Polri di Mata Publik: Terus Berulah, Reputasi Melemah?
Publik Indonesia belum lama ini digemparkan dengan aksi baku tembak antar anggota kepolisian yang terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022. Adalah Brigadir Josua Hutabarat, ajudan Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo, yang tewas setelah beradu pistol dengan Bharada Richard Eliezer Pudihang. Terbunuhnya Brigadir Josua ini menyisakan sederet drama pelik.
Dimulai dari isu pelecehan seksual yang dialami istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, teka-teki lokasi tes PCR, hingga isu keterlibatan Kapolda Metro Jaya, kasus ini menjadi begitu ruwet. Tak pelak, banyak pihak menilai Polri tak bersikap transparan dalam menangani kasus ini. Bahkan, Presiden Jokowi sempat menegaskan agar Polri bersikap terbuka. Terlebih, kasus ini menyeret personil Polri sendiri yang tentu menorehkan tinta hitam. Tentunya, semua ditujukan demi menjaga martabat kepolisian di mata publik.
Pertaruhan kepercayaan publik
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai bagian dari institusi penegak hukum tentu idealnya bersikap tegas dan transparan sebagaimana banyak digaungkan masyarakat. Kasus yang terjadi dalam internal kepolisian harus disikapi sebagaimana aturan hukum yang berlaku. Apalagi, berdasar survei yang digagas Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang rilis baru-baru ini, Polri menempati posisi ketiga bersama TNI dan presiden dalam hal kepercayaan publik. Tentu saja, reputasi mentereng ini tak boleh rubuh seketika gegara penyelesaian kasus internal yang tak kunjung kelar.
Reputasi adalah sebuah harga mati yang harus dipertahankan kepolisian saat ini. Melemahnya reputasi kepolisian berarti melemahnya kredibilitas hukum di negeri Indonesia ini. Sejauh ini, kepolisian adalah institusi ujung tombak dalam upaya penegakan hukum. Sebelum diterpa kasus pembunuhan ini, kepolisian terasa adem ayem menjalankan tugasnya. Di bawah komando Kapolri Jenderal Listyo Sigit, Polri tercatat telah menorehkan beragam prestasi gemilang. Sebagaimana diungkap pengamat komunikasi Rahmat Edi Irawan, kerja keras Polri berhasil meningkatkan pengusutan perkara, penurunan tindak kriminal dan terorisme, serta penyelesaian kasus dengan restorative justice (penyelesaian bersama).
Lebih baik dari lembaga negara lain
Selain Polri, sepanjang tahun 2021-2022 institusi penegak hukum lain justru disibukkan dengan kasus pelanggaran yang dilakukan para punggawanya. KPK misalnya, salah seorang petingginya yakni Lili Pinatuli justru terseret dugaan gratifikasi penyelenggaraan MotoGP Mandalika. Dalam penanganan kasus ini, beberapa pihak menyoroti sikap KPK yang ogah-ogahan dan tumpul dalam menjatuhkan sanksi etik. Sebelum Lili, penyidik KPK Stephanus Robin sempat tersangkut suap sebesar 1.5 milyar dalam kasus korupsi eks Walikota Tanjungbalai M. Syahrial. Alhasil, tak mengherankan bila dalam survei LSI terkait tingkat kepercayaan publik, KPK menduduki posisi paling buncit.
Kemudian, kita bisa mengambil contoh lain yakni pengadilan. Dalam survei LSI, pengadilan menduduki satu peringkat di atas KPK. Rangking ini tentu masuk akal bila melihat sepak terjang pengadilan yang banyak dihiasi kasus negatif. Januari lalu, hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Itong IsnaIni Hidayat terbekuk dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Ia bersama empat tersangka lain diduga terlibat penyuapan dalam proses penanganan perkara. Dua bulan berselang, tepatnya di bulan Mei, giliran dua orang hakim PN Rangkasbitung, Banten terjerat kasus narkoba. Perilaku oknum hakim ini menyebabkan Komisi Yudisial (KY) geram dan memecat keduanya.
Kini, kendali reputasi Polri ada di tangan Polri sendiri. Mau tak mau Polri perlu mengambil langkah strategis dan nyata untuk mengembalikan kepercayaan publik. Menurut hemat penulis, langkah terdini yang perlu diambil adalah menuntaskan kasus meninggalnya Brigadir J ini. Apapun risiko yang akan diperoleh, kejelasan dan kepastian kasus ini harus diusut tanpa pandang bulu. Terlebih, kasus ini telah melebar kemana-mana hingga memunculkan kubu-kubu tertentu yang bukan tidak mungkin akan mendorong timbulnya konflik baru. Keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk memecat Irjen Ferdy Sambo sejauh ini adalah langkah tepat. Tindakan Kapolri merepresentasikan keberpihakan Polri kepada penanganan kasus hukum yang harus benar-benar murni dari campur tangan elit pejabat.
Tak boleh lengah
Di sisi lain, meski Polri kini dituntut fokus pada penyelesaian atas kasus ini, penanganan terhadap kasus-kasus lain tak boleh kendor. Penindakan terhadap perilaku yang melanggar hukum harus diproses sesuai dengan peraturan yang ada dan ditindak tegas. Jangan sampai situasi ini dimanfaatkan para “tikus dan bajingan” negara untuk makin leluasa melancarkan aksinya. Penulis meyakini bahwa koruptor, penyuap, dan pengembat aset negara masih banyak yang berkeliaran menghirup udara bebas tanpa sedikitpun rasa khawatir akan digeruduk Polisi.
Alhasil, koordinasi, kolaborasi, dan sinergi Polri bersama lembaga pemerintahan lain perlu terus dipupuk. Selain untuk menguatkan upaya penegakan hukum, sinergitas bersama juga akan mendorong rasa kebersamaan antar sesama institusi negara. Publik tentu tidak mengharapkan bila situasi pelik yang kini mendera Polri dibiarkan begitu saja oleh institusi yang lain tanpa adanya dukungan maupun bentuk sumbangsih lain. Meski ini memang kasus internal, kehadiran institusi lain untuk turut membantu menyelesaikan perkara ini tentu akan menjadi energi positif di mata publik. Saatnya bagi Polri untuk kembali bangkit dari keterpurukan dengan saling bahu-membahu bersama lembaga negara dan masyarakat . Sebagaimana tagline G20, “Recover together, Recover stronger.”
Come on Polri!
Disarikan dari berbagai sumber seperti BBC, Kompas, Liputan6, dan media lain.