Cancel Culture Kian Marak, Apa Memang Diperlukan?
Cancel culture atau budaya pengenyahan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengenyahkan pengaruh seseorang. Misalnya, seorang influencer yang awalnya banyak dipuja, setelah mengalami cancel culture, akan kehilangan pengaruhnya.
Bahasa lumrah dari cancel culture adalah boikot. Menurut KBBI, boikot artinya adalah bersekongkol menolak untuk bekerja sama.
Mengapa Cancel Culture Kian Marak?
Zaman sebelum adanya teknologi digital seperti sekarang, mungkin cancel culture masih dalam bentuk pengasingan, sehingga sulit untuk terendus.
Nah, mengapa zaman sekarang cancel culture kian marak?
a. Pengguna Media Sosial Semakin Banyak
Semakin banyaknya pengguna media sosial adalah salah satu alasan mengapa cancel culture makin banyak terjadi.
Meskipun satu orang mungkin memiliki lebih dari satu akun, tetap saja hal tersebut bisa menjadi pemantik terjadinya cancel culture.
Lihat saja media sosial seperti Twitter. Setiap hari pasti akan selalu ada yang mendapatkan cancel culture karena satu cuitan saja. Jumlah like dan retweet sudah banyak, pasti impression-nya juga lebih banyak.
b. Polarisasi dan Perbedaan Pendapat
Kita pasti lumrah dengan istilah-istilah seperti k*d**n, c**on*, ka***et, dll.
Biasanya, setiap orang yang condong ke salah satu pihak, pasti kubu oposisi tidak segan-segan untuk melakukan cancel culture terhadap lawannya.
Bagaimana dengan perbedaan pendapat? Kita bisa melihat cuitan lama salah satu menteri yang mendukung kebijakan Kominfo untuk memblokir paypal dan steam. Hasilnya? Banyak sekali yang men-cancel cuitan menteri tersebut.
Ada beberapa orang yang menyayangkan cuitan menteri tersebut karena yang dianggap harapan satu-satunya malah sependapat dengan hal yang kontra di mata masyarakat.
c. Figur Publik yang Kurang Bijak
Ada beberapa publik figur yang mencantumkan kalimat di bio media sosialnya seperti opinion on my own. Meski demikian, apakah warganet peduli? TIDAK!
Saat jawaban atau cuitan dari figur publik atau tokoh lain banyak yang kontra atau blunder, pasti warganet akan membawa-bawa institusi tempat mereka terafiliasi atau bekerja, sehingga tempat yang terafiliasi dengan mereka mengalami cancel culture.
Tidak harus figur publik. Baru saja ada pegawai KAI yang mengatakan kalau salah satu penumpang KAI adalah orang yang kufur nikmat di Twitter. Hasilnya? Pegawai yang mengatakan kalau penumpang tersebut kufur nikmat tersebut memasang status #opentowork di LinkedIn.
Jika suatu saat kamu menjadi figur publik, jadilah lebih bijak. Dibalik kekuatan besar, ada tanggung jawab besar juga.
d. Derasnya Arus Informasi
Tidak sampai dalam satu hari, suatu post di media sosial bisa viral karena perbedaan pendapat. Parahnya, media dengan traffic jutaan tidak akan segan untuk menjadikan hal tersebut berita, sehingga makin banyak yang mendatangi “TKP”.
Selain itu, influencer di media sosial seperti Twitter membuat cuitan berupa template dari cuitan yang viral, sehingga memancing orang untuk bertanya tentang “TKP”.
Setelah menuju “TKP”, komentar yang merupakan cancel culture akan terjadi.
Apa Cancel Culture Diperlukan?
Jika seseorang melakukan kesalahan, ia akan mendapatkan sanksi sesuai dengan norma yang dilanggar.
Cancel culture adalah salah satu sanksi dari pelanggaran norma sosial. Mungkin saja orang lepas dari sanksi norma hukum, tapi sanksi sosial ini lebih sadis karena bisa berlaku seumur hidup, bahkan hingga keturunan pelanggar normanya bisa ikut menanggungnya.
Jadi, apa cancel culture diperlukan dan tetap harus ada? Jawabannya iya!
a. Mengapa Cancel Culture Diperlukan dan Tetap Harus Ada?
Namanya berbuat kesalahan, pasti harus ada sanksi yang berlaku, baik itu dari norma apa pun.
Cancel culture adalah salah satu bentuk sanksi efektif karena jangkanya yang sangat panjang dan lebih terasa.
Bayangkan kalau pelaku kekerasan seksual, koruptor, pembunuh berantai, atau mantan napi tidak di-cancel? Memangnya ada jaminan kalau mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di masa depan?
b. Bukankah Setiap Orang Berhak Mendapatkan Kesempatan Kedua?
Forgive, but never forget. Ingat kalau kita boleh saja memaafkan, tapi jangan pernah lupa tentang kesalahan yang pernah dibuat seseorang agar bisa lebih waspada.
Sekali kepercayaan runtuh, layaknya piring pecah, susah untuk dibangun/dibentuk ulang kembali.
Daripada memberikan kesempatan kepada orang yang sudah berkhianat, mengapa tidak mengamanahkan orang lain yang lebih bisa dipercaya? Apa stok orang baik itu kurang?
Kesimpulan: Cancel Culture Diperlukan dan Tetap harus Ada
Meskipun cancel culture terlihat mengerikan karena bisa menghancurkan brand, karir, bisnis, hingga nama baik seseorang, cancel culture diperlukan dan harus tetap ada agar orang-orang yang bisa lolos dari norma hukum/lainnya tidak lepas dari sanksi sosial.
Dengan adanya cancel culture, kita juga belajar untuk bijak. Berpikir sebelum bertindak, jangan terbalik!