Cyberbullying Terhadap Anak SD Berujung Kematian, Salah Siapa?
Saat ini dunia sedang mengalami perkembangan dan memasuki dunia modern sehingga menciptakan teknologi yang menyebabkan dunia sudah tidak ada lagi batasan (borderless). Tidak diragukan lagi teknologi membawa banyak manfaat, tetapi juga membawa sisi negatif. Salah satunya melahirkan cyberbullying. Menurut Hinduja dan Patchin (2014, hal. 2), cyberbullying mengacu “pada insiden di mana remaja menggunakan teknologi untuk melecehkan, mengancam, mempermalukan, atau mengganggu teman sebaya mereka.”
Lebih lanjut, tindakan ini juga termasuk mem-posting komentar negatif tentang seseorang atau menyebarkan desas-desus untuk mencemarkan nama baik seseorang. Dikarenakan semua orang terjebak di jejaring sosial, sangat mudah bagi siapa saja untuk menyalahgunakan akses ini.
Berdasarkan pada laporan yang dikeluarkan oleh UNESCO pada bulan Oktober 2018 menurut Global School-based Student Health Survey (GSHS) yang melibatkan 144 negara mengungkapkan bahwa sebanyak 16,1 persen anak-anak pernah menjadi korban perundungan secara fisik (Borualogo & Gumilang, 2019, hal. 15). Kemudian, tim security.org melakukan penelitian terhadap orangtua dari anak-anak berusia antara 10 dan 18 tahun, di mana hasilnya menunjukkan 21 persen anak-anak pernah menjadi korban cyber bullying (Security.org Team, 2022).
Penelitian lain dari Sindo Weekly (dikutip dalam Borualogo & Gumilang, 2019, hal. 16), menunjukkan bahwa sebanyak 79 persen siswa di Vietnam dan Nepal pernah menjadi korban perundungan, dan sebanyak 73 persen siswa di Kamboja dan 43 persen siswa di Pakistan juga menjadi korban perundungan. Dari data tersebut menunjukkan bahwa fenomena cyberbullying merupakan persoalan serius.
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia di mana dapat ditemukan masih banyak berita di media massa yang melaporkan kasus-kasus cyberbullying. Tidak jarang kasus-kasus tersebut berujung pada kematian akibat tindak kekerasan yang dialami korban baik secara fisik maupun psikis seperti kasus cyberbullying yang dialami oleh anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Dilansir dari berbagai media, diketahui bahwa korban meninggal karena mengalami depresi usai menjadi korban perundungan oleh rekan-rekannya dengan cara dipaksa menyetubuhi kucing lalu direkam menggunakan ponsel dan videonya disebarkan di media sosial. Melihat kasus tersebut, diperlukan tindakan antisipasi maraknya perundungan yang mana penulis menilai bahwa cara yang paling utama adalah menemukan akar penyebabnya. Dengan melihat permasalahan tersebut, memunculkan 2 pertanyaan besar bagi penulis, yaitu:
- Bagaimana bisa pelaku yang masih berusia di bawah 18 tahun memaksa korban melakukan aktivitas seksual yang menyimpang?
- Apakah orangtua mereka sudah teredukasi soal cyberbullying atau kesehatan reproduksi?
Pertama-tama, kita kupas terlebih dahulu mengenai aktivitas seksual yang tidak wajar yang dipaksakan pelaku kepada korban, yaitu zoofilia/beastialiti. Zoofilia/bestialiti adalah perilaku menyimpang yang melibatkan hewan dalam aktivitas seksualnya dan merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Apalagi ini dilakukan oleh anak-anak. Maka dari itu, sangat mengherankan dari mana munculnya pemikiran anak yang masih di bawah 18 tahun tahu mengenai hal tabu tersebut.
Melansir dari Alodokter.com, hingga saat ini, penyebab penyimpangan seksual seperti zoofilia masih belum bisa diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang diduga dapat memicu perilaku ini, seperti faktor genetik, sosial, budaya, pendidikan hingga ekonomi. Jadi, penulis berasumsi kasus yang menimpa bocah malang di Tasik disebabkan oleh faktor sosial, budaya, dan juga pendidikan (pola pengasuhan) dalam keluarga. Ada beberapa penelitian yang juga mengungkapkan bahwa seorang anak bisa melakukan tindakan agresif seperti perundungan karena faktor kepuasan dan kebahagiaan, atau pelampiasan kekecewaan.
Selain itu, ada faktor peranan lingkungan yang sangat penting dalam mendidik, mengarahkan, dan memberikan kontrol pada perilaku dan perkembangan seorang anak. Di mana dalam hal ini orangtua dan kerabat terdekatnya. Sayangnya dalam kasus ini telah menunjukkan bagaimana hasil didikan orangtua pelaku yang belum baik. Secara tidak langsung kita jadi tahu bahwa orangtua pelaku belum memiliki wawasan yang memadai mengenai pendidikan seksual dan perundungan, serta tidak mengawasi anaknya dalam bermain gadget. Akibatnya, mereka dapat mengakses hal negatif bahkan bisa jadi telah mengonsumsinya setiap hari.
Selain itu, masih banyak orangtua yang menganggap kalau tindakan bullying yang dilakukan oleh anak-anak sebagai tindakan yang wajar alias “bercanda”. Seharusnya, orangtua bisa mengajarkan anak untuk bisa membedakan mana yang perbuatan perundungan dan mana yang candaan. Mirisnya bukan hanya orangtua, bahkan ada pejabat yang menormalisasikan hal tersebut sebagai tindakan yang wajar. Tidak dapat bayangkan apabila kesalahan anak yang terus dimaklumi berpotensi membuat mereka tidak akan pernah tahu di mana letak kesalahan mereka dan berbuat seenaknya tidak sesuai dengan peraturan.
Para peneliti dari University of Minnesota, Amerika Serikat membuktikan bahwa perilaku buruk anak bisa terbentuk dari usia balita dalam dalam jurnal Child Development yang mereka publikasikan pada 2011. Dari hasil pengamatan terhadap 267 ibu dan anak, ditemukan bahwa bayi usia 3 bulan ternyata sudah bisa meniru perilaku orangtuanya. Dari sini kita menyadari pentingnya edukasi dini dilakukan oleh orangtua dalam banyak bidang mulai dari perbuatan yang baik dan benar, perundungan, kesehatan reproduksi, dan lainnya.
Menurut psikolog Sharon K. Hall, anak-anak bisa diajarkan hal yang benar dan salah sejak usia 18 bulan (Ratih, 2022). Dengan demikian, orangtua sudah bisa mendidik anaknya di rentang usia tersebut dan tidak membiasakan sering memakai kalimat seperti “namanya juga anak-anak, jangan diambil hati”. Meskipun diperlukan keterlibatan banyak pihak seperti pemerintah dalam mengatasi kasus cyberbullying, tetapi tetap saja orangtua yang menjadi kunci utama anak untuk berkembang.
Dari pemaparan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwasanya orangtua memiliki peranan yang penting dalam mendidik anak. Karena orangtua merupakan sekolah pertama bagi anak. Sebelum memasuki dunia luar, anak akan belajar banyak hal dari orangtua dan itu yang akan membentuk karakternya secara langsung. Bagaimana menurutmu?
Referensi
Agustin, S. (2021). “Lindungi Anak dari Pelaku Penyimpangan Seksual.” https://www.alodokter.com/lindungi-anak-anda-dari-pengidap-penyimpangan-seksual
Borualogo, I. S., & Gumilang, E. (2019). Kasus Perundungan Anak di Jawa Barat: Temuan Awal Children’s Worlds Survey di Indonesia. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(1), 15–30.
Hinduja, S., & Patchin, J. (2014). Cyberbullying : Identification, Prevention, and Response. Cyberbullying Research Center, October(October), 1–9.
Pusat Sistem Informasi Universitas Kuningan. (2021). BEM FH Uniku: Cyber Bullying adalah Tindakan Pidana, Hati-Hati Pelaku Bisa di Pidana. Diambil Juli 22, 2022, dari https://uniku.ac.id/bem-fh-uniku-cyber-bullying-adalah-tindakan-pidana-hati-hati-pelaku-bisa-di-pidana/#:~:text=Dalam hukum Indonesia%2C peraturan perundang,Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ratih, D. (2022). Stop! Normalisasi “Namanya Juga Anak-anak” Berdampak Negatif. Diambil Juli 23, 2022, dari https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/stop-normalisasi-namanya-juga-anak-anak-berdampak-negatif
Security.org Team. (2022). Cyberbullying: Twenty Crucial Statistics for 2022. Diambil Juli 22, 2022, dari https://www.security.org/resources/cyberbullying-facts-statistics/
Van Tiel, J. (2020). Cyberbullying, an overlooked and ever growing danger to the development of children A Report from KidsRights. Kids right, (November), 1–23. Diambil dari https://files.kidsrights.org/wp-content/uploads/sites/6/2020/11/24105617/KidsRights-Cyberbullying-report-2020.pdf