Citayam Fashion Week, ke”Latah”an dan Kontroversinya

profile picture Johny

Bonge dan Jeje dua nama yang semingguan terakhir banyak saya dengar dari pemberitaan, selain soal Brigadir J,  Bharada E dan beberapa abjad lain. Namun saya lebih tertarik untuk berbicara soal dua anak Citayam ini. Kepopuleran yang sementara waktu membersamai mereka, bukan berasal dari ajang pencarian bakat yang dulu sempat hingar bingar menghiasi hampir setiap layar kaca, bukan pula dari program reality show yang telah banyak disetting dan dipermak sedemikian rupa, namun dari spontanitas yang mengarah pada ketidaksengajaan belaka.  Bila kita mengetik ciyatam fashion week di mesin pencarian, puluhan artikel akan kita jumpai mengulas tuntas sejarah dan awal mula cerita viral aksi para anak muda yang bergaya dengan keunikan outfit yang mereka gunakan melintasi jalanan di kawasan strategisnya Jakarta ini. street fashion yang mereka lakukan, tidak serta merta sebagai ajang yang terkonsep dan tertata sebelumnya, melainkan diawali dari kebiasaan nongkrong, membuat konten, street interview , lalu bertambah menjadi ajang adu gaya fashion atas tampilan dan busana yang mereka kenakan. Media sosial yang telah membantu mereka menjelma bak bintang baru yang dikenal seantero negara.

Liak liuk lincah meraka bergaya diatas catwalk jalanan, seolah menjadi bentuk copyan para pesohor manca, yang telah memiliki acara rutin sejenis dengan nama Paris Fashion Week.  Bak mengekor, dan berharap atas kepopuleran yang sama, kini banyak anak-anak muda diberbagai daerah seolah tak mau kalah, ikut meramaikan sebagian jalanan dengan aksi dan gaya yang hampir serupa. Entahlah, mengapa kelatahan akan hal populer dari media sosial itu seolah telah menjadi satu tradisi yang mudah menghinggapi. Mulai dari pejabat, artis, tua, muda seakan tidak mau ketinggalan dan dicap tidak kekinian. Mereka pun larut dalam euforia bergaya seperti anak Citayam punya. Tidak salah memang meniru satu hal demi sebuah kebaikan, seperti yang selama ini sering kita dengarkan dari dengungan motivator ternama, amati, tirukan, modifikasi. Namun Citayam Fashion Week yang hendak mereka adopsi nyatanya masih meninggalkan jejak pro dan kontra diranah ibu kota. Puncak dari kekontroversi itu manakala publik dipertontonkan perebedaan sikap antara atasan dan bawahan dikalangan pejabat yang berwenang. Langkah pemerintah kota Jakarta Pusat untuk menghentikan gelaran karena dinilai mengganggu karena memakai badan jalan, nyatanya harus bertentangan dengan sikap sang pemimpin pemerintahan wilayah yang menyatakan gelaran itu tetap boleh dilanjutkan. Dan seperti sudah-sudah, bila atasan saling berselisih paham, maka dibawah akan merasakan kebingungan. Berkaca akan hal tersebut, penyelenggaraan acara semacam Citayam Fashion Week didaerah, selain akan melatah pada konsep dan tata caranya, juga hanya akan memindahkan kontroversi yang terjadi. Tengoklah yang terjadi di Tunjungan, saat gelaran fashion di jalanannya harus disambut dengan klakson dan cacian kemarahan. Bila tidak disikapi dengan bijak oleh segenap pemangku kepentingan, kelatahan akan klakson dan kemarahan pun juga akan melatah ikut muncul diberbagai daerah. Anak – anak muda butuh eksistensi, masyarakat pengguna jalan lain pun juga butuh kenyamanan diri, maka mempertemukan keduanya ditengah tawa adalah pekerjaan yang seharunya menjadi list utama bagi pemimpin kabupaten dan kota, bila anak – anak mudanya tetap ingin mengelar acara yang sama. Jauh sebelum Citayam Fashion week ini bergema, daerah – daerah sebenarnya telah memiliki acara tahunan yang kurang lebih sama temanya. Ada Solo Batik Carnival, ada Jember Fashion Carnival, Surabaya Fashion Parade serta beberapa acara sejenis yang biasanya diadakan saat HUT Kota/ Kabupaten lainya. Dari pada latah ikut – ikutan trend acara yang bergema lewat sosial media, anak – anak muda ini sebaiknya diikut sertakan dalam gelaran tahunan tersebut, menumpahkan segala macam ide, kreatifitas, inovasi kekinianya agar acara yang rutin dilaksanan itu menjadi ajang kreatif seperti yang selaras dengan aspirasi waktu. Terlepas dari segala macam kontroversinya, fenomena Citayam Fashion Week patut di syukuri keberadaanya, spontanitas, kreatifitas dan ide – ide segarnya telah membawa cerita lain yang mengubah hidup para pelakunya dalam berhadapan dengan episode baru kehidupan. Tawaran iklan, model, endorsement serta deretan jadwal interview dilayar kaca, adalah berkah lain pelengkap cerita.  Anak – anak Citayam dan Bojonggede kini menemukan panggungnya, untuk tetap maju dan menyelaraskan jiwa. Namun sebagai trend yang muncul dan terkenal dari sosial media, jenuh dan bosan adalah keluhan pasti yang tidak bisa dihindarkan, maka butuh sentuhan, konten kreatif lain, inovasi dan ide – ide susulan agar muncul trend “ Citayam – Citayam berikutnya sebagai penyambung cerita viral yang tak ada habisnya.  Anak – anak muda itu butuh eksistensi, butuh ruang ekspresi diri, mendukungnya untuk tetap berjalan dalam koridor dan tatanan yang seharusnya adalah tugas yang tidak boleh diabaikan, mereka butuh arahan dan bimbingan, bukan mematenkan Hak dan seluk beluknya, yang justru akan menjauhkan ide, gagasan, spontanitas dan orisinilitas yang ada. Citayam Fashion Week itu bukan kreatifitas yang akan terakhir muncul, setidaknya bila kelatahan lain akan hadirnya trend dikemudian hari ada lagi, kita sudah dapat menentukan bagaimana harus menyikapi bukan malah menambah kontroversi, apalagi membawanya dalam kepentingan politik yang sungguh tidak pernah menarik.

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By Johny

This statement referred from