Akun “Kampus” Cantik : Selayang Pandang Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Media sosial

profile picture Yudha Adi Putra

Akun “Kampus” Cantik : Selayang Pandang Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Media sosial

Sebuah Artikel Karya Yudha Adi Putra

                Ketika memakai media sosial Instagram, akan ditemui akun dengan foto-foto mahasiswi cantik dari kampus tertentu. Akun “kampus” cantik menjadi ajang untuk pengguna media sosial Instagram berlomba-lomba mengirimkan foto mahasiswi cantik dan rekomendasi mahasiswi cantik dari kampus mereka. Ada kebanggaan tersendiri ketika fotonya dapat termuat di akun “kampus” cantik. Saya melihat komentar yang membersamai foto mahasiswi cantik dari fakultas tertentu. Lalu, akan dikomentari dengan kebanggaan dari teman-temanya. Selain kebanggaan, ada juga akun yang memberikan rekomendasi siapa lagi yang dimuat di akun “kampus” cantik tersebut. Menariknya, ini dilakukan oleh mahasiswa dan mahasiswi. Tidak jarang, komentar yang kurang pantas karena berkaitan dengan hinaan juga dapat ditemui. Akun “kampus” cantik menjadi media tersendiri untuk menyajikan foto mahasiswi dari berbagai fakultas. Tetapi, menjadi pertanyaan ketika sumber dari foto yang diunggah itu tidak jelas. Menurut saya, tidak semua foto yang ada di akun “kampus” cantik itu diperoleh dengan izin yang baik. Izin dengan menghubungi orang yang bersangkutan dengan pernyataan yang jelas. Tanpa izin ini menjadi persoalan. Kaitannya dengan kejahatan digital dimana ranah privasi malah menjadi ranah publik. Belum lagi, penggunaannya hanya untuk konsumsi publik yang sangat rawan disalahgunakan.

                Lalu, apa sebenarnya akun “kampus” cantik itu. Ada ulasan dari Womens Empowerment Indonesia yang menjelaskan bahwa akun “kampus” cantik merupakan platfrom di Instagram yang memberikan sajian beragam foto mahasiswi kampus yang disepakati bersama “cantik”. Memprihatinkan ketika cantik yang dimaksudkan sesuai dengan standar kecantikan masyarakat yang sangat patriarkis. Mereka yang mengolah akun “kampus” cantik itu memakai penilaian banyak orang yang sangat merugikan perempuan ketika mengunggah foto mahasiswi cantik. Misalnya, gambaran dengan bagian tubuh tertentu yang diperlihatkan tentu akan menarik masyarakat yang melihat. Foto seperti itu yang akan diunggah di akun “kampus” cantik. Bukankah fenomena ini memprihatinkan, ketika dilihat dalam konteks bagaimana mahasiswa sebagai generasi pembawa perubahan malah melanggengkan budaya patriarkis yang merugikan perempuan. Perempuan menjadi obyek hiburan masyarakat dalam media sosial dengan definisi cantik menurut mereka dan pelakunya adalah mahasiswa yang memiliki kewajiban memperjuangkan kesetaraan.

                WEI Fellas menyebutkan bahwa keberadaan akun “kampus” cantik itu menjadi bagian dari dinamika glorifikasi seksisme terhadap mahasiswi kampus. Ada upaya untuk mengkategorikan definisi cantik perempuan dan membawa ke ranah dimana perempuan hanya menjadi obyek yang menghibur karena kecantikannya. Tidak hanya itu, ada berbagai perlakuan yang berkaitan dengan glorifikasi seksisme dari adanya akun “kampus” cantik. Bentuknya dapat berupa obyektifitas seksual. Ini akan ditemukan dalam komentar foto mahasiswi yang ada di akun “kampus” cantik. Biasanya berkaitan dengan bentuk tubuh dan narasi yang merendahkan perempuan, ketika perempuan itu tidak sesuai dengan standar cantik mereka yang berkomentar. Bentuk lain dari glorifikasi juga berkaitan dengan pelanggaran privasi. Foto yang diunggah biasanya hanya langsung diambil dari akun yang memiliki foto tersebut. Tidak ada persetujuan terlebih dahulu dari yang memiliki foto. Ini sangat disayangkan.

                Perempuan menjadi obyek untuk hiburan dan nanti menjadi media untuk promosi juga menjadi persoalan glorifikasi tubuh perempuan. Dalam akun “kampus” cantik, akan mudah dijumpai promosi barang tertentu. Promosi itu dapat dilakukan karena pengikut akun “kampus” cantik itu cukup banyak dan pengaruh dari perempuan cantik yang ada di akun itu juga berperan. Pemilik akun tentu akan diuntungkan karena bisa promosi dan nantinya mendapatkan keuntungan dengan memunculkan foto mahasiswi cantik. Dalam promosi itu juga ada kerentanan privasi yang tersebar. Dimana foto yang untuk ranah privat menjadi ranah publik tanpa seizin pemiliknya hingga data pribadi dapat ditelusuri. Kebutuhan akan popularitas memang perlu, tetapi ketika menjadi bahaya karena data pribadi yang tersebar tentu perlu dikritisi. Glorifikasi seksisme juga berkaitan kecantikan yang malah digambarkan dan diberi definisi cantik pada perempuan. Itu juga membawa dukungan pada orang yang sesuai dengan kebutuhan cantik menurut masyarakat. Tetapi, ketika tidak sesuai akan mendapatkan ejekan yang membunuh karakter.

                Dalam fenomena seperti itu, tentu perlu direspon karena perempuan dalam akun “kampus” cantik itu dirugikan. Perlawanan serta respon dapat dilakukan dengan memperhatikan kaidah berelasi serta komunikasi dalam era digital. Mereka yang fotonya disalahgunakan perlu didukung dengan melakukan teguran kepada yang melakukan unggah tanpa izin. Edukasi juga menjadi ranah penting dalam merespon fenomena obyektifikasi perempuan. Edukasi dilakukan untuk mereduksi peran dari akun “kampus” cantik yang merugikan. Upaya edukasi dengan memberikan pengertian bahwa adanya akun “kampus” cantik itu menjadi bagian dari pelecehan terhadap perempuan. Perempuan dijadikan obyek hiburan yang membawa keuntungan bagi pemilik akun. Ketika edukasi dilakukan, itu akan memunculkan kaidah yang baik dalam kampanye. Kampanye untuk memberantas akun “kampus” cantik yang melecehkan dan menjadikan perempuan hanya sebagai obyek hiburan. Ketika tidak berhasil, tentu ranah hukum perlu dilakukan. Saat ini, era digital juga berkaitan dengan etika bagaimana berelasi di media sosial. Ketika itu merugikan pihak seperti perempuan, tentu perlu dibawa ke hukum untuk memperoleh keadilan. Semua itu dengan semangat memanusiakan manusia, dalam hal ini perempuan. Perempuan merupakan subyek penting dan perannya tidak hanya dibatasi dengan kecantikan saja.

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By Yudha Adi Putra

This statement referred from