Pendekatan Restoratif: Antara Keadilan Substantif atau Prosedur Transaksional

profile picture Pradikta Andi Alvat

 Pendekatan hukum pidana Indonesia pada prinsipnya menganut ajaran hukum pidana klasik (daad-strafrecht). Hukum pidana klasik memfokuskan perhatian pada pelaku dengan menitikberatkan pada pembalasan (retributif). Menurut aliran klasik, keadilan dalam penegakan hukum pidana adalah manakala pelaku tindak pidana dihukum pidana setimpal dengan perbuatan yang dilakukan. Pendekatan pemidanaan dalam aliran klasik bersifat premium remidium bukan ultimum remedium (obat terakhir). 
Secara historis, akar dari pada masih dianutnya aliran hukum pidana klasik dalam hukum pidana Indonesia tidak terlepas dari masih eksisnya KUHP yang merupakan warisan peninggalan zaman kolonial Belanda. KUHP Indonesia saat ini merupakan translate (dengan beberapa perubahan) dari KUHP Belanda yang dibuat pada tahun 1886. Jika kita telaah bersama, KUHP kita saat ini memang kental dengan aliran retributif, dimana penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku menjadi obyek dan tujuan utama tanpa memberikan ruang bagi alternatif penyelesaian lainnya dan tanpa memperdulikan keberpihakan pada kepentingan korban. Penegakan hukum pidana dilihat hanya sekadar alat pembalasan.
Kondisi tersebut (pendekatan retributif/pemidanaan) kemudian secara teknis melahirkan beberapa derivasi problematis, beberapa diantaranya: over capasity lembaga pemasyarakatan dan efektivitas pemidanaan. Menurut data dari Ditjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM per 12 September 2021, kapasitas lembaga pemasyarakatan di 33 kantor wilayah sebanyak 134.835 ribu orang namun diisi oleh 271.007 ribu orang. Artinya, terjadi over capasity lembaga pemasyarakatan sebesar 101%. Problem over capasity lembaga pemasyarakatan berimplikasi pada terjadinya disfungsi fungsi pemasyarakatan sehingga menyebabkan fungsi pemasyarakatan tidak bisa efektif untuk menekan praktik tindak pidana (terus berulang). Ekskalasi tindak pidana relatif stabil. Tidak ada penurunan signifikan.
Berkaca pada fenomena di atas, maka kemudian munculah beberapa tonggak pemikiran untuk merubah pendekatan hukum pidana Indonesia dari aliran klasik yang menitikberatkan pada nilai retributif menuju aliran moderen yang menitikberatkan pada nilai restoratif demi efektivitas dan fungsionalisasi hukum pidana itu sendiri terhadap kehidupan masyarakat. 
Mengingat KUHP baru yang beraliran moderen belum disahkan, institusi penegak hukum pun secara internal telah membuat aturan mengenai penekanan pada penegakan hukum restoratif atau yang dikenal dengan restorative justice. Kepolisian dan kejaksaan telah membuat payung hukum mengenai penerapan restorative justice dalam proses penegakan hukum internal mereka yakni melalui Peraturan Kepolisian Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. 
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020, Restorative justice merupakan pendekatan penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan pihak lain untuk mencari jalan keluar terbaik dengan menitikberatkan pada pemulihan dan menghindari pembalasan. Secara konseptual, restorative justice bukanlah bertujuan untuk meniadakan pendekatan pemidanaan, melainkan menjadi alternatif solusi untuk menyelesaikan perkara-perkara yang bersifat subyektif-personal dan kecil. Oleh sebab itu, restorative justice tidak bisa diterapkan untuk perkara-perkara yang korbannya bersifat meluas dan sensitif.
Di dalam peraturan internal kepolisian dan kejaksaan terdapat syarat baik formil maupun meteril terkait penerapan restorative justice. Dalam Perpol Nomor 8 tahun 2021 diatur dua syarat dalam penerapan terhadap keadilan restoratif. Pertama syarat umum yang terdiri atas aspek materil dan aspek formil. Aspek materil terdiri atas: tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme, bukan merupakan pengulangan tindak pidana, bukan tindak pidana terorisme, keamanan negara, korupsi, dan tinda pidana terhadap nyawa. Sedangan aspek formil terdiri atas: perdamaian kedua belah pihak kecuali untuk tindak pidana narkoba dan pemenuhan hak-hak korban dan tanggungjawab pelaku kecuali untuk tindak pidana narkoba.
Sedangkan dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020 diatur mengenai beberapa syarat dalam pemenuhan keadilan restoratif: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tinda pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian tidak lebih dari 2.500.000,00 serta telah ada pemulihan kembali yang dilakukan tersangka, telah ada kesepakatan perdamaian, dan masyarakat merespon positif
Singkat kata, dari penelaahan syarat penerapan keadilan restoratif dari Peraturan Kepolisian Nomor 8 tahun 2021 dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020, tujuan atau spirit dari penerapan keadilan restoratif adalah untuk mewujudkan keadilan substantif yang bisa dicapai dengan adanya pemulihan dan pemenuhan kepentingan korban, tanggungjawab pelaku, dan restorasi hubungan antara korban dan pelaku beserta keluarga. Itulah das sollen, namun secara das sein, penerapan keadilan restoratif di lapangan memiliki potensi menjadi sarana formalitas prosedur-transaksional belaka. Pemenuhan keadilan susbtantif bisa dinegasikan hanya sekadar kata damai. Ini bahaya, Kewenangan yang besar dari kepolisian dan kejaksaan kemudian dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang awam hukum hingga lemah secara sosial-ekonomi. Maka potensi penggunaan wewenang secara berlebihan (misalnya memaksa kedua belah pihak perdamaian saja dengan intimidasi)  sangat terbuka. 
Oleh sebab itu, spirit keadilan restoratif guna mewujudkan keadilan substantif ini harus dibarengi dengan perilaku hukum yang baik dari aparat penega hukum di lapangan, baik oleh kepolisian maupun oleh kejaksaan. Perilaku hukum yang baik ini bisa dibangun dengan penguatan pengawasan internal secara hierararkis pada internal masing-masing institusi. Selain itu dari sudut eksternal, pencegahan penyalahgunaan wewenang pada penerapan keadilan restoratif dapat dibangun oleh masifisitas bantuan hukum pro bono oleh advokat serta peran civil society untuk pendampingan dan advokasi hukum. 

Foto by Kompas.com

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By Pradikta Andi Alvat

This statement referred from