 Krisis Identitas: Negara Agama atau Negara Sekuler?

profile picture Ikarini_Puspita

Identitas adalah jati diri yang dimiliki suatu bangsa/negara, untuk membedakan dengan bangsa lainnya. I Putu Ari Astawa, kata identitas artinya pembeda atau pembanding pihak lain. Sedangkan nasional artinya suatu paham. Sebagai warga negara, kita menjunjung tinggi dan mempertahankan identitas nasional dalam kehidupan sehari-hari. Identitas ini menjadi jati diri untuk mendukung dan mencapai kejayaan bangsa dan negara di masa depan.

Lantas jika identitas suatu bangsa tidak sesuai dengan harapan dalam artian terjadi krisis identitas di tengah masyarakat, utamanya pemuda. Padahal pemuda adalah penerus suatu bangsa, jika pemuda sekarang bermasalah apa yang bisa diharapkan di masa mendatang. Seperti perkataan tokoh nasional pak Ir Seokarno. "Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,". 

Pendapat bapak di atas benar juga. Tapi, belakangan ini, sering terjadi krisis identitas, permasalahan ini terjadi karena adanya globalisasi. Perkembangan zaman yang sangat cepat memasuki tahap era yang semakin berkembang dan canggih pula. Perubahan zaman mempengaruhi evolusi generasi. Karakter manusia tentunya akan bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Manfaat globalisasi tentu membawa pengaruh yang positif juga negatif. Bisa digunakan untuk media bisnis, pencitraan, viral, media edukasi, pengrusakan moral dan lain-lain. 

Krisis yang terjadi pun macam-macam mulai dari permasalahan kenakalan remaja, seks bebas, narkoba, tawuran pelajar, penyimpangan seksual, kriminalitas dan lainnya.  Yang paling parah seperti yang baru-baru ini sedang viral seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) mengaku gender netral atau non-biner. Sampai trending di berbagai lini massa. Video ini memicu perdebatan dan polemik di kalangan masyarakat umum. Intinya secara terang-terangan mengaku gender netral bukanlah suatu kebenaran tapi bentuk penyimpangan. 

Fakta lain, penulis melihat masyarakat Indonesia berlomba-lomba ingin menjadi viral di media sosial. Kenapa? Karena dengan menjadi viral semacam jalan instan/ninja peluang untuk mendapatkan popularitas. Viral artinya sukses, di undang diberbagai podcast, televisi, mendapat peluang endorse dan lain-lain. Maka tak heran jika masyarakat mengejar ketenaran dengan cara licik, picik dan maaf bodoh sekalipun. Asal viral tak jadi masalah, intinya dapat cuan. 

Fenomena tersebut di atas mungkin terihat biasa saja, tapi kalau begini terus kasihan bangsa kita. Masyarakat-pemerintah kita pun kadang latah, misal apresiasi menyikapi sesuatu kadang tidak tepat sasaran. Misal kakak beradik Mischka Aoki dan Devon Kei raih 85 medali olimpiade Matematika dan Sains Internasional dan kibarkan merah putih di New York (Tempo.co, 26/7/22).  Misal yang lain, Rifdah Farnidah juara 1 hafalan al-quran 30 juz tingkat dunia yang kalahkan Arab Saudi (Suara.com, 27/8/22).  Jujur mengetahui berita tersebut hanya sekadar lewat di beranda sosmed dan kurang viral. Sedangkan penyanyi cilik Farel Prayoga, seketika langsung viral hanya karena suara merdunya sampai dipuja di undang ke istana dan menjadi duta kekayaan intelektual untuk kategori pelajar oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Luar biasa! 

Sosok Farel Prayoga diharapkan bisa menginspirasi teman sebayanya untuk berkreasi dan mengembangkan potensi terpendam mereka untuk kemudian mendaftarkannya menjadi kekayaan intelektual di Direktoral Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkunham (Kompas.id, 19/8/22). 


Menentukan sikap (keberpihakan) dalam hal melihat suatu peristiwa sangatlah perlu menurut penulis. Mendukung penyimpangan atau justru menolak. Seperti kisah cicak dan Burung Pipit, saat Nabi Ibrahim AS dibakar oleh Raja Namrud. Burung Pipit berulang kali mengambil air dan meneteskan air di atas api yang membakar Nabi, si Cicak yang melihatnya pun tertawa. Pipit alangkah sia-sianya kau melakukan itu hanya bermodalkan paruhmu yang kecil, menampung air beberapa tetes saja, mana mungkin mampu memadamkan api. Si Pipit pun menjawab, memang tak mungkin aku bisa memadamkan api yang besar itu. Tetapi, aku tak mau jika Allah melihatku diam saja. Dan Allah tahu dimana aku berpihak. Sebaliknya cicak terus tertawa sambil menjulurkan lidahnya ia berusaha meniup api yang membakar Nabi. Dari kisah ini, setidaknya kita bisa mengambil hikmah bahwa keperpihakan itu perlu. Setidaknya kita punya hujjah di akhirat. 

Kembali ke judul tulisan ini, krisis identitas penyebabnya karena bangsa ini belum berhasil mengambil sikap/mengakui. Indonesia condong ke Negara yang berasas sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) atau justru Negara agama. Seperti perkataan pak Mahfud Md Indonesia bukan Negara Agama dan bukan Sekuler (Liputan6, 10/11/21). Lantas jika bukan keduanya, berarti Negara ini berasas moderat (jalan tengah)?. 

Mengguritanya krisis identitas seperti LGBT-gender netral, pelecehan, korupsi, generasi pembebek dan kawan-kawan akan terus bermunculan atau bahkan tindakannya makin ngaco/tidak karuan. Sebab, identitas bangsa ini pun condongnya arah kemana kurang jelas!(*) (Ikarini Puspita)

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By Ikarini_Puspita

This statement referred from