Romantisasi terhadap 'Mental Illness' agar menjadi Keren

profile picture Nirvana Liona

Kesehatan mental sempat menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan dan dipandang sebagai kelemahan apabila seseorang ketahuan menyandang suatu penyakit mental. Untungnya, stigma demikian berhasil diperangi oleh gen Millenial dan gen Z ketika Covid-19 tiba-tiba memunculkan taringnya dan mau tak mau membuat orang berusaha sebisa mungkin untuk melakukan yang terbaik demi kelancaran hidup yang bersumber daripada pekerjaan dan kegiatan yang mereka lakukan. Walau demikian, apakah para penyandang penyakit mental terbantukan dengan adanya berbagai media yang membahas berbagai isu seputar kesehatan mental dan orang-orang yang berperan aktif dalam membantu dan memberi edukasi tentang kesehatan mental? Tentu. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa dari mereka yang sudah ada berani menyampaikan rasa syukur dan terima kasihnya karena orang-orang yang bekerja sama untuk mematahkan stigma lama terhadap kesehatan mental. Tapi di sinilah masalah lain muncul. Sembari jalannya berbagai upaya kita untuk mengedukasikan orang-orang mengenai kesehatan mental, ada beberapa dari kita yang merasa keren atau bangga terhadap penyakit mental yang kita miliki, seakan-akan hal demikian mengatakan bahwa menjadi normal dan sehat itu adalah hal yang sudah terlalu mainstream.


Desai (2017) dalam artikelnya yang berjudul “Mental Illness: From Stigma to Gloryfication” menyebutkan bahwa apa yang membuat hal demikian terjadi dikarenakan media sosial (dapat dilihat melalui televisi atau Youtube/Tiktok) memperlihatkan bahwa konten tentang kesehatan mental dapat dijadikan sebagai opsi humor yang dapat menghibur orang. Humor di sini dapat diartikan sebagai mereka yang hanya tertawa terhadap suatu kondisi dari suatu penyakit mental dan tidak peduli mengenai penyandangnya. Selepas terhibur, mereka menganggap bahwa dengan menjadi sakit secara mental dapat menarik simpati orang-orang dan membuat orang-orang berpikir mereka adalah insan keren yang dengan kuat dan tabah dapat melewati semua hal buruk yang dipengaruhi dari penyakit mentalnya. Hal demikian tentunya menyinggung para penyandang penyakit mental yang asli. Sebagai contoh, sebagian besar orang akan merasa bahwa luka sayatan di pergelangan tangan mereka kurang cukup dalam agar bisa membuat orang-orang bersimpati sehabis mereka melihat seseorang di suatu media sosial yang memperlihatkan kedua tangan yang penuh dengan luka sayatan. Sebagian lagi akan menjadi takut untuk meminta pertolongan karena merasa bahwa dirinya hanya bersikap berlebihan saja. Orang-orang salah dalam menyikapi adanya edukasi tentang kesehatan mental. Padahal bermaksud supaya ada penerimaan terhadap para penyandang penyakit mental dan bukannya malah mendorong mereka untuk pura-pura mempunyai suatu penyakit mental hanya untuk menarik simpati dan membuat konten yang minim akan realita sesungguhnya dari sisi gelap penyakit mental.


Harapannya, hal yang sudah disebutkan di atas dapat kembali menjadi informasi bumerang bagi para penyandang palsu yang berpura-pura. Alangkah lebih baiknya apabila ketika seseorang ingin membuat konten seputar kesehatan mental, selalu disediakan teks yang menyatakan untuk tidak mendiagnosis diri sendiri serta kesadaran untuk tidak menjadikan isu kesehatan mental sebagai topik yang lazim untuk menjadi hiburan.

https://www.edelweissbehavioralhealth.com/blog/2017/8/30/mental-illness-from-stigm a-to-glorification

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By Nirvana Liona

This statement referred from