Gen Z lebih peduli kesehatan mental daripada uang, benarkah?
Akhir-akhir ini diberbagai lini media, baik media cetak maupun sosial banyak yang membahas mengenai kesehatan mental. Kesadaran akan kesehatan mental seseorang mulai mendapatkan perhatian. Konsultasi dan mengunjungi psikolog maupun psikiater sudah dianggap hal normal, melihat stigma masyarakat sebelumnya menganggap pergi ke tempat tersebut disamakan dengan sebuah aib atau “orang gila”, walaupun gangguan jiwa bukan berarti “gila”.
Tidak ada orang yang mau mengalami gangguan kesehatan mental, meskipun dapat kita temui beberapa kelompok suka melakukan self diagnosed, dan merasa bangga memiliki gangguan mental. Tentunya, hal ini membuat sedih orang-orang yang memang terkena gangguan tersebut.
Baru-baru ini keluar statement bahwa gen z lebih peduli akan kesehatan mental daripada uang. Opini ini keluar setelah beberapa orang menyuarakan di media sosial bahwa dirinya lebih baik resign dari suatu pekerjaannya demi menyelamatkan kesehatan mentalnya. Ditambah komentar orang-orang yang tampaknya seumuran mendukung keputusan tersebut.
Tidak hanya kelompok gen Z yang menjadi “budak corporate”, namun konon pada entrepreneur gen Z pun demikian. Hal ini terungkap oleh salah satu akun media sosial yang memposting potongan percakapan antara dirinya dan keponakannya. Anak itu sedang melakukan pelajaran praktek kewirausahaan di sekolahnya, dan dia beserta kelompoknya berjualan kebab. Kemudian dia menawarkan kepada paman nya. Anak ini ditantang untuk menawarkan kebab kepada dirinya melalui bahasa inggris, jika bisa dia berjanji akan membeli 10 buah kebab.
Diluar dugaan, si anak menjawab bahwa dia akan berdiskusi dahulu dengan tim kelompoknya, karena 10 buah dianggap banyak. Dia takut tidak dapat memenuhi permintaan pamannya. Kemudian pamannya memposting percakapan itu engan caption “anak zaman sekarang lebih mementingkan mental health daripada uang”
Dilihat dari respon netizen, hal ini menimbulkan pro kontra. Tetapi sebagian besar justru mendukung keponakan pemilik akun tersebut. Alasannya adalah karena dia bekerja dalam tim, dan bukan bagian memasak, wajar jika mau berdiskusi dulu dengan timnya. Anak ini dianggap lebih mementingkan “kewarasan” timnya daripada uang. Sementara kontra lain menyebutkan, mereka terlalu manja, dan jika itu terjadi pada dirinya pasti akan langsung diterima, karena hidup butuh uang.
Di sisi lain, masyarakat menyadari bahwa baru akhir-akhir ini, para pekerja, khususnya yang masih berusia 20an, memperkenalkan istilah “healing”, yaitu suatu kegiatan untuk menghibur diri sendiri setelah penat bekerja. Sebenarnya hal ini bukan hal baru, hanya saja istilah ini populer belakangan ini. Generasi diatas mereka, khusunya para orang tua, menganggap kegiatan ini hanya membuang uang, karena usia muda saatnya bekerja keras.
Tentunya pernyataan tersebut ditentang, Gen Z menanggap, kesehatan mental itu penting guna sebagai penyegar untuk bisa kembali bekerja dengan lebih berkonsentrasi. Tentunya dalam konteks ini tidak ada yang benar atau salah. Setiap orang memiliki hak masing-masing atas uang yang mereka pegang dan kelola.
Lantas, dari kasus-kasus diatas, apakah benar gen Z lebih mementingkan kesehatan mental daripada uang? Mungkin begini, jika kita lihat, didikan dan lingkungan memang mempengaruhi mental seseorang. Kak Seto pernah berkata, didiklah anak sesuai dengan zamannya. Tetapi sebagian besar orang tua di Indonesia masih mendidik anak secara otoriter.
Seperti, menjadikan anak investasi, menerapkan sandwich generation, menerapkan konsep orang tua tidak pernah salah, membangun tembok hubungan antara orang tua dan anak. Sedangkan lingkunganpun seperti itu, atasan yang cenderung tidak memikirkan karyawannya, senioritas di tempat kerja, dan sebagainya.
Didukung dengan semakin sadarnya akan kesehatan mental yang terus digaungkan oleh psikolog, psikiater maupun pasien itu sendiri, bisa jadi membuat mereka memang lebih memilih kesehatan mental daripada uang. Kasus ini berbeda dengan “tidak mau stress” karena pekerajaan. Mereka saat ini hanya mau profesional. Teman di tempat kerja tidak perlu sampai dibawa keluar kerjaan, waktu cuti yang ingin di hargai tanpa diganggu kerjaan, bekerja sesuai job desk masing-masing, tidak membahas hal lain khususnya kehidupan pribadi di tempat kerjaan, dan lainnya.
Apa dampaknya jika terus memaksa bekerja namun mental tidak sehat? Bisa jadi mereka tidak bahagia. Padahal bahagia untuk diri sendiri itu penting. Pernah ditemukan kasus bunuh diri juga, karena anak ini stress diminta uang terus menerus oleh orang tuanya, sementara dia merasa sudah bekerja dengan keras dan memberikan yang terbaik menurutnya. Semua ini terjadi karena mentalnya yang terluka.
Mari saling mengerti satu sama lain. Dari gen Z sendiri juga harus profesional, jangan sedikit-sedikit menggunakan alasan kesehatan mental jika dirasa bukan itu penyebabnya. Begitupula dengan keluarga, jangan memaksa anak untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara berlebihan, dengarkan pendapat mereka, buang opini “orang tua selalu benar karena sudah hidup lebih lama”, lakukan kontak fisik dengan anak. Para pemimpin pun juga sama, mari saling menghargai pekerja kalian. Bekerjalah dengan profesional. Sadari mereka juga butuh waktu istirahat, hidup mereka bukan hanya untuk bekerja di tempat anda.
Kesimpulannya, benar bahwa gen Z lebih mementingkan kesehatan mental daripada uang. Namun tidak semua berani mengambil langkah, sehingga tanpa disadari mereka sudah “jatuh”. Setiap generasi wajib saling mendukung satu sama lain, tanpa harus menjatuhkan generasi yang lebih muda hanya karena merasa lenih tua, lebih senior, atau lebih tertekan hidupnya pada saat seusia mereka.
Analoginya begini, bagi seorang anak SD ujian terberat dalam hidupnya adalah tugas sekolah. Namun bagi kepala rumah tangga, ujian terberatnya tentu bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi mari lintas generasi saling mendukung, bukan menjatuhkan.