CITAYAM FASHION WEEK: RUANG EKSPRESI REMAJA KELAS BAWAH ATAS REPRESENTASI GAYA HIDUP KAUM URBAN

profile picture Umi Nur Baity

Trend tidak hanya membutuhkan soal ruang tetapi juga fenomena. Keduanya adalah hal primer dalam menguatkan posisi trend sebelum benar-benar meredup karena bersifat sementara. Untuk melahirkan ketiganya maka, diciptakanlah sebuah adopsi melalui objek fesyen. Sebenarnya tujuannya simple, sekadar hanya untuk membuka luas atas sempitnya pemikiran bahwa fesyen kelas bawah tidak tenggelam sekalipun hidup tersisih di tengah-tengah budaya hedonisme kaum elit gedongan. Pun tidak karam oleh anggapan ‘hidup penuh gaya, bergaya memenuhi hidup’ sesuai pedoman kaum elit gedongan sifatnya cukup nyentrik ini. Kemunculan CFW sebagai fenomena cukup menggegerkan publik yang selama ini hidup tanpa menoleh kelas bawah. Posisi di bawah selayaknya akan dipandang sebelah mata, dari sinilah remaja kelas bawah ini berupaya unjuk gigi setidaknya mengurangi atau bahkan menghilangkan persepsi miring tentang mereka. Remaja kelas bawah rupanya mampu menciptakan ruang baru lewat hal sesepele jalanan dan tempat tongkrongan. Sepele dan sederhana itulah kesan pertama ditampakkan oleh remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok) dalam menaikkan jumlah atensi publik terhadap apa yang mereka usung.

Antara Jalanan dan Kelas Sosial 

Saya kira olahan kreativitas remaja ini cukup memberikan gebrakan penuh pada ruang publik yang selama ini telah dicuri oleh hiruk pikuknya kemegahan metropolitan. Selama ini yang terbentuk dalam pikiran masyarakat catwalk hanya bisa dilakukan kaum elit gedongan. Biasa ditampilkan berupa ajang kontes di atas panggung berkarpet merah disoroti banyak kamera. Di tangan remaja SCBD mereka olah fasilitas primer perkotaan berupa zebra cross disulap menjadi arena catwalk. Saya pikir cukup gila, zebra cross tadinya sarana prasarana penyebrangan pejalan kaki diubah menjadi arena catwalk kelas bawah mengekspresikan jati diri. Cukup bermodalkan percaya diri berlebih untuk berlenggak-lenggok melewati zebra cross kemudian bergaya sembari ‘says hello’ di depan kamera. Keberadaan catwalk di sini sesungguhnya hendak mengurangi tingkat overthinking masyarakat soal keberadaan orang-orang pinggiran. Terdetik dalam pemikiran sempit mereka jalanan telah mewakili rumah bagi orang-orang pinggiran. Sementara kemiskinan seperti lampu lalu lintas yang bersanding sepanjang perjalanan hidup mereka. Meskipun begitu, nyatanya mereka dapat andil menyandingkan catwalk tanpa memandang kelas sosial. Hal itu tampak nyata membaurnya kaum elit seperti Baim Wong, Paula bahkan sampai Pak Ridwan Kamil turut menyemarakkan agenda tersebut. Artinya agenda ini cukup sukses memantik perhatian public figure tanpa batasan kelas sosial.

Sebelum CFW (Citayam Fashion Week) naik daun, pernah trending pula soal JJS (Jalan-Jalan Sore), sebuah istilah agenda anak-anak muda bergaya fashionable nongkrong di tempat-tempat strategis. Konsep yang menonjol tidak hanya berupa fesyen tetapi telah berbungkus aksi breakdance dan atraksi BMX. Disinyalir fenomena seperti CFW dan JJS keduanya memiliki magnet tersendiri guna melunakkan pemikiran kaum elit soal jalanan. Pada awalnya selintas dari pemikiran mereka mengira jalanan tempat kotor, jorok, rawan terjadinya kriminalitas, dan lainnya. Kemudian diubah menjadi kawasan lebih ramah dan tertib sekalipun masih dalam proses panjang, saya kira jalanan akan menjadi ruang terbuka untuk memahami ritme kehidupan sungguhan. 

Mode Fesyen: Representasi Gaya Hidup Sekaligus Kritik Sosial

Menilai gaya berpakaian dari Bonge dan Kurma didominasi warna gelap seperti mengingatkan saya kembali pada buku Kentut Kosmopolitan garapan Seno Gumira Ajidarma (Pabrik Tulisan:2020). Dalam esainya berjudul Politik Busana, beliau memperhatikan betul mengenai budaya masyarakat memakai busana serba hitam saat melayat. Pemilihan warna hitam mewakili kesedihan para pelayat, artinya hal ini menjadi acuan masyarakat mewajibkan berbusana hitam saat melayat. Beliau membandingkan budaya melayat di tahun 30-an sampai 70-an lewat foto-foto lawas, ternyata tidak satu pun pelayat menggunakan dominasi warna hitam. Seno Gumira Ajidarma menitikberatkan bahwa busana dominasi hitam hadir dalam masyarakat urban menyesuaikan konteks teori identitas. Sesungguhnya dari identitas itu memetakan kebudayaan suatu wilayah dan kelas sosial masing-masing. Sama dengan pemakaian dominasi warna gelap atau hitam yang dikenakan remaja SCBD ini. Mereka menunjukkan dominasi hitam sebagai identitas dari kelas bawah yang selalu hidup di tengah kegelapan. Yang dimaksud di sini yakni representasi dari kesuraman hidup dialami anak-anak putus sekolah, pengangguran, dan lainnya. Toh warna gelap akrab pemaknaannya dengan rasa simpatik terhadap kesuraman hidup. Pesan menyentil itulah yang ingin mereka sampaikan kepada khalayak luas. Itulah representasi warna gelap sebagai bahan pemaknaan fesyen yang diboncengi kritik sosial.

Melihat Jeje Slebew memakai tank top putih dipadu celana panjang denim membuat saya berpikir mode berpakaiannya mendobrak label branded. Pasalnya branded menjadi ikon keaslian produk yang dielu-elukan kaum elit gedongan. Tanpa label branded pun remaja SCBD bisa tampil fashionable bak artis TikTok. Remaja SCBD ini ada pula berhasil memanfaatkan baju bekas pakai untuk catwalk, toh tidak akan ditanya baju dapat dari mana. Dalam buku Tiada Ojek di Paris garapan Seno Gumira Ajidarma (Mizan:2015) dalam esainya berjudul Mode Kelihatan Pusarnya, beliau memperhatikan pemandangan wanita pemakai tank top dipadukan celana hipster. Dalam prespektif Barthes, fashion selalu memperalat mitos. Maksudnya para produsen selalu punya cara jitu mengakali konsumen dengan iming-iming trend atau mode. Selaras dengan Althusser bahwa konsep identitas menjadi suatu kegiatan material yang dapat berubah atau bertahan menyesuaikan teori atau dari seperangkat sistem yang berlaku. Trend fesyen remaja SCBD ini mati-matian dipertahankan semenjak menjadi buah bibir kaum elit gedongan.

Seperti halnya Harajuku Style sebuah inovasi remaja Jepang mengusung kesamaan konsep dengan CFW ini. Dalam esai ditulis oleh Ajeng Riska berjudul Citayam Fashion Week: Invasi Jaksel, Artis, dan Orang Kaya Membuatnya Tak Lagi Murni. Harajuku Style ini lebih menunjukkan pada penggunaan pernak-pernik dominasi warna cerah misalnya merah jambu ini memberi kesan yami kawai artinya imut tapi suram. Kesuraman ini adalah bentuk gejala depresi dan tingginya ketergantungan bunuh diri dialami mayoritas remaja di Jepang. Sementara warna-warna terang dan cerah ini sengaja ditabrakkan dengan fakta buruk tersebut. Dalam budaya fashion CFW sendiri warna-warna terang seperti merah semata-mata menjadi pelengkap saja misalnya merah pada semir rambut. Kesan semir rambut mencolok dan pirang mempertegas daya kritik yang selama ini dianggap banal susah diatur. Identitas semir rambut biasanya mengarah pada anak punk. Mereka adalah sejarah kenakalan remaja yang tidak terurus dan dibiarkan seolah sampah masyarakat. Remaja CFW menjadi salah satu representasi remaja yang sudah mulai melunak diterima di masyarakat.   

Sebetapa pun fesyen membanjiri tetaplah memegang pepatah ajining raga gumantung saka busana, ajining awak gumantung saka tumindhak (kehormatan raga bergantung pada busana, kehormatan pribadi bergantung pada tindakan). Bagaimana kita berpenampilan itu penting, sepenting bagaimana kita menjaga sikap.

2 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
2
0
profile picture

Written By Umi Nur Baity

This statement referred from