Peran Literasi di Masa Keemasan Islam dan Nasibnya Kini

profile picture Khaliza Fahira

Imam Al-Ghazali berpesan “Jika kamu bukan anak raja dan bukan pula anak ulama besar, maka jadilah kamu penulis”.

“Membaca ialah upaya merengkuh makna dan ikhtiar untuk memahami alam semesta. Itulah mengapa buku disebut jendela dunia yang merangsang pikiran agar terus terbuka” kata Najwa Shihab.

Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, yang tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa. Jauh sebelum adanya gerakan masif untuk meningkatkan literasi di Indonesia, Islam sudah lebih dulu menekankannya. Al-Quran sebagai buku panduan hidup manusia yang diturunkan 1400 tahun lalu dalam tempo 23 tahun lamanya berisi susunan 6236 ayat dan ayat pertama yang diturunkan adalah Iqra!

 Mengapa Allah pilih Iqra sebagai yang pertama? 

Tentu agar umat Islam mampu tumbuh besar dengan membaca. Islam sebagai agama Rahmatan Lil’alamin berhasil menyelesaikan berbagai polemik zaman Jahiliyah dengan mengangkat pentingnya thalabul Ilmi. Sadar atau tidak ketika manusia dalam proses Thalabul Ilmi berarti ia sedang berproses mengangkat derajatnya meninggalkan kejahiliyahan.

Dalam Al-Qur’an surah Al-Mujadalah ayat 11 Allah berfirman : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”

Ini terbukti dengan munculnya tokoh hebat seperti Imam Syafi'i. Ia bukanlah seorang anak raja, bukan pula anak ulama besar, tapi kecintaannya kepada ilmu membuahkan hasil yang besar. Ia menjadi orang yang mulia bahkan dikenal sampai saat ini sebagai ahli sastra hingga fiqih dan dengan kepiawaiannya mampu melahirkan kitab-kitab monumental.

Di masa selanjutnya, perpustakaan menjamur dan dijadikan sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan. Karya-karya para ulama, ilmuwan dan cendekiawan dihargai dan diapresiasi. Saat itu yang mengembangkan literasi bukan hanya individu tetapi negara memiliki andil yang begitu besar. Khalifah Makmun yaitu khalifah Dinasti Abbasiyah memberi imbalan emas bagi para penulis dan penerjemah. Hingga lahirlah ribuan buku dan manuskrip yang dikaji dan diterjemahkan ke berbagai bahasa sebagai bentuk produktivitas literasi yang semakin tinggi.

Dalam catatan sejarah, kaum Muslimin terdahulu menjadikan diskusi, menulis, membaca sebagai hal yang urgensi. Ini disorot oleh para cendikiawan Eropa yang membuat mereka turut mendatangi negara-negara Muslim dan ikut belajar bersama. Peradaban saat itu disebut-sebut sebagai peradaban keemasan karena mencapai puncak ilmu yang sangat tinggi.

Dalam Al-Qur’an perintah membaca dan berfikir disebut lebih banyak daripada menulis. Artinya, Allah lebih dulu memerintahkan kita untuk banyak mentrasfer ilmu kedalam diri yang akan mengkristal dan dapat disampaikan lewat lisan atau tulisan sebagai implementasi dari penerapan ilmu. 

Namun kini, menjadi negara nomor satu dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia masih tidak menunjukkan peningkatan kecintaan terhadap literasi di Indonesia. Berdasarkan Studi Most Littered Nasional in The World yang dilakukan oleh Central Connecticute State University Indonesia dinyatakan menduduki peringkat 60 dari 61 negara soal minat baca  (kompas.com). UNESCO menyebutkan bahwa minat baca di Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001% artinya dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca (kominfo.go.id)

Selaras dengan pandangan Ade Suyitno bahwa peradaban emas Islam tidak terlepas dari budaya ilmiah membaca, meneliti, menulis dan berdiskusi. Jika budaya itu hilang, pantaslah umat Islam menjadi Terbelakang. Kini justru sangat memilukan, sebagai Muslim harusnya fakta sejarah kejayaan dunia dengan literasi yang gemilang bisa dijadikan sebagai titik acuan. Membaca dan menulis bukan hanya sekedar menjadi hobi individu tapi kini harus menjadi bagian dari penyiaran agama Islam bagi Muslim di Indonesia. Ini adalah cara yang akan melatih generasi berinteraksi dengan banyak pikiran dan pandangan. Membaca menjadi cara untuk menjaga akal sehat ditengah euforia dunia. Maka bukan tidak mungkin jika Muslim Indonesia menjadi pelopor dan penggerak yang mampu mengagungkan literasi. Karena nafas kejayaan peradaban berembus dari lembar-lembar karya dan mengalir dari torehan tinta.

Negara pun hendaklah ikut andil dalam menyukseskan upaya peningkatan literasi. Dukungan moril dan material sebisa mungkin diberikan untuk mendukung generasi meningkatkan literasi bangsa. Berbagai fakta beberapa tahun terakhir cukup dijadikan pelajaran dan bahan evaluasi, setidaknya dijadikan cambuk dan cermin untuk mengukur ketertinggalan Indonesia dan bagaimana upaya untuk menyusul dan memperbaikinya.

Fakta bahwa literasi kini sudah mengalami banyak pergeseran di era digital dengan menguatnya adaptasi buku elektronik sangat diharapkan menjadi salah satu jalan dan titik terang untuk meningkatkan minat literasi. Perkembangan teknologi ini tentu menjadi kemudahan dalam aktivitas literasi. 

Muhyiddin Ibnu ‘Arabi mengibaratkan dalam bukunya:

“Buku ibarat tamu yang singgah sebentar kemudian tinggal bersama menjadi bayangan diri bahkan menjadi anggota tubuh. Buku adalah kebun raya sebagai penyambung lisan bagi orang yang telah mati dan juru bicara bagi yang hidup”

Wallahua’lam.[KF]

80 Agree 10 opinions
0 Disagree 0 opinions
80
0

This statement referred from