Ketika Mental Menuntut Merdeka

profile picture Linda Setiowati

Sedang menjadi perbincangan yang masih hangat - hangatnya bahwa remaja - remaja sering menghabiskan waktu mereka di jalanan bersama teman - temannya ketimbang duduk di rumah bersama keluarga. Sebenarnya hal ini wajar saja jikalau memang jalanan adalah tempat mereka 'sesekali' berkumpul. Namun yang menjadikannya tidak wajar adalah ketika anggapan mereka bahwa 'jalanan adalah rumah kedua' bagi mereka yang sebenarnya memiliki keluarga.

Kadang – kadang berbicara tentang masalah keluarga akan timbul pertanyaan “Jadi orang tua yang salah? Atau anak yang salah?” Entah siapa yang salah tapi hal ini perlu diluruskan oleh yang memiliki masalah itu sendiri.

Beberapa remaja – remaja sosial media bahkan sering kali menampakkan diri di sosial media mereka atau para konten kreator seperti tik tok contohnya, bahwa mereka kerap kali mengalami stress saat menghabiskan waktu bersama keluarganya. Mungkin pertengkaran kedua orang tua atau saudara dengan orang tua. Hal itu menekan mental seorang anak hingga mereka akan merasakan panasnya suasana rumah dan membuatnya tak betah lama – lama berada di rumah.

Faktor lainnya adalah “berapa banyak  yang orang tua berikan untuk anaknya?” Dan “kapan terakhir para ibu dan bapak bercanda bersama anak – anak?” Mental seorang anak perlu dibangun secara perlahan – lahan dan itu membutuhkan waktu yang memang cukup lama. Bahkan ada anak yang baru berhasil membangun mentalnya setelah menikah. Tentu perkara tersebut berkaitan juga dengan ‘Waktu’ yang harus orang tua keluarkan untuk anak.

Dan karena kurangnya waktu orang tua untuk anak, kerap kali ini menjadi pemicu mereka lebih nyaman bersama teman – temannya. Sedangkan saat di depan keluarga mereka akan menunjukkan karakter lain hingga keluarganya pun seakan tak mengenalinya. Sebagai contoh, anak yang seharusnya ceria dan cerewet menjadi pendiam. Ini bentuk kurangnya komunikasi antar bapak - ibu dan anak - anak.

Kurangnya komunikasi interaksi antar anak dan orang tua tentu menimbulkan berbagai macam masalah. Orang tua akan cenderung tidak mengerti dengan sikap anak dan bagaimana cara menyikapinya. Anak juga akan terlihat lebih cuek, pendiam dan kerap kali melawan orang tua karena mereka merasa bahwa orang tuanya kurang tepat dalam menyikapi Si Anak atau mereka menganggap orang tuanya benar – benar tak mengerti tentang dirinya.

Meskipun zaman gadget sudah merajalela, usahakan orang tua bisa mengontrol anak saat bermain gadget. Keberadaan gadget di zaman teknologi yang sudah maju ini tentu bisa mempengaruhi berkurangnya komunikasi karena hanya fokus menatap gadget saja tanpa mempedulikan siapa yang ada di sekitarnya.

Ketika zaman sudah mulai maju, cara mendidik dan membentuk mental anak juga berubah. Perlu diperhatikan dalam konteks ini. Jika zaman dulu bapak dan ibu dididik secara keras untuk mandiri, itu tidak bisa dipraktikkan lagi di zaman sekarang. Di mana ketika anak – anak zaman sekarang rata – rata memiliki sifat pemberontak. Tidak bisa dikekang, dan mereka tidak mau menerima nasehat karena cara bicara yang kasar.

Mungkin sebelumnya dulu, peran ibu - bapak adalah sebagai orang tua dan guru untuk anaknya. Namun sekarang, anak - anak lebih nyaman jika orang tua juga berperan sebagai sahabat  ketika mereka tengah mengalami masa sulit, para bapak dan ibu adalah tempatnya untuk membagi hal itu. Begitu juga sebaliknya saat orang tua mengalami hal sulit, anak bisa menjadi tempat bercanda. Setidaknya ini menjadi salah satu hiburan berkesan agar orang tua pun mendapat haknya sebagai manusia yang juga membutuhkan hiburan saat sedang terpuruknya memikirkan masalah mereka sendiri.

Tak jarang mereka melampiaskan rasa tertekannya dengan melakukan hal – hal yang tidak menyenangkan karena ingin bebas dari stress mereka. Seakan mental mereka meminta untuk merdeka meski dengan cara yang salah. Karena kadang manusia memang tidak bisa mengendalikan kemauan mental mereka sendiri.

Usia anak memasuki 15 tahun hingga 24 tahun disebut sebagai ‘Darurat Kesehatan Mental’ karena pada usia – usia inilah remaja mengalami persentase depresi sebesar 6,2%. Depresi yang cukup berat mengalami kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri. Menurut egsa.geu.ugm.ac.id, sekitar 80 – 90% kasus bunuh diri disebabkan oleh depresi dan kecemasan.

Itulah pentingnya waktu, komunikasi dan persahabatan antara orang tua dan anak. Semuanya bukan salah orang tua, tapi perlu diingat apa pun yang terjadi pada anak kemungkinan besarnya berawal dari orang tua. Selain itu, pembahasan ini mungkin bisa mengurangi persentase kasus darurat mental pada remaja – remaja abad ini.

Meski miliki sedikit waktu, sisakan satu hingga dua jam setidaknya sehari untuk berbicara kepada Sang Buah Hati sehingga menjadi berkurangnya kesalah pahaman. Ini juga bisa membantu para orang tua untuk mengenal anak lebih dekat. Jadikan momen itu sebagai sesuatu yang penting agar tidak dilewatkan meski hanya sehari. Dengarkan apa yang mereka ceritakan dan berusahalah untuk memahaminya, karena kadang anak – anak hanya berbicara apa yang ada di hati mereka yang sebenarnya mereka sendiri tidak memahaminya. Dan tugas orang tua adalah memahami apa yang tidak mereka pahami.

 Jadi bagi para bapak dan ibu, jadikan rumah dan persahabatan adalah kemerdekaan bagi mental anak – anak. Dan bagi anak – anak, jadikan orang tua sebagai sahabat tempat bercanda tanpa mengurangi sedikit pun rasa hormat kalian terhadap mereka.

Mungkin hal itu akan membatu memerdekakan banyak mental yang sebelumnya sudah mulai retak. Bangun kembali mental yang hampir hancur dengan cara memperbaikinya baik – baik. Semua orang tua mengharapkan yang terbaik bagi anak - anak mereka.

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By Linda Setiowati

This statement referred from