Melestarikan Bahasa Ibu, Hidupkan Identitas Kultural
Jika ditanya, siapakah wanita yang sangat luar biasa dalam hidup kita, maka salah satu jawaban yang ada pasti menyebut kata ibu. Wajar saja, melalui rahim dan kasih sayangnya, ibu telah memperkenalkan kita kepada dunia yang serba kompleks. Bila diibaratkan, ibu semacam akar penyangga kehidupan seseorang. Hal ini didasari oleh keyakinan personal penulis bahwa segala pengalaman yang ada, sebagai guru terbaik dalam kehidupan seseorang pertama kali dapat dikatakan berasal dari seorang ibu. Konteks serupa pun dapat dikaitkan dengan keberadaan bahasa, khususnya bahasa ibu. Bahasa ibu sudah sewajarnya menjadi alat komunikasi yang pertama dan mendasar dalam kehidupan manusia.
Bila merujuk pada pengertian leksikal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring (dalam kbbi.lektur.id diakses pada Selasa, 5 Juli 2022), bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Dari definisi tersebut, bahasa ibu sebagai bahasa yang dikuasai pertama kali oleh manusia sejak kelahirannya dapat berupa bahasa daerah, bahasa Indonesia, maupun bahasa internasional. Namun, dalam artikel ini, penulis lebih berfokus kepada pelestarian bahasa daerah sebagai bahasa ibu sekaligus penunjuk identitas kultural yang harus terus dihidupi.
Bahasa daerah merupakan unsur budaya yang mempunyai andil besar dalam menunjang peradaban bangsa Indonesia. Kelestarian bahasa daerah ditentukan oleh jumlah penutur dan keaktifan mereka dalam menggunakannya. Sebagai salah satu komponen penutur bahasa daerah, kaum muda Indonesia berhak untuk memakai serta bertanggung jawab dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa daerah. Akan tetapi, persoalannya, banyak penutur usia muda masa kini kurang aktif menggunakan bahasa daerahnya. Tidak sedikit di antara kaum muda yang cenderung lebih tertarik menggunakan bahasa-bahasa “gaul” dan asing ketimbang bahasa lokal/daerah sebagai penanda identitas yang diwariskan leluhur. Bahkan, adapula persepsi yang menganggap bahasa lokal sebagai bahasa kolot yang harus ditinggalkan. Pengabaian tersebut menjadikan kaum muda sebagai salah satu faktor penyebab kepunahan beberapa bahasa daerah di Indonesia.
Bahasa-bahasa daerah di Indonesia memiliki tingkatan kelestarian yang berbeda-beda. Ada bahasa daerah yang masih lestari seperti bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Melayu, dan lain sebagainya. Sementara itu, ada juga yang terancam punah bahkan punah. Sebagai contoh, diperkirakan 30 dari 58 bahasa daerah Papua Barat punah selama 20 tahun terakhir (Ismadi, dalam https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/2542/kebijakan-pelindungan-bahasa-daerah-dalam-perubahan-kebudayaan-indonesia, diakses pada Rabu, 6 Juli 2022).
Hemat penulis, tiga hal berikut merupakan sebagian kecil dari banyaknya faktor penyebab kepunahan bahasa daerah. Pertama, kurangnya kecintaan akan identitas kolektif yang jamak terjadi pada kaum muda dan kegandrungan pada budaya dan bahasa asing. Kedua, tuntutan etis-politis ruang publik yang mengharuskan penutur mengartikulasikan pesannya dalam bahasa yang bisa dipahami oleh semua orang. Ketiga, sempitnya ruang lingkup penyebaran bahasa daerah. Bahasa daerah jarang dipakai dalam bidang ekonomi dan politik. Di Indonesia, dominasi bahasa Indonesia sebagai medium komunikasi bidang politik dan ekonomi mendesak bahasa daerah ke ranah budaya dan ruang-ruang domestik, misalnya keluarga. Dengan demikian, sangat jelas bahwa ruang penyebarannya pun lebih sempit ketimbang bahasa Indonesia pada umumnya.
Upaya Pelestarian dan Pengembangan
Upaya pelestarian dan pengembangan bahasa daerah dapat dilakukan melalui pendekatan kontekstual, sesuai status kelestariannya (punah atau terancam punah atau masih baik vitalitasnya). Untuk itu, Pemerintah Daerah (Pemda) perlu membuka ruang bagi penelitian dan kajian atas setiap bahasa daerah dan mendorong pemulihan serta pengembangannya. Salah satu dasar konstitutif upaya tersebut ialah Permendagri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Setiap Pemda perlu menindaklanjuti pedoman tersebut dengan menciptakan sistem hukum yang integral-sistematis (menjangkau berbagai institusi), koordinatif (memperhatikan konstitusi nasional), bersifat mengikat, berkelanjutan, dan dapat dievaluasi.
Bagi daerah yang dilingkupi beberapa bahasa, peraturan yang dirumuskan mesti menekankan prinsip kesetaraan dengan mempertimbangkan keunikan masing-masing bahasa. Pada tataran praksis, mengingat bahasa (daerah) berkembang dalam ranah kebudayaan, kebijakan berbasis kultural mesti dibuat secara intensif. Pemda, misalnya, dapat bersinergi dengan Badan Bahasa tingkat daerah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan promosi bahasa dalam bentuk festival bahasa dan sastra daerah, seminar, dan lain sebagainya.
Institusi-institusi lain juga perlu berperan aktif dalam pengembangan dan pelestarian bahasa daerah. Sebagai dasar pembentukan jati diri anak-anak, keluarga perlu memanfaatkan bahasa daerah sebagai medium penginternalisasian kebijaksanaan dan nilai-nilai sosial-budaya lokal. Di samping itu, institusi agama juga perlu memanfaatkan peran bahasa daerah dalam mengartikulasikan ajaran dan dogma serta pelaksanaan ritualnya masing-masing. Dalam hal ini, model inkulturasi beberapa keuskupan di Indonesia perlu menjadi bahan pertimbangan bagi keuskupan dan agama-agama lain dalam penerjemahan ajaran dan ritual keagamaanya ke dalam bahasa-bahasa daerah.
Selain beberapa institusi tadi, lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dasar sampai perguruan tinggi) juga perlu memperhatikan bahasa dan sastra daerah dalam wahana pengajaran bagi peserta didik.Sebagai lembaga pendidikan anak-anak muda misalnya, Sekolah Menengah Atas (SMA) perlu mengimplementasi panduan Kemendikbud tentang Gerakan Literasi Sekolah, dengan mendorong gerakan literasi berbasis budaya (dan kewargaan). Literasi budaya tersebut dapat membantu peserta didik agar memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa, termasuk juga bahasa daerah sebagai identitas kultural. Pengetahuan yang dimiliki tidak sekadar disimpan dalam ingatan, tetapi juga mampu mendarat dan digunakan pada tataran praksis. Sejalan dengan itu, institusi pendidikan juga perlu menekankan pengajaran bahasa-sastra daerah melalui mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok). Dengan demikian, lembaga pendidikan sungguh-sungguh menjadi wadah pembentuk dan penguat identitas kultural peserta didik sebagaimana yang diharapkan.
Bahasa Daerah dan Kaum Muda
Masa depan bahasa daerah ditentukan oleh kaum muda. Status kaum muda sebagai penutur pasif bahasa daerah perlu diperbaiki (menjadi penutur aktif). Penguatan identitas kedaerahan dalam bingkai keindonesiaan perlu ditekankan sejak masa kanak-kanak. Kerja sama dalam keluarga maupun pemerintah daerah dengan instansi-instansi vertikal daerah dan institusi sosial-kemasyarakatan sangatlah urgen. Di sisi lain, kaum muda perlu berkecimpung dalam upaya pengembangan bahasa daerah. Kegiatan-kegiatan budaya dan ruang-ruang interaksi kaum muda–baik fisik maupun maya– perlu dijadikan sebagai medan pembelajaran sekaligus promosi bahasa daerah. Meskipun secara politis bahasa daerah berstatus sebagai bahasa yang dilestarikan (bukan diutamakan seperti bahasa Indonesia), bahasa daerah perlu disejajarkan dengan bahasa Indonesia dalam penggunaannya. Bahasa daerah perlu menjadi bahasa kalangan kaum muda. Dengan demikian, setiap bahasa daerah tak lapuk dihujan, tak lekang dipanas dan tetap terjamin kelestariannya.