ANGKA INFLASI AMERIKA SERIKAT MEROKET TINGGI, APA DAMPAKNYA BAGI INDONESIA?
Pada Juni 2022 inflasi di Amerika Serikat berada diangka 9,1%. Ini merupakan rekor tertinggi angka inflasi di negeri Paman Sam tersebut dalam kurun waktu 41 tahun terakhir. Penyebab utama permasalahan ini dikarenakan invansi Rusia ke Ukraina yang tak kunjung usai sehingga pasokan energi seperti BBM dan juga pasokan pangan mengalami kendala.
Lantas apakah hal tersebut akan berdampak ke Indonesia, khususnya dalam bidang perekonomian?
Dengan tingginya angka inflasi di Amerika Serikat saat ini tentunya akan berdampak terhadap negara-negara yang ada di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Indonesia termasuk dalam kategori negara Emerging Market, yang merupakan negara yang sedang berkembang dan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap perubahan ekonomi baik dari internal maupun eksternal (Sindi, Hasdi, and Dewi: 2019).
Diantara dampak yang terjadi pada Indonesia adalah melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat. Dampak dari kenaikan dollar AS sangat berpengaruh terhadap nilai mata uang di beberapa negara kawasan Asia. Sebagian besar mata uangnya mengalami kemerosotan. Seperti yuan China turun 0,12 persen, yen Jepang merosot 0,48 persen, baht Thailand terkoreksi 0,35 persen, won Korea Selatan melemah 0,43 persen, ringgit Malaysia tergerus 0,11 persen, peso Filipina turun 0,09 persen, dan dolar Taiwan merosot 0,24 persen (IDXChannel.com).
Lalu bagaimana dengan nilai tukar rupiah? Nilai tukar rupiah juga mengalami hal serupa. Pada akhir bulan Juli lalu kurs rupiah mencapai angka Rp. 15.000 per USD. Dikutip dari data Bank Indonesia pada 28 Juli lalu kurs transaksi Bank Indonesia (BI) semakin turun, di mana kurs jual mencapai Rp 15.059,92, dan kurs beli Rp14.910,08.
Menurut kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan bahwa yang menjadi penyebab melemahnya nilai tukar rupiah adalah para investor khawatir akan adanya resesi di berbagai negara, sehingga menjadi sentimen risk-off bagi investor.
Melihat kondisi tersebut akhirnya The Fed mengeluarkan kebijakan moneternya berupa menaikkan suku bunga acuan demi menyelamatkan perekonomiannya. Diantara kekhawatiran tersebut menimbulkan berbagai macam polemik dikalangan tokoh ekonom Indonesia yang mengutarakan pendapatnya demi menyelamatkan negara dari ancaman resesi. Namun ternyata Bank Indonesia mengambil strategi yang tepat dengan mempertahankan suku bunga acuannya sehingga secara fundamental nilai rupiah saat ini masih relatif baik dalam menghadapi dollar AS.
Volume impor minyak juga mengalami peningkatan. Meskipun Indonesia merupakan negara pengekspor minyak mentah namun angka impor minyak Indonesia juga besar untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri yang tidak sebanding dengan jumlah pasokan minyak hasil produksi sendiri. Peredaran uang dollar AS yang tinggi dan naiknya harga komoditas dipicu menjadi penyebab impor minyak mengalami kenaikan (kompas.com). Sehingga tidak heran jika kini pemerintah terus berupaya untuk mengendalikannya salah satunya dengan cara membatasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi masyarakat agar keuangan negara tidak jebol, dan alhasil harga beberapa jenis BBM non subsidi mengalami kenaikan.
Tingginya angka inflasi Amerika juga disinyalir dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia dibarengi dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan harga yang mengalami kenaikan (IDXChannel.com). inflasi AS yang tinggi mengancam adanya stagflasi yang disebabkan tingginya inflasi dan lambatnya pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu diharapkan pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi dengan melakukan akselerasi dan pembukaan sektor-sektor ekonomi yang dapat memperlancar tumbuhnya perekonomian. Selain itu pemerintah harus tetap konsisten dalam menjaga daya beli masyarakat menyalurkan berbagai bantuan sosial (sulsel.suara.com).
Hal tersebut merupakan langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga tingginya angka inflasi, penurunan daya beli masyarakat, dan pelemahan ekonomi. Menteri Keuangan juga menjelaskan tingginya inflasi Amerika dapat mengancam bahkan mengganggu pemulihan ekonomi secara global, dan kita harus bisa mengelolanya dengan baik agar tidak terjadi resesi.
Dari sisi moneter, kebijakan tapering off Amerika Serikat tentunya dapat berpengaruh terhadap jumlah modal asing yang masuk ke negara berkembang seperti Indonesia, dan apabila rupiah mengalami kemerosotan maka dampak terburuk yang dapat terjadi yaitu inflasi yang disebabkan kenaikan harga barang impor sedangkan daya beli masyarakat tidak bisa mengimbangi kenaikan harga tersebut.
Bila dibandingkan beberapa negara lain di dunia, Indonesia termasuk negara yang tingkat inflasinya belum tinggi, ini dikarenakan pemerintah yang masih memberikan subsidi yang besar dan menahan untuk menaikkan harga secara tinggi terhadap masyarakatnya seperti subsidi BBM dan listrik. Namun jika terus-terusan seperti ini maka lambat laun inflasi di Indonesia akan terus meningkat. Maka dari itu bagi masyarakat sebaiknya jangan terlalu boros dalam membelanjakan uangnya, beli lah apa yang menjadi kebutuhan bukan hanya sekadar keinginan saja karena masyarakat sekarang banyak yang mudah berpengaruh terhadap tren yang ada dan hanya ikut-ikutan. Lebih baik sisihkan penghasilan untuk saving jika terjadi sesuatu diluar dugaan dan lebih baik lagi jika menanamkan investasi baik itu berupa emas maupun saham dan lainnya, karena dengan investasi lah dapat meminimalisir jika terjadi inflasi.