Beda Keyakinan : Menciptakan Persatuan atau Perpecahan?
Dewasa ini, Indonesia sedang diterjang oleh beberapa konflik yang mempermasalahkan keberagaman di negara kita tercinta ini baik konflik suku, ras, bahkan agama. Padahal negara kita ini dikenal dengan negara yang memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Disini, perpecahan menjadi suatu hal yang bertolak belakang, salah satu penyebabnya adalah perbedaan suatu keyakinan. Apakah kalian ingat tentang kasus Fenomena Radikalisme Gerakan ISIS di Indonesia dan Kekristenan di Barat pada masa yang menolak konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan? Mengapa itu bisa terjadi? Yuk kita cari tau.....
Beragama merupakan sebuah prinsip seseorang yang dalam realitas nyata diaplikasikan dengan mempercayai suatu hal atau zat yang gaib dan kepercayaan tersebut terbentuk dalam ruang pribadi. Beragama bermakna mempercayai suatu agama. Sedangkan agama yang ada di dunia tidaklah sedikit. Realitas kehidupan sosial menjadi mungkin untuk mengakomodasikan perbedaan dan keragaman di antara manusia. Problematika baru yang terjadi saat ini yaitu dimulai dengan realita bahwa konflik agama dipandang sebagai suatu fenomena yang nyata. (Khurotin, 2010) Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam tentang perbedaan keyakinan terutama dalam beragama pada suatu masyarakat yang dapat menimbulkan perpecahan atau bahkan bisa menjadi perantara persatuan tergantung bagaimana sudut pandang dari masyarakat itu sendiri. Hal ini ditujukan agar dapat meminimalisir berbagai pendapat yang akan menimbulkan konflik hingga terjadi perpecahan dengan menjelaskan betapa pentingnya sikap saling menghargai di tengah perbedaan tentang keyakinan.
Karena hal tersebut umat beragama harus menemukan titik persamaan, bukan mencari perbedaan yang pada akhirnya justru akan berujung pada konflik sosial. Inti masalah sesungguhnya disini bahwa perselisihan atau pun konflik yang terjadi antar umat beragama terletak pada ketidakpercayaaan yang ada dan saling mencurigai satu sama lain. Setiap pribadi yang berbudi luhur dapat ditunjukkan dengan memiliki prinsip bahwa dalam hidup beragama seharusnya mampu untuk mengendalikan diri dari emosi yang bisa memicu permusuhan. Setiap manusia seharusnya mau menanggalkan sikap egois, ingin menang sendiri dan menganggap bahwa dirinyalah yang selalu benar dalam hal yang berkaitan dengan keagamaan.
Tidak sedikit dari pemuka agama yang mengatakan bahwa semua agama sama. Salah satunya adalah Paul F. Knitter, seperti yang dikutip dari ia mengatakan: “Anda tidak dapat mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari agama yang lain. Semua agama, pada dasarnya, adalah relatif yaitu terbatas, parsial, tidak lengkap sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu. Menganggap bahwa sebuah agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain, sekarang, dirasakan oleh ahli agama sebagai seuah sikap yang agak salah, ofensif dan merupakan pandangan yang sempit.” Setiap agama mengekspresikan bagian penting dari sebuah kebenaran.
Tapi, sayangnya di era sekarang banyak timbulnya permusuhan yang disebabkan adanya perbedaan keyakinan dibuktikan dengan adanya Fenomena Radikalisme Gerakan ISIS di Indonesia, dimana angkatan muda banyak terlibat di dalamnya. Fenomena ISIS merupakan isu yang saat ini ramai diperbincangkan di Indonesia semenjak kemunculannya diketahui oleh masyarakat Indonesia dari dukungan warga Indonesia yang melakukan aksi baiat di beberapa daerah serta video yang diunggah di youtube baik berupa dukungan maupun sebuah ancaman. Beberapa peristiwa yang terjadi terdapat kaum muda di sana terlibat seperti di Malang, Temanggung, Wonosobo, Jawa Barat dan Banten (Kompas, 26/6, 2016 Koran Tempo). ISIS (Islamic State of Irak and Syiria) adalah gerakan keagamaan yang berupaya untuk menegakkan pemerintahan atau negara yang berlandaskan sistem islam (Khilafah Islamiyah) yaitu kelompok ekstremis yang mengikuti ideologi garis keras Al-Qaidah dan berpedoman kepada prinsip-prinsip jihad global.
Selain itu, juga ada konflik timbulnya penolakan disebabkan dengan lahirnya konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan berkaitan erat dengan peperangan antarkonvensi yang beberapa kali melanda Eropa dalam kurun waktu hampir 500 tahun (Bdk Hans-Georg Ziebertz, 2015). Kekristenan di Barat pada masa itu menolak konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan karena pandangan tersebut yang dianggap sebagai ajaran sesat atau heresi oleh Gereja. Prinsip yang berlaku pada masa itu ialah Cuius regio, eius religio atau dapat diartikan sebagai ‘agama raja ialah juga agama rakyat yang dikuasainya’. Doktrin disini menjadi pegangan bagi gereja pada masa itu yang diperteguh keyakinan bahwa raja ialah titisan dewa atau utusan Allah.
Meskipun demikian,kebebasan beragama di negara kita mengacu pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2, yang menyatakan bahwa “Setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya”. Dimana hak atas kebebasan beragama termasuk kebebasan dasar/fundamental. Alasannya adalah karena kebebasan beragama adalah hak alamiah dan bersifat kodrati, yang secara turun-temurun melalui keluarga dan kerabatnya yang bisa disebut agama. (http: www.kompas.com)
Dengan demikian, perlu kesadaran diri sendiri bahwa perbedaan itu ada bukan untuk memecah belah tapi untuk saling melengkapi agar menjadi satu seperti semboyan Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Seperti pelangi yang warnanya berbeda tetapi tetap indah dipandang. Begitu juga dengan kita Indonesia banyak perbedaan baik suku, ras,budaya maupun agama. Jadi, dengan adanya keragaman ini, semoga kita pemuda Indonesia bisa menikmati hidup yang penuh warna sebab tugas kita adalah menciptakan persatuan bukan perpecahan, mewariskan toleransi bukan kekerasan.